• Opini
  • Yang Autentik tapi Asing: Alienasi Manuskrip dalam Budaya Kontemporer

Yang Autentik tapi Asing: Alienasi Manuskrip dalam Budaya Kontemporer

Diperlukan sebuah kesadaran untuk mentransformasi seni dalam tradisi manuskrip ke dalam bentuk baru yang relevan dengan kehidupan modern saat ini.

Rahmatia

Mahasiswa doktoral Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Poster Lomba Esai Nasional 2022 yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung. (Sumber foto: Fakultas Filsafat Unpar)

12 Desember 2022


BandungBergerak.id — “Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Darma Mangrwa.” Kita semua tahu bahwa kutipan tersebut adalah semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Namun, tak banyak yang tahu jika semboyan ini adalah kutipan dari manuskrip beraksara Jawa Kuno yang ditulis pada abad ke-14 yang berjudul Kakawin Sutasoma.

Kutipan tersebut berasal dari kalimat “…Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa...”, kutipan frasa 'Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa' terdapat pada pupuh 139 bait 5 dari kakawin tersebut. Terjemahan adalah “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran”.

Kakawin Sutasoma adalah karya sastra sezaman dengan dengan Nagarakretagama yang ditulis pada masa kejayaan Majapahit (Slametmulyana, 1979:234). Kakawin Sutasoma merupakan salah satu karya sastra karangan Mpu Tantular yang mengisahkan cerita moralistik dan didaktik Siwaisme Budhasebagai cerminan agama kedua di era Majapahit (Zuriati, 2010: 422). Kakawin Sutasoma adalah satu dari beberapa contoh manuskrip yang menjadi sumber primer sejarah dan jati diri bangsa Indonesia yang dulunya disebut Nusantara.

Naskah kuno atau manuskrip merupakan salah satu sumber primer yang paling autentik dan menjadi jalan pintas istimewa (privileged shortcut access) untuk mendekatkan jarak antara masa lalu dan masa kini (Fathurrahman, 2017: 27). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa manuskrip merupakan representasi dari berbagai sumber lokal yang paling otoritatif dan autentik dalam memberikan berbagai informasi mengenai rekaman kehidupan Indonesia masa lampau.

Dalam konteks Indonesia, manuskrip yang jumlahnya sangat melimpah dalam berbagai bahasa dan aksara merupakan ‘lumbung emas’ yang sejak dahulu disadari oleh para orientalis zaman Kolonial. Namun, belum dimanfaatkan secara maksimal oleh pengkajinya sendiri, yaitu kita yang disebut pribumi yang lahir dan tumbuh dalam tradisi penulisan manuskrip.

Esai ini adalah salah satu upaya untuk memikirkan kembali posisi manuskrip dan studi manuskrip dalam budaya kontemporer. Proses memikirkan kembali ini seperti Plato yang menyimak dan memeriksa kembali apa yang sudah terjadi dalam sejarah, bukan menciptakan ide yang benar-benar baru. Sama halnya pula apa yang dikatakan oleh Karl Max dalam Goenawan Mohamad (2021: 8) bahwa manusia membuat sejarah mereka sendiri, tetapi sejarah itu tak terbangun dalam keadaan yang mereka pilih sendiri, melainkan endapan keadaan yang ditransmisikan dari masa lalu.

Masa lalu dapat dilihat melalui manuskrip sebagai rekam jejak yang isinya tak dapat diubah dan direkayasa. Di dalam manuskrip terpatri peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, dan budaya yang konon ditulis langsung oleh penutur sejarahnya, seperti Babad Dipanegara, Babad Cirebon, dan Babad Dermayu. Namun, sumber sejarah itu makin hari makin lapuk. Ia diagung-agungkan sebagai sumber primer tapi bak menara gading, manuskrip menjadi asing di tangan pemiliknya sendiri.

Tulisan tangan yang ditulis atau disalin sejak ratusan tahun lalu sejatinya telah teralineasi saat teknologi percetakan diperkenalkan oleh dunia industri. Alienasi dalam manuskrip bukan terjadi saat ini saja di dunia modern, melainkan telah terjadi dalam rentang sejarah dan kebudayaan manusia sejak lama, sejak sesuatu yang lebih modern (pada masa itu) datang. Sama seperti yang diungkapkan oleh Fromm (1955) sebagai idolatry (perilaku pemberhalaan) dan Marx (1932) yang mengatakan bahwa alienasi dengan milik privat atau perorangan pada akhirnya berkorelasi pada kelas borjuis atau kepemilikian modal dan kekuasaan politik.

Baca Juga: Hikayat Politik Rambut dan Demam Hippies
Lampu Merah Jalan Terus
Menyibak Realita Sosial, Pekerjaan sebagai Identitas Sosial

Manuskrip sebagai Sumber Primer yang Autentik

Studi manuskrip di Indonesia dikenal dengan nama Filologi. Filologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philologia yang terdiri atas dua kata, yakni philos dan logos. Philos berarti ‘yang tercinta’ dan logos berarti ‘kata atau artikulasi’ (Fathurrahman, 2017: 13). Menurut Achadiati (2019: 41), kata filologi yang berarti “cinta ilmu dan sastra” sebenarnya mengandung makna yang sangat luas. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, makna istilah tersebut menyusut menjadi studi tentang sastra dan dipersempit lagi menjadi studi tentang sastra dalam naskah klasik atau manuskrip.

Filologi adalah bidang ilmu yang menjadikan manuskrip dan teks sebagai objek kajiannya dan memiliki tujuan untuk menemukan bentuk teks asli yang dikenal dengan kritik teks (Achadiati, 2019: 43) atau textual criticism (Reynold dan Wilson, 1986: 187). Dalam perspektif filologi tradisional, upaya mengembalikan teks ke bentuk semula adalah hal penting yang harus dilakukan karena kemungkinan adanya variasi bacaan yang disebabkan oleh kesalahan penyalinan. Akan tetapi, menurut Oman Fathurahman (2017: 19), dalam perspektif filologi modern, variasi-vaiasi bacaan tersebut lebih sering dilihat sebagai dinamika sebuah teks sehingga fokus kritik teks bukan lagi menyoal ‘bagaimana memurnikan teks’ semata, tetapi mengapresiasi dinamika tersebut.

Latar sosio-budaya suatu teks sangat bergantung pada latar sejarah saat manuskrip tersebut diciptakan. Dalam khazanah manuskrip Melayu, hal ini dapat dilihat melalui pengalihan teks Jawa-Kuna Adiparwa ke dalam bahasa Melayu[1]Betawi (Buduroh, 2018) yang telah menghasilkan ciri berbeda satu sama lainnya. Hal tersebut juga dapat dilihat dalam khazanah manuskrip Bugis saat teks-teks I La Galigo bersentuhan dengan napas Islam, seperti pada teks Bottina I La Dewata Sibawa I We Attaweq (Akhmar, 2018) yang menghasilkan alur penceritaan baru.

Lalu apa pentingnya manuskrip? Kebanyakan orang akan menjawab dengan bijak bahwa di dalam manuskrip terdapat teladan yang berguna untuk manusia masa kini. Namun, menurut Achadiati Ikram, pernyataan bijak tersebut adalah contoh pemikiran yang sempit dan membatasi minat kajian filologi. Filologi berarti “cinta pada ilmu”. Kita perlu melihat tradisi tulis Indonesia sebagai suatu keseluruhan yang berisi karya mengenai hukum, agama, teknologi, susastra, seni suara dan seni tari, obat-obatan, pengalaman sehari-hari, dan banyak lagi yang menggambarkan kehidupan manusia masa lalu yang diwariskan kepada kita (Achadiati, 2019: 2).

Eksistensi Manuskrip dan Studi Manuskrip dalam Budaya Kontemporer

Di era disruptive technology yang didominasi oleh budaya digital saat ini. Di mana posisi studi manuskrip (filologi) sebagai yang dianggap ilmu 20 tahun lalu? Bagi para peneliti naskah kuno, kajian filologi layaknya ilmu robotika yang sebaiknya ada di setiap jurusan mata kuliah. Namun, tentunya pandangan ini berbeda dengan mereka yang sama sekali belum menemukan ‘cinta’ di dalam kata filologi. Oleh sebab itu, membudayakan manuskrip dan membawanya dalam konteks budaya kontemporer merupakan hal yang penting untuk dilakukan saat ini.

Orientasi telaah filologi tidak hanya terbatas pada otentitas teks saja, tetapi juga merambah pada analisis makna dan fungsinya. Sesuai dengan apa yang diungkapan oleh Robson (1994: 12?13) bahwa tugas utama filolog adalah membuat teks terbaca atau mudah dimengerti dengan menyajikan (to present) dan menafsirkan (to interpret). Setiap manuskrip memiliki cerita dan rahasianya yang baru dapat terungkap setelah manuskrip tersebut dibuka, dibaca, dan diteliti. Sebuah teks hanya akan mempunyai signifikansi jika peneliti dapat memandangnya dalam konteks yang tepat sebagai bagian dari suatu konstruksi budaya.

Lebih daripada itu, perspektif baru tentang analisis teks mengarah pada ungkapan ‘kajian Filologi Plus’. kajian Filologi Plus adalah kajian manuskrip yang menerapkan pendekatan multidisiplin ilmu, mencakup penerapan kritik teks disertai kajian mendalam atas konteks manuskrip dengan memanfaatkan pendekatan berbagai teori.

Sama seperti kajian sastra populer, kajian filologi juga dapat diterapkan pada berbagai pendekatan sesuai dengan isu-isu kontemporer saat ini, seperti analisis sastra dalam manuskrip Wawacan Layang Siti Hasanah (WLSH) yang dikaji melalui analisis resepsi. Kajian manuskrip ini mengidentifikasi perubahan[1]perubahan yang terdapat dalam WLSH dari teks hikayat Melayu menjadi puisi wawacan dan menjelaskan bentuk-bentuk resepsi pengikut Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah di Indramayu Jawa Barat abad ke-20. Penelitian ini memberikan angin segar bagi pencarian identitas kesusastraan yang berkembang di Indramayu pada masa itu (Maulani, 2020).

Selain teori sastra, kritik teks dalam kajian filologi juga tidak menutup diri dengan pendekatan analisis dari disiplin ilmu lain, seperti yang dilakukan Rahmatia (2020) dalam manuskrip Kutika Ugi’ Sakke Rupa (KUSR). Sebuah manuskrip berbahasa Bugis yang memuat berbagai metode hitungan hari dan waktu untuk kegiatan keseharian. Kajian ilmu lingkungan yang terkesan jauh dari ilmu filologi, dapat disandingkan melalui serangkaian pembacaan seksama terhadap teks.

Analisis tekstologi dalam manuskrip KUSR menyandingkan konsep ekofenomenologi dengan kajian filologi. Berdasarkan sudut pandang ekofenomenologi, terungkap bahwa manuskrip KUSR memiliki kontribusi yang dapat diterapkan pada teknik pertanian modern, yaitu pola tanam berdasarkan bioindicator, pola rotasi tanam, dan biopestisida. Hal ini berkaitan erat dengan cara manusia Bugis berkomunikasi dengan alam sebagai upaya untuk berdampingan secara selaras bersama lingkungan hidupnya (Rahmatia, 2020).

Kenyataan bahwa di mata para filolog, manuskrip dan studi manuskrip berkembang ke arah yang lebih kolaboratif, tidak sejalan dengan realita sosial yang ada di masyarakat. Keberadaan manuskrip yang tersembunyi dari jangkauan juga diperparah dengan tercerabutnya tradisi-tradisi pembacaan naskah di ranah publik. Fungsi teks-teks Jawa Kuno sejatinya adalah untuk didengar, bukan untuk dinikmati secara visual (Robson, 1983: 291). Hal yang sama juga terjadi manuskrip Melayu, tradisi mabasan atau mekawin merupakan contoh manfaat manuskrip dalam masyarakat. Manuskrip ditulis untuk didendangkan sebagai hiburan dan sarana berkumpul masyarakat masa lampau. Apa yang dikatakan oleh Christommy dan Rahmatia (2021) sebagai living manuscripts, tidak lagi dapat ditemukan karena bergesernya kultur bersantai atau berkumpul dalam masyarakat. Living manuscripts dapat diartikan sebagai satu fenomena saat teks dan manuskrip mendapatkan aktualisasinya di dalam masyarakat melalui strategi naratif yang menyertainya.

Manuskrip menjadi sesuatu yang asing bagi masyarakat urban karena tidak ada lagi rasa memiliki. Dalam Manuskrip Paris, Marx (1932) mengatakan bahwa kepemilikan privat membuat orang menjadi begitu dungu karena menganggap sebuah barang hanya menjadi bagian dari diri kita hanya jika kita langsung memilikinya. Selain itu, alienasi terhadap manuskrip semakin berkembang sejak adanya idolatry (perilaku pemberhalaan). Menurut Fromm (1955) idolatry adalah suatu sikap dan perilaku pengabdian terhadap sebuah objek. Dalam hal ini, objek tersebut berupa konsep modernisme terhadap produk-produk industrialisasi. Masuknya kertas pabrik dan buku cetak, mengalihkan perhatian dari apa yang telah dimiliki sebelumnya, yang sebenarnya tak kalah menawan.

Barang-barang industrialisasi juga diikuti dengan kebijakan pemerintah kolonial yang menerapkan huruf latin dalam tradisi tulis di Nusantara. Manuskrip yang kini terasa asing merupakan hasil dari proses alienasi sejak masa kolonial. Dahulu kakek dan nenek kita adalah orang-orang pintar yang mahir menulis dalam aksara dan bahasa mereka (bahasa lokal). Seketika mereka dicap bodoh dan buta huruf karena tidak memahami huruf asing yang dibawa dari luar. Penggunaan huruf latin dan distribusi buku cetak hanya menjadi konsumsi orang[1]orang borjuis yang ‘terdidik’. Ratusan tahun berlalu, kini kitalah menjadi asing bagi aksara dan bahasa autentik yang sejatinya akrab dengan tradisi kita dahulu.

Apabila dikaitkan dengan konteks modernitas hari ini, hilangnya rasa memiliki turut menggerus pengetahuan tentang kesusastraan klasik. Untuk menumbuhkan kembali apa yang hampir hilang dari pengetahuan bersama, diperlukan sebuah kesadaran untuk mentransformasi seni dalam tradisi manuskrip ke dalam bentuk baru yang relevan dengan kehidupan modern saat ini. Cara ini dapat dilihat sebagai suatu sarana kreatif yang menjadi benang merah antara masa lalu dan masa kini.

*Esai ini merupakan pemenang kategori "The Best" dalam Lomba Esai Nasional 2022 yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar)

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//