• Berita
  • Remy Sylado, Berpulangnya Sastrawan Besar yang Dekat dengan Komunitas Kecil

Remy Sylado, Berpulangnya Sastrawan Besar yang Dekat dengan Komunitas Kecil

Remy Sylado dekat dengan komunitas atau sastrawan di Bandung. Remy misalnya hadir saat pembukaan tempat baru toko buku dan penerbit Ultimus.

Remy Sylado (kanan) bersama penyair Matdon di acara Majelis Sastra Bandung dan Ultimus, 12 Juli 2013. (Foto: Matdon/Majelis Sastra Bandung)

Penulis Iman Herdiana12 Desember 2022


BandungBergerak.idKabar duka datang dari sastrawan Yapi Tambayong atau akrab disapa Remy Sylado. Seniman penulis novel Ca Bau Kan ini meninggal dunia, Senin (12/12/2022). Meninggalnya Remy secara khusus membekas bagi seniman Bandung. Terlebih salah satu novelnya yang berjudul Orexas (1978) bercerita tentang kehidupan di Bandung.

Selain menyandang sastrawan nasional yang serba bisa, Remy akrab dengan beragam kalangan. Ia dinilai sebagai sastrawan yang tidak bauan alias pilih-pilih.

“Remi itu seorang seniman yang tidak bauan, sangat akrab dengan seniman senior maupun yang bawah,” kata Matdon, penyair yang juga pendiri Majelis Sastra Bandung, kepada BandungBergerak.id.

Suatu hari, Matdon dan teman-temannya bertemu sebuah hotel di Bandung. Remy langsung berteriak dalam bahasa Sunda akrab. “Matdon ana buku maneh, ka urangkeun atuh euy,” tutur Matdon.

Bagi orang lain mungkin kata-kata Remy tersebut terdengar kasar. Tapi bagi Matdon kata-kata tersebut sebagai sebuah keakraban.

“Muhun bang (Remy) insha allah dikirim,” jawab Matdon.

Waktu itu sebelum pandemi, yakni 2019 akhir. Setelah itu Matdon tak ketemu lagi dengan Remy Sylado, namun masih mendapat kabar dari seniman Depok dan Bogor, di antaranya dari Ramses Simatupang, penyair dari Depok.

Belakangan diketahui bahwa Remy Sylado sakit stroke, sebagaimana dikabarkan Andreas Harsono melalui Twitter @andreasharsono. “Sastrawan Remy Sylado sudah stroke tiga kali, biaya buat sewa ambulans tak ada, hanya berobat herbal di rumah Jakarta, hari ini dikunjungi Gubernur @aniesbaswedan di rumahnya Cipinang Muara,” cuit jurnalis senior tersebut, 14 Januari 2022.

Remy menapak di semua kalangan, baik di komunitas besar maupun komunitas kecil. Menurut Bilven Rivaldo Gultom yang akrab disapa Bilven Sandalista, pendiri toko buku dan penerbit Ultimus, Bandung, Remy Sylado bahkan hadir ketika Ultimus membuka tempat barunya di kawasan Cikutra, 12 Juli 2013.

"Meski beliau adalah sastrawan dan budayawan besar, tapi tetap bersedia hadir dan berbagi ilmu di komunitas-komunitas literasi kecil," kata Bilven, melalui pesan singkat kepada BandungBergerak.id.

Sebelumnya, kabar meninggal dunianya Remy Sylado disampaikan politikus Fadli Zon melalui akun Twitter-nya.

Baca Juga: Asa di Lorong Braga
Panel Surya Bukan Sekadar Estetika Kota
Bandung di antara Keindahan dan Masalah-masalahnya

Remy Sylado bersama para seniman di Bandung, 2019. (Foto: Matdon/Majelis Sastra Bandung)
Remy Sylado bersama para seniman di Bandung, 2019. (Foto: Matdon/Majelis Sastra Bandung)

Biografi Remy Sylado

Menurut laman Kemendikbud, berikut ini adalah biografi Remy Sylado: Remy merupakan tokoh yang menggagas puisi mbeling pada sekitar tahun 1972, ketika Orde Baru disuarakan dengan kesan feodal dan munafik.

Apabila dilihat sejarahnya, puisi mbeling merupakan nama sebuah kolom yang diasuhnya di majalah Aktuil. Tujuan dihadirkannya kolom tersebut adalah untuk menampung kreativitas anak muda. Mbeling berasal dari bahasa Jawa yang berarti ‘nakal, susah diatur, memberontak’.

Remy tergolong seniman yang serbabisa atau multitalenta, dari penulis buku drama, sutradara, aktor teater, pemain film, sinetron, penyair, novelis, hingga pelukis. Di usianya yang tak tergolong muda lagi, semangat dan produktivitas Remy masih membara untuk berkarya. Saat ini ia masih menulis buku, mengisi ruang-ruang pertemuan ilmiah, melakukan orasi budaya, dan melakukan aktivitas produktif lainnya.

Nama Remy Sylado mulai disandang sejak ia membentuk grup musik bernama Remy Sylado Company semasa SMA di Semarang. Hal itu pun yang menginisiasi penggunaan nama Remy Sylado. Selain itu, jika dilihat lebih cermat, nama itu pun didapat dari chord pertama lirik lagu “All My Loving” milik The Beatles. Lambang 2-3-7-6-1 adalah notasi re-mi-si-la-do.

Dilahirkan di Malino pada 12 Juli 1945, Remy Sylado yang dikenal oleh banyak orang memiliki nama lengkap Yusbal Anak Perang Imanuel Panda Abdiel Tambayong

atau disingkat Japi Tambayong. Ia dilahirkan oleh pasangan Johannes Hendrik Tamboyang dan Juliana Panda. Ia menikahi perempuan bernama Maria Louise. Dalam pengakuannya, Maria tertarik kepada Remy pada pandangan pertama karena penampilan Remy. Istrinya tersebut pernah meminta Remy untuk memotong rambutnya yang telah mencapai sepantat untuk membuktikan keseriusannya itu. Sepengetahuan penulis, saat ini Remy memiliki rumah di Cipinang Muara dan Cikarawang, Bogor.

Sangat wajar apabila Remy dikenal sangat produktif dalam menciptakan karya-karyanya. Itu karena minatnya terhadap buku dan membaca sudah terlihat sejak kecil. Ia senang sekali pergi ke Pasar Bulu dan Pasar Johar untuk mencari komik-komik kuno dari Amerika dan bacaan lain. Kebiasaan berburu buku itu sampai sekarang masih dilakukan oleh Remy.

Kemampuan Remy dalam berbahasa pun patut diacungi jempol. Bahasa yang ia kuasai, antara lain, ialah bahasa Mandarin, Jepang, Arab, Yunani, Inggris, dan Belanda. Tidak jarang dalam tulisan dan ceramah ilmiahnya ia membahas kebahasaan.

Karier Remy Sylado tidak terlepas dari dunia seni dan menulis yang digeluti. Selain itu, ia pernah menjadi wartawan di media massa cetak berskala nasional, pfengagas berdirinya Dapur Teater di Bandung, dan pengasuh beberapa majalah.

Berikut ini merupakan karya-karya Remy Sylado serta penghargaan yang pernah ia peroleh:

Puisi

  1. Kerygma (1999),
  2. Puisi Mbeling Remy Sylado (2004), dan
  3. Kerygma dan Martryria (2004).

Prosa (Novel)

  1. Gali Lobang Gila Lobang (1977),
  2. Kita Hidup Hanya Sekali (1977),
  3. Orexas (1978),
  4. Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa (1999),
  5. Kembang Jepun (2002),
  6. Kerudung Merah Kirmizi (2002),
  7. Pariys van Java (2003),
  8. Menunggu Matahari Melbourne (2004),
  9. Sampo Kong (2004),
  10. Mimi Lan Mintuna (2007),
  11. Namaku Mata Hari (2010), dan
  12. Hotel Prodeo (2010).

Drama

  1. Siau Ling (2001),
  2. Jalan Tamblong: Kumpulan Drama Musik (2010), dan
  3. Drama Sejarah 1832 (2012).

Film

  1. “Tinggal Sesaat Lagi” (1986),
  2. “Akibat Kanker Payudara” (1987),
  3. “Dua dari Tiga Laki-laki” (1989),
  4. “Taksi” (1990),
  5. “Blok M” (1990),
  6. “Pesta” (1991),
  7. “Tutur Tinular IV [Mendung Bergulung di Atas Majapahit]” (1992),
  8. “Capres” (2009),
  9. “Bulan di Atas Kuburan” (2015), dan
  10. “Senjakala di Manado” (2016).

Nonfiksi

  1. Dasar-Dasar Dramaturgi,
  2. Mengenal Teater Anak,
  3. Menuju Apresiasi Musik,
  4. Sosiologi Musik, dan
  5. Ensiklopeia Musik.

Penghargaan

  1. Juara II Lomba melukis tingkat SR (SD) se-Semarang (1956),
  2. Juara I menyanyi meniru suara Elvis Presley di Semarang (1961),
  3. Juara II menyanyi meniru suara Pat Boone di Semarang (1961),
  4. Juara I menyanyi meniru suara Louis Armstrong di Semarang (1962),
  5. Nominasi aktor terbaik di FFI dalam film “Tinggal Sesaat Lagi” (1986),
  6. Nominasi aktor terbaik di FFI dalam film “Akibat Kanker Payudara” (1987),
  7. Nominasi aktor terbaik di FFI dalam film “Dua dari Tiga Laki-laki” (1988),
  8. Peraih Piagam Apresiasi dari Walikota Solo untuk Bidang Lukis (1989),
  9. Man of Achievement dalam Who's Who in Asia and Pacific (1991),
  10. Peraih Khatulistiwa Literary Award: “Kerudung Merah Kirmizi” (2002),
  11. Peraih Anugrah Indonesia untuk bidang musik (2008),
  12. Aktor terpuji di FFB dalam film “Bintang Idola” (2004),
  13. Peraih penghargaan MURI untuk bidang puisi “Kerygma & Martyria” (2004),
  14. Peraih Satya Lencana Kebudayaan dari Negara/Presiden (2005),
  15. Peraih Penghargaan Sastra Terbaik Pusat Bahasa dalam “Kerudung Merah Kirmizi” (2006),
  16. Penerima Piagam Apresiasi Masyarakat Budaya Minahasa (2007),
  17. Penerima Piagam Piagam PAPPRI untuk Bidang Kritik Musik (2008),
  18. Peraih Braga Award (kepelaporan musik sastra) dari Gubenrnur Jawa Barat (2009),
  19. Peraih Sastra Bermutu melalui “Can Bau Kan” dari Komunitas Nobel Indonesia (2011),
  20. Penerima Piagam Kebudayaan (kepelaporan teater) dari Gubenrnur Jawa Barat (2012),
  21. Penerima Piagam Brawijaya dari Pangkima Kodam Brawijaya (2013),
  22. Peraih Penghargaan Achmad Bakrie Bidang Sastra dari Freedom institute (2013), dan
  23. Penerima Piagam Penghargaan Kerukunan Keluarga Kawuna (2013).
Editor: Redaksi

COMMENTS

//