• Cerita
  • Mengenali Bingkai Media Alternatif Lewat Diskusi Berita Pinggir

Mengenali Bingkai Media Alternatif Lewat Diskusi Berita Pinggir

BandungBergerak.id, Magdalene, dan Majalaya.id sebagai media alternatif yang tumbuh di tengah arus informasi digital. Kepentingan publik menjadi yang utama.

Awak redaksi BandungBergerak.id usai mengisi #obrolanpatjar: Media Pinggir di pasar buku Patjar Merah x Bandung Reader Festival, Gedung PPAG Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung, Kamis (8/12/2022). (Dokumentasi BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya10 Desember 2022


BandungBergerak.id - “Selamat Mendung!” Kalimat pembuka sekaligus sambutan hangat Zulfa Nasrulloh kepada audiens. Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Zulfa kemudian memperkenalkan dirinya. Ia adalah inisiator Majalaya.id, sebuah media alternatif independen yang membahas serba-serbi Majalaya dari sudut pandang masyarakatnya.

Zulfa adalah satu dari tiga pembicara pada #obrolanpatjar: Media Pinggir. Di atas panggung, Zulfa tidak sendiri. Duduk pula Devi Asmarani, Co-Founder Magdalene, dan Tri Joko Her Riadi, Penggagas BandungBergerak.id. Ketiganya akan bercerita terkait media alternatif yang mereka bangun. Adapun Rifa Zainnurofi memandu arah pembicaraan pada diskusi Kamis (8/12/2022) itu.

Berita Pinggir adalah satu dari sekian banyak agenda kegiatan Patjar Merah x Bandung Reader Festival yang mencoba mengenali bingkai media yang dimiliki oleh media-media alternatif. Dikutip dari unggahan instagram @patjarmerah_id, kegiatan ini mencoba untuk menunjukkan peran media alternatif sebagai sarana  untuk memperluas perspektif dan mempertanyakan bagaimana dunia didefinisikan.

Diskusi dimulai pada pukul 15.30 di Selasar Gedung PPAG Universitas Parahyangan. Beberapa orang terlihat menghentikan aktivitasnya di pasar buku dan mulai duduk di kursi yang telah disediakan. Tapi, selain menarik perhatian audiens yang sedang berada di area kegiatan, nyatanya ada pula audiens yang memang sudah berniat untuk hadir di obrolan kali ini. Salah satunya adalah Zinda.

“Memang sengaja datang ke event kali ini tuh karena ada Magdalene, BandungBergerak, dan Majalaya.id,” tutur perempuan berusia 29 tahun tersebut.

Lahir dari Kecemasan di Linkungannya

Setelah masing-masing pembicara mengenalkan diri, obrolan dibuka Rifa dengan mengajukan pertanyaan: momen apa yang manyadari media dari masing-masing pembicara harus hadir di masyarakat.

Zulfa Nasrulloh diperkenankan sebagai penanggap pertama. Menurut Zulfa, Majalaya.id lahir dari semangat kawan-kawan muda di Majalaya. Saat pagebluk datang dan membawa pulang pemuda ke kampung halamannya, tersadarlah mereka bahwa kondisi di Majalaya sedang tidak baik-baik saja: tatanan global sedang rapuh dan lokalitas mulai lumpuh.

“Mulanya, kegiatan-kegiatan sosial, sebetulnya. Tapi, setelah itu, kami mencari formula yang menarik bagaimana pergerakan ini terus berlanjut. Akhirnya media menjadi satu formula yang kami buat,” jelas Zulfa terkait awal mula Majalaya.id.

Di Kabupaten Bandung, media berskala lokal memang sudah banyak, itu diakui oleh Zulfa. Laki-laki yang juga berprofesi sebagai penulis ini mengkritik media lokal yang hanya mampu menjawab pertanyaan “apa”, dan tak mampu mengejawantahkan pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana”. Kritik tersebut kemudian dia jawab sendiri lewat Majalaya.id.

“Sehingga, di daerah banyak banget dari satu pemberitaan endingnya adalah gerakan-gerakan tertentu,” terang Zulfa yang sejak berkuliah sudah aktif di isu-isu sosial kemasyarakatan.

Setelah Zulfa, giliran Tri Joko Her Riadi yang bercerita tentang medianya. Sama seperti Majalaya.id, BandungBergerak.id juga lahir saat situasi pagebluk, tepatnya 28 Maret 2021.

Sebelum membuat media berslogan “Melihat Indonesia dari Ibu Kota Asia Afrika”, laki-laki yang akrab disapa Joko ini pernah menjadi wartawan koran Pikiran Rakyat selama lebih dari 12 tahun dan redaktur pelaksana media daring selama 4 bulan. Selama perjalanan kariernya tersebut, Joko menemukan titik temu bahwa verifikasi data adalah sebuah hal yang penting dan media daring kadang tidak memperhatikan hal tersebut.

“Bikin berita tuh butuh waktu yang cukup, tidak boleh tergesa-gesa, nanti ada detail yang hilang. Nah sayangnya, media online belakangan ini jatuhnya ke situ,” ucap laki-laki yang kini menjabat juga sebagai Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id.

Selain itu, Joko mendapati isu-isu minoritas sangat minim terangkat. Menurutnya, melihat pasar pemberitaan, isu-isu tersebut sangat sulit untuk dijual. Atas dasar tersebut, sejak awal, Joko membangun sebuah media yang memprioritaskan pada isu-isu pinggiran. Baginya, media lokal harus hidup bersama warganya, bersama persoalannya.

“Kalau misalnya, di Bandung, ada 50 rumah digusur. Di hari penggusuran semua media datang. Tapi, berapa media yang lalu datang lagi ke warganya seminggu kemudian, sebulan kemudian? Hampir gak ada,” tutur pemenang penghargaan Elizabeth O'Neill Journalism Awards tahun 2018 ini.

Terakhir, giliran Devi Asmarani yang bercerita. Setelah menekuni profesinya sejak tahun 1996, Devi sempat memutuskan vakum dari pekerjaan dengan sebuah alasan pribadi: burn out dan merasa apa yang dilakukannya tak lagi berarti.

Selama masa vakum tersebut, Devi mulai mencoba beragam pekerjaan, mulai dari penulis sampai guru yoga. Sampai kemudian, jiwa wartawan Devi memanggil dirinya kembali ke industri media. Setelah berdiskusi dengan kerabatnya, Hera, munculah usulan untuk menciptakan sebuah media yang berfokus pada persoalan perempuan. Pada tahun 2013, Magdalene lahir.

“Kami menawarkan berita dan perspektif lewat lensa gender, yang mana saat itu belum ada,” kata perempuan yang juga sering mengisi lokakarya tentang media dan gender bagi wartawan di Indonesia.

Dalam segi muatan konten, Magdalene menyajikan isu-isu berat dengan cara-cara yang populer. Bagi Devi, isu-isu berat nyatanya mampu dijelaskan melalui aktivitas sehari-hari. Selain itu, Magdalene juga tak mau hanya sekadar menggambarkan masalah saja, sebisa mungkin Magdalene ingin berdampak.

“Mungkin, bukan Magdalene yang menciptakan solusinya, tapi kita menunjukkan di mana sih solusi itu,” jelas Devi.

Konsistensi dan Orisinalitas

Cuaca yang sebelumnya mendung kini berganti hujan deras. Kursi-kursi yang semula kosong, kini mulai terisi satu demi satu. Audiens yang datang tak bisa untuk tidak melepaskan pandangannya dari ketiga pembicara yang sedang bercerita di atas panggung. Kali ini bahasannya terkait sepak terjang yang dialami oleh masing-masing media.

Menurut Joko, media alternatif merupakan sebuah wadah yang memiliki cita-cita tinggi namun kadang terhambat oleh sumber daya yang terbatas. Selain itu, Joko bercerita bahwa tantangan dalam membangun BandungBergerak.id ada pada keterampilan manajemen pengelolaannya.

“Oke, secara konten, secara keredaksian, mungkin bisa kuat, karena yang diriin jurnalis. Tapi, kan ga selesai sampai sana kalau yang namanya media. Harus mikirin kelanjutannya,” ujar Joko yang menghabiskan separuh hidupnya sebagai seorang wartawan.

Selain masalah manajemen pengelolaan, Zulfa menyampaikan hambatan lain selama mengelola Majalaya.id. Hambatan yang disampaikan oleh Zulfa adalah terkait kerasnya lingkungan di daerahnya, sehingga harus berhati-hati dalam memberitakan sesuatu.

“Tapi, tantangan Majalaya.id, saya angkat itu, besok saya dipukuli,” singkat Zulfa merespons terkait banyaknya kasus korupsi di daerah.

Dari hambatan-hambatan yang disampaikan, ketiganya bersepakat bahwa konsistensi dan orisinalitas adalah hal yang wajib dimiliki oleh sebuah media alternatif. Zulfa berkata bahwa mengelola sebuah media adalah pekerjaan yang susah. Kesusahan tersebut yang akhirnya memaksa Majalaya.id untuk menghadirkan konten secara terus menerus.

“Jadi kalau kami, terus melaksanakan kerja kecil di Majalaya.id setiap harinya,” kata laki-laki yang menyukai buku, kopi, dan teater ini.

Devi bercerita bahwa orisinalitas juga penting sebagai nyawa dari sebuah media alternatif. Menurut Devi, mengetahui identitas medianya sendiri adalah hal yang wajib untuk dilakukan.

“Kalau di Magdalene, yang kami jual adalah pemikiran dan perspektif yang kritis,” terang pemenang S.K. Trimurti Award pada tahun 2018 ini.

Zulfa memiliki pandangan hampir serupa dengan Devi. Zulfa berpendapat, bagi siapa pun yang ingin memulai membuat media sendiri, jangan takut untuk membuat sesuatu yang kecil, sesuatu yang bagi sebagian orang sepele. Sebab, asal dilakukan dengan konsisten, serius, komperhensif, dan tulus, akan menghasilkan dampak yang luar biasa.

“Misalnya seblak, tidak ada media lain yang membicarakan seblak secara khusus. Itu bisa digarap sampai dengan museum seblak dunia!” ucap Zulfa sambil tertawa kecil akan idenya tersebut.

Baca Juga: Isi Surat Keprihatinan PBB tentang KUHP Indonesia yang Berpotensi Melanggar HAM
Hari Antikorupsi Momen Membersihkan Pungli di Lingkungan Sekolah
Hikayat Politik Rambut dan Demam Hippies

Bagaimanapun, yang Terpenting, Berdampak Bagi Publik

Lahir dari sebuah keresahan, menjadikan BandungBergerak.id, Magdalene, dan Majalaya.id tak hanya ingin selesai dalam pemberitaan. Sebisa mungkin, kerja-kerja yang dilakukan oleh masing-masing media mampu berdampak kepada publik.

Zinda, salah satu audiens “Berita Pinggir”, mengaku sudah lelah dengan pemberitaan di media arus utama.  Mahasiswa program Magister Unpad ini mengaku jenuh dengan segala informasi yang tidak mampu lebih memberikan dampak bagi publik. Baginya, dibandingkan media arus utama, media alternatif lebih berdampak kepada masyarakat.

“Kalau misalnya saya lihat, how-nya tuh ya langsung impactful ke realitas para penduduk,” terang Zinda ketika ditanyai perihal dampak dari media alternatif hari ini.

Sebagai media alternatif yang sudah berjalan kurang lebih 8 tahun, Magdalene nyatanya masih terus merefleksikan dirinya. Saat pagebluk kemarin, Magdalene mencoba mengubah cara pandang dan cara komukasi yang dilakukan. Media ini mencoba menjadi saudara perempuan bagi pembacanya.

“Intinya adalah kita keluar dari eco chamber itu, dan itu menurut saya yang paling penting sih kalo kita ngomongin dampak,” tutup Devi ketika berbicara tentang indikator kesuksesan dari Magadalene.

Majalaya.id memiliki cerita berbeda untuk berdampak. Zulfa, yang juga menekuni bidang teater, selalu terbuka untuk berbagi formula Majalaya.id dengan media-media yang lain. Salah satunya adalah dengan menyuarakan suara publik melalui media.

“Jadi misalnya pak Bupati nge-like, padahal kontennya lagi ngekritik. Itu pencapaian bagi kami. Terus ada kabar satuan dinas rame gara-gara Majalaya.id,” terang alumni program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI tersebut.

Sama seperti dua media sebelumnya, BandungBergerak.id pun berharap sebisa mungkin berdampak bagi publik. Melalui prinsip lokal, data, dan mendalam, BandungBergerak.id selalu mengupayakan sebisa mungkin bergandengan tangan selalu dengan komunitas-komunitas kecil dan masyarakat yang terpinggirkan. Joko sadar, apa yang dilakukannya memang tidak dapat berdampak secara langsung. Tapi menurutnya dampak jangka panjang harus lebih difokuskan.

“Dua minggu lalu kami bikin pelatihan nulis. Tempatnya adalah di rumah Teh Eva. Teh Eva tuh warga yang tiga hari sebelumnya di­-deadline harus segera pergi dari rumahnya karena digusur. Nah, itu kayak statemen BandungBergerak bahwa kami akan bersama mereka,” kata Joko bercerita terkait kerja-kerja yang pernah dilakukan oleh BandungBergerak.id.

Bagi Joko, semua hal tersebut dilakukan demi meraih kepercayaan publik. Joko berpendapat bahwa kepercayaan adalah investasi terbesar dalam kerja jurnalistik. Meski Joko sendiri menyadari, kepercayaan yang tinggi menimbulkan tanggung jawab yang besar bagi medianya.

“Bagi kami, urusan media itu urusan trust,” tegas laki-laki yang pernah menyelesaikan studi di Ateneo de Manila University ini.

Di penghujung diskusi, ketika ditanyai bencana terbesar bagi jurnalisme, Joko berpendapat bahwa kesedihan terbesar bagi seorang wartawan adalah ketika jurnalisme tidak mampu lagi untuk memberikan dampak kepada publik.

“Tapi sampai hari itu tiba, jurnalisme yang bermutu itu harus diperjuangkan sampai hari betul-betul dia tak lagi relevan,” tutup Joko.

Sekitar pukul 17.30, #obrolan patjar sore hari ini selesai. Raut wajah audiens terlihat puas dengan isi pembicaraan hari ini. Setelah sesi foto bersama, beberapa audiens menemui pembicara untuk mengobrol lebih jauh. Banyak dari mereka yang saling berbagi terkait media alternatif.

Zinda mengaku senang dengan menjamurnya media alternatif. Baginya, kehadiran media alternatif serupa oase di gurun pasir.

Dalam sesi wawancara, Zinda berharap media alternatif mampu konsisten untuk memberitakan topik-topik yang tidak diangkat oleh media arus utama. Selain itu, dia berharap media alternatif mampu untuk tetap berpegang teguh terhadap nilai-nilai yang dibawanya.

“Jangan jadi malah belok kayak dibumbui kapitalisme gitu,” harap Zinda.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//