Bandung di antara Keindahan dan Masalah-masalahnya
Di balik keindahan Kota Bandung, segudang masalah menyeruak. Mulai dari kemacetan, individualisme, hingga ancaman kelestarian alamnya.
Penulis M. Raihan Dani10 Desember 2022
BandungBergerak.id - Bagi sebagian orang, Bandung masih menjadi primadona destinasi wisata yang menarik untuk dikunjungi. Bandung juga dikenal dengan sejarah panjangnya sebagai ibu kota Parahyangan, kawasan yang menurut M.A.W Brouwer “lahir ketika Tuhan sedang tersenyum”. Tetapi di balik itu, Bandung memiliki segudang masalah, mulai dari kemacetan hingga alamnya yang terancam rusak.
Pada festival buku Patjar Merah X Bandung Readers Festival yang berlangsung di kampus Unpar, Nurul Ulu dari Bandungdiary.id dan Pepep DW dari Gunung Institute memaparkan kelebihan maupun masalah yang dimiliki Kota Bandung.
Teh Ulu, demikian ia biasa disapa, mulai bergiat di Bandung Diary sejak 2014. Ia memiliki latar belakang sebagai penjual buku di daerah pecinan Kota Bandung. Kala itu, ia menggunakan media blog untuk berbagi pengalaman mengenai keseharian menjadi warga Bandung.
Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, Teh Ulu pun menggunakan platform lain berupa Instagram dan TikTok. Hal ini dianggap lebih menarik dan informatif, khususnya bagi kalangan milennial yang akrab dengan media sosial.
Ada segmen tersendiri yang diberi nama #bandungforbeginners yang berisi pengalaman Teh Ulu sebagai pendatang yang melihat budaya, kebiasaan, hingga gaya hidup warga Bandung. Ia membuat konten tersebut untuk menginformasikan kepada para penikmatnya untuk lebih memahami serba-serbi orang Bandung.
Teh Ulu berbagi pengalamannya mengenai transformasi wisata Kota Bandung antara dulu dan sekarang. Dahulu, sebelum tahun 2014, tempat nongkrong orang Bandung ada di daerah Kebon Kalapa. Namun, kini telah bergeser ke daerah Braga. Salah satu jajanan saksi kejayaan Kebon Kalapa ialah Susu Idjan, di mana ia sangat merekomendasikan para pengunjung untuk mencicipi kenikmatan rasa susu di toko itu.
Menurutnya, orang Bandung senang sekali berbincang-bincang, bahkan dengan orang asing yang belum dikenal sebelumnya. Ada sebuah kebiasaan unik orang Bandung, yaitu “berpanca kaki”.
“Mengobrol dengan strangers, tentang hal-hal keseharian, seperti tempat tinggal, hingga bertanya tentang siapa leluhur orang tersebut, yang biasanya ditemukan bahwa masih berkerabat dengan kita,” turut Teh Ulu.
Akan tetapi, kebiasaan tersebut perlahan mulai pudar seiring dengan semakin individualisnya masyarakat.
Bukan hanya soal kuliner, Bandung Diary juga menyuguhkan konten-konten seputar transportasi di Bandung. Sebagai warga Bandung, Teh Ulu sering bepergian menggunakan transportasi umum, lalu membagikan pengalamanannya di medsos.
Teh Ulu cukup mewakili keresahan warga Bandung perihal tersebut, lantaran kurangnya transportasi umum secara kualitas maupun kuantitas sehingga kemacetan sudah menjadi identik dengan kota ini.
Baca Juga: Mengenali Bingkai Media Alternatif Lewat Diskusi Berita Pinggir
Panel Surya Bukan Sekadar Estetika Kota
Isi Surat Keprihatinan PBB tentang KUHP Indonesia yang Berpotensi Melanggar HAM
Menjaga Kelestarian Alam dengan Berhenti Mendaki Gunung
Giliran Pepep DW yang membagikan pengalamannya tentang Bandung. Lelaki yang kerap disapa Mang Pepep itu mengajak warga untuk tetap menjaga kelestarian alam. Melalui dua karyanya, Manusia dan Gunung, dan Sadar Kawasan, Pepep mengajak masyarakat yang hendak menikmati keindahan alam untuk tidak merusak lingkungan yang masih asri. Keberlanjutan gunung dan lingkungan alam harus terus dirawat karena keduanya sudah menjadi aspek penting dalam melindungi kelangsungan kehidupan manusia.
Dalam Manusia dan Gunung, ia menceritakan banyak hal yang manusia dapatkan. Setidaknya terdapat beberapa hal yang dapat dipetik dari filosofi gunung itu sendiri. Dari segi sejarah, gunung sudah masyhur di kalangan para pujangga masa lalu.
Dalam ramalan Jayabaya misalnya, istilah “Kendeng” biasa diasosiasikan dengan sebuah gunung yang menjadi penanda suatu wilayah. Dari segi teologi, gunung telah menjadi latar di banyak agama dan kepercayaan besar dunia.
Pada agama Islam misalnya, dijelaskan bahwa Adam dan Hawa melepas kerinduan mereka di sebuah gunung Jabal Rahmah. Kemudian dijalaskan bahwa gunung-gunung menjadi penyangga dunia. Lalu, dalam kisah Hinduisme di nusantara, dijelaskan bahwa gunung menjadi tempat pertapaan moksa para pemuka agama.
Dari segi mitologi, yakni banyaknya mitos dan dan legenda cerita rakyat yang berlatarkan gunung. Paling masyhur adalah legenda Sangkuriang yang menjadi asal-usul gunung Tangkuban Parahu. Mitos dituturkan secara tradisi lisan turun-temurun oleh masyarakat lokal Priangan. Mitos pun tidak sepenuhnya sekadar hal-hal supranatural yang tidak masuk akal, namun terdapat maksud dan tujuan tertentu yang dimaksudkan untuk menjaga hal-hal yang baik.
Sebagai contoh, pada masyarakat di sebuah gunung di Kabupaten Bandung, terdapat pamali untuk menebang pohon sembarangan. Menariknya, larangan tersebutlah yang menjaga lingkungan wilayah tersebut tetap asri. Itulah alasan mengapa gunung sangat menarik untuk dipahami dan dinikmati.
Gunung dapat dengan mudah dinikmati dengan melakukan wisata. Akan tetapi, aktivitas wisata di area gunung tersebut menimbulkan masalah baru.
Menurut Mang Pepep, banyaknya aktivitas wisata di area pegunungan menimbulkan butterfly effect, di mana masuknya wisatawan justru akan menyebabkan kerusakan lingkungan. Hal ini dikarenakan perkembangan media sosial yang masif, sehingga wisatawan acap kali membagikan konten keindahan alam di tempat yang seharusnya dilindungi.
Tersebarnya lokasi-lokasi gunung juga menyebabkan berdatangannya investor yang akhirnya akan memicu kerusakan yang lebih luas.
Oleh karena itu, Pepep bersama pendaki gunung dan pecinta alam di Bandung Raya mengkampanyekan untuk berhenti mendaki gunung.
“Hal termudah bagi saya untuk mencintai gunung adalah dengan berhenti mendakinya. Sadar akan kawasan yang dilindungi sangat penting demi menjaga kelestarian alam itu sendiri,” tutur Mang Pepep.
Ute (23), sebagai salah seorang peserta diskusi di pasar buku Patjar Merah mengaku senang dapat bertemu dan berdiskusi langsung dengan sosok penulis buku “Manusia dan Gunung”. Meski bukan berasal dari Bandung, Ute menilai gunung sangat identik dengan Bandung.
Ute pernah berkuliah di salah satu kampus di Bandung, sehingga manakala ia melihat pemandangan pegunungan, hal tersebut membuatnya memiliki rasa waas (terkenang). Ia berharap ke depannya festival buku Patjar Merah terus berlanjut dan akan semakin memberi manfaat bagi para pembaca.