• Nusantara
  • Membaca Rentetan Gempa Bumi Pascabencana Cianjur  

Membaca Rentetan Gempa Bumi Pascabencana Cianjur  

Gempa bumi Cianjur tidak memicu gempa yang terjadi di wilayah lain di Indonesia. Tetapi Indonesia memang rawan gempa bumi.

Dampak gempa bumi yang mengguncang Cianjur, 22 November 2022. Ribuan rumah rusak oleh gempa bumi ini, ratusan orang meninggal dunia, dan belasan ribu orang mengungsi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana8 Desember 2022


BandungBergerak.idRentetan gempa bumi terjadi di sejumlah daerah di Indonesia pascalindu mengguncang Cianjur, Jawa Barat, 22 November 2022 lalu. Misalnya, gempa bumi terjadi Sabtu (3/12/2022) pukul 16.49 WIB dengan magnitudo 6,4 berpusat di Kabupaten Garut dengan pusat gempa berada di kedalaman 118 Km, 52 Km barat daya Garut.

Disusul gempa Bangkalan terjadi pada Minggu (4/12/2022) malam pukul 22.02 WIB. Lokasi gempa bumi berada pada koordinat 6.42 lintang selatan dan 112.60 bujur timur dengan jarak 77 kilometer barat laut Bangkalan.

Kemudian Minggu (4/12/2022) Kabupaten Gunung Kidul juga diguncang 4 kali gempa pada malam hari. Disusul gempa di hari Selasa (6/12/2022) di Kabupaten Jember, Jawa Timur, dengan magnitudo 6,2 dan gempa-gempa lainnya.

BMKG juga masih mencatat beberapa kejadian gempa bumi lainnya. Lantas, apa kata pakar soal gempa beruntun akhir-akhir ini?

Pakar gempa dan Dosen Teknik Geologi UGM, Gayatri Indah Marliyani, berpendapat gempa di Cianjur pada 21 November 2022 tidak memicu gempa yang terjadi di wilayah lain di Indonesia, semisal gempa Garut atau gempa bumi Probolinggo.

Menurutnya, kejadian gempa yang terkait dengan gempa Cianjur hanya rentetan gempa susulan yang terkonsentrasi di sekitar daerah episenter dengan frekuensi dan magnitudo yang semakin mengecil. Kejadian gempa di Probolinggo, menurutnya, terkait dengan aktivitas sesar aktif Probolinggo yang berada di darat, sementara gempa Garut berkaitan dengan proses subduksi.

“Gempa Garut tersebut terjadi pada zona intraplate lempeng IndoAustralia yang menyusup di bawah pulau Jawa. Sementara itu, gempa di Jatim berada pada zona prisma akresi di zona subduksi Jawa bagian timur," tutur Gayatri Indah Marliyani, dikutip dari laman resmi UGM, Kamis (8/12/2022). 

Melihat dari jenis kegempaan dan lokasi sumber gempanya, dia menjelaskan gempa-gempa tersebut tidak berkaitan satu sama lain. Wilayah di sepanjang zona subduksi seperti sepanjang lepas pantai barat Sumatra sampai Lombok memang berada pada daerah tektonik aktif sehingga banyaknya kejadian gempa bumi di sekitar wilayah ini sebagai sesuatu yang wajar.

“Gempa yang terjadi adalah fenomena alam yang terjadi akibat pelepasan energi ketika tubuh batuan kerak bumi retak, patah, dan bergerak akibat tekanan yang berasal dari pergerakan lempeng-lempeng tektonik di bumi," katanya.

Ia melihat di wilayah Indonesia terdapat banyak lempeng-lempeng tektonik yang saling bertabrakan, antara lain lempeng Indo-Australia, Eurasia, Pasifik, Filipina, dan beberapa lempeng lainnya. Lempeng-lempeng ini bergerak dengan kecepatan sekitar 4-7 cm per tahun sehingga pada batas-batas tumbukan lempeng ini, energi dari pergerakan tersebut terakumulasi, menyebabkan terjadinya retakan dan pergerakan patahan yang disertai dengan peristiwa gempa bumi.

Rentetan gempa yang terjadi di seluruh wilayah Indonesia ini merupakan fenomena alam. Jika diamati maka gempa di wilayah Indonesia setiap hari pasti terjadi, terutama gempa-gempa bermagnitudo kecil (M2-3). Sedangkan untuk gempa menengah (M4-5) frekuensi kejadian harian juga cukup besar, sedangkan gempa besar (>M5) hampir setiap tahun terjadi di wilayah Indonesia.

“Hanya tidak selalu menimbulkan kerusakan sehingga tidak selalu menjadi perhatian. Adanya peristiwa yang dianggap rentetan oleh masyarakat sebenarnya lebih terkait kepada perhatian masyarakat yang meningkat terhadap kejadian gempa sesudah terjadinya gempa merusak di Cianjur belum lama ini," terangnya.

Oleh karena itu, ia berpesan masyarakat tidak perlu merasa waswas yang berlebihan. Fenomena kejadian gempa yang seolah-olah meningkat akhir-akhir ini, menurutnya lebih dikarenakan kecepatan pertukaran informasi dan perhatian masyarakat yang meningkat pascaterpicu kejadian gempa merusak yang menimbulkan korban jiwa di Cianjur.

Meski begitu, ia mengingatkan pentingnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk selalu menyadari bila sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah rawan gempa bumi. Masyarakat diharapkan tetap meningkatkan kewaspadaan sehingga semuanya akan lebih siap untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi.

“Tidak perlu kemudian panik dan was-was berlebihan terhadap fenomena alam ini. Meningkatkan kesadaran akan lingkungan sekitar dapat membantu kita untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana yang mungkin terjadi. Literasi terhadap kondisi geologi di sekitar area tempat tinggal dan beraktivitas juga perlu ditingkatkan dengan mencoba memahami betul prosedur dan jalur evakuasi di manapun berada," imbuhnya.

Baca Juga: Dari Bandung Menyusuri Kampung-kampung Pinggiran di Cianjur yang Terdampak Gempa
Luluh Lantak Diguncang Lindu

Dampak gempa bumi yang mengguncang Cianjur, 22 November 2022. Ribuan rumah rusak oleh gempa bumi ini, ratusan orang meninggal dunia, dan belasan ribu orang mengungsi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Dampak gempa bumi yang mengguncang Cianjur, 22 November 2022. Ribuan rumah rusak oleh gempa bumi ini, ratusan orang meninggal dunia, dan belasan ribu orang mengungsi. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Shelter Bambu untuk Korban Gempa Cianjur

Gempa bumi yang melanda Cianjur membuat puluhan ribu rumah rusak berat. Ratusan ribu kepala keluarga pun terdampak akibatnya. Bantuan dari lingkungan sekitar tentunya menjadi hal yang krusial, terutama untuk tenda/shelter.

ITB dan Rumah Amal Salman turun tangan dalam mendirikan shelter unik dari bambu untuk tempat pengungsian sementara. Shelter dari bambu tersebut dirancang oleh desainer dan dosen SAPPK ITB, Andry Widyowijatnoko.

Dosen dari prodi Arsitektur itu sudah lama dikenal sebagai seorang ahli struktur bamboo. Ia membuat desain shelter bambu yang dapat dibangun dengan sangat cepat dan mampu menampung banyak orang.

Pemilihan material bambu ini juga bukan tanpa alasan. Kemudahan akses, melimpahnya ketersediaan dan harganya yang murah menjadi alasan kuat penggunaan bambu ini untuk shelter di Cianjur. Selain karena urusan logistik, kekuatan internal bambu sebagai material juga menjadi pertimbangan.

“Sejak dulu juga sudah sangat dikenal bahwa bambu merupakan material semi-permanen temporer yang amat baik”, jelas Andry

Shelter bambu ini mampu dibangun dalam waktu yang sangat cepat, yaitu 1 hari, dari peletakan rangka pertama sampai siap diisi. Rahasia dari cepatnya proses konstruksi ini adalah teknik pemasangan yang sederhana dan kekuatan struktur yang bergantung pada kekuatan bentuk yang menghasilkan ruang.

“Secara tradisional, masyarakat yang ada di sana sudah familier dengan bambu. Namun, menggabungkan teknik pasang mur-baut dengan bambu adalah hal baru buat mereka. Untungnya, mereka juga dengan mudah mengadaptasi teknik ini dan dengan cepat ikut kontribusi juga dalam proses konstruksi,” jelasnya.

ndry membuat inovasi shelter bambu berdasarkan pengalaman shelter gempa yang sudah beliau kerjakan sebelumnya. “Sebelumnya, saya sudah memiliki model-model struktural yang siap pakai. Saya dan tim banyak mengambil dari kasus-kasus shelter gempa sebelumnya, seperti di Palu dan Lombok”.

Karena perbedaan lokasi, masalah baru pun ditemui sehingga desain yang sudah sempat terbangun di kota-kota tersebut tidak dapat sebatas ditiru.

“Di Cianjur ini ternyata kekuatan angin yang berbeda daripada di Lombok maupun Palu. Sehingga harus ada adaptasi desain dari kami untuk dapat membangun struktur serupa,” ujarnya.

“Shelter bambu ini mampu menampung 50 orang lebih, dan mampu memberikan kenyamanan ruang menyeluruh yang lebih baik kepada pengungsi”.

Berdasarkan standar, ukuran shelter untuk korban bencana atau mitigasi bencana yang lazim adalah 5,5 m x 12 m dengan tinggi 3,25 m. Biasanya, tenda-tenda lain menggunakan penutup berupa terpal. Material penutup ini mengalirkan panas dari matahari ke ruang di bawahnya secara langsung. Akibatnya, dengan ketinggian yang lebih minim, tentunya pengungsi akan menerima aliran panas tersebut.

Shelter ini juga menggunakan material penutup yang sama. Namun, shelter ini mampu memberikan kenyamanan yang lebih bagi pengungsi. Hal ini terjadi karena ketinggian minimum dari shelter ini mencapai 5 m, yang berarti paparan panas lebih tidak mengganggu ruang di bawahnya. Hebatnya lagi, desain shelter karya dosen ITB dan tim-nya ini mampu mencapai bentang 8x12 m dan ketinggian 4-5 m.

“Sebelumnya, desain shelter bambu ini mampu berdiri sampai 6 bulan. Laporan yang saya terima dari tim lapangan menyatakan warga di sana memang merasa lebih sejuk dan nyaman ketika berada di shelter bambu ini”, tambahnya.

Saat ini, juga telah berdiri shelter komunitas untuk masjid darurat dan telah diresmikan saat sholat jumat di tanggal 2 Desember 2022. Ketika ditanya apa harapan kedepannya terhadap inovasi desainnya yang mampu mempercepat bantuan mitigasi bencana, beliau memiliki visi yang jauh.

“Saya dan tim sangat senang dengan antusiasme dari sana masyarakat sekitar dan anggota ZENI yang ikut membantu di lokasi. Banyak yang mengambil foto-foto dan ingin mempelajari bagaimana cara membuatnya, dengan tujuan direplikasi di berbagai tempat lain,” ujarnya menjelaskan respons positif dari lokasi.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//