• Berita
  • Konsolidasi Perempuan Bandung Kampanyekan Ruang Aman

Konsolidasi Perempuan Bandung Kampanyekan Ruang Aman

Perempuan makin menjadi kelompok yang rentan dengan disahkannya KUHP. Penting menciptakan ruang aman bagi perempuan.

Diskusi lintas kelompok, komunitas, dan organisasi perempuan memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) yang digelar di kantor LBH Bandung pada 9 Desember 2022. (Foto: Emi La Palau/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau12 Desember 2022


BandungBergerak.id—Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung bersama sejumlah kelompok, komunitas, dan organisasi perempuan menyepakati pentingnya membangun ruang aman bagi perempuan dengan disahkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kesepakatan tersebut mengemuka dalam diskusi memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) yang digelar di kantor LBH Bandung pada 9 Desember 2022.

Divisi Advokasi dan Penangan Kasus LBH Bandug, Maulida Zahra Kamila diskusi dalam peringatan 16 HAKtP yang jatuh tanggal 25 November hingga 10 Desember pada tahun ini sengaja menjadi ruang konsolidasi gerakan perempuan di Kota Bandung. Pengesahan KUHP oleh DPR pada 6 Desember 2022 lalu yang berisi sarat pasal bermasalah yang berpotensi merugikan perempuan menjadi penting untuk disikapi bersama.

“Teman-teman perempuan di Bandung kayak gerak masing-masing, tapi banyak yang mempunyai keresahan yang sama kenapa tidak coba untuk dikumpulkan, biar kita punya gerakan masif di Bandung,” kata Maulida kepada BandungBergerak.id.

Maulida mengatakan, Kota Bandung memiliki banyak komunitas dan organisasi perempuan yang terkesan berjalan sendiri-sendiri dalam menyuarakan suara perempuan. “Karena kalau misalkan gerakan perempuan terpecah-pecah agak riskan juga. Jadi memang kita pengennya coba bareng. Meskipun yang diundang gak semua hadir,” kata dia.

Beragam kelompok, komunitas, dan organisasi perempuan hadir dari lintas elemen. Di antaranya elemen buruh perempuan, komunitas Jaringan  Antar Umat Beragama (Jakatarub), Great UPI, Women Studi Center UIN, Satgas Pencegahan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UPI, serta kelompok Be With You dari kampus Unikom Bandung, serta elemen mahasiswa dari berbagai kampus lainnya.

Diskusi yang berlangsung hingga malam hari tersebut menyepakati sejumlah topik penting yang akan dibahas dalam rangkaian diskusi yang akan dilaksanakan berkala menjelang Internasional Women Day (IWD) pada Maret 2023. Di antaranya Implementasi Undang-undang TPKS, Sejarah 16 HAKtP, HAM dan KUHP, Kekerasan Terhadap Buruh Perempuan, Sejarah IWD, Budaya Patriarki, Kapitalisme dan Oligarki, Implementasi Permendikbud Ristek tentang PPKS, Kekerasan terhadap jurnalis perempuan, Kekerasan berbasis gender online, perempuan minoritas keberagaman, serta keberagaman gender. Seluruh topik tersebut disepakati menjadi tema tulisan dan materi kampanye digital di media sosial.

Baca Juga: Remy Sylado, Berpulangnya Sastrawan Besar yang Dekat dengan Komunitas Kecil
Hari Antikorupsi Momen Membersihkan Pungli di Lingkungan Sekolah
KUHP Berpotensi Memicu Kriminalisasi, Mengancam Demokrasi, dan Kemerdekaan Pers

Belum Ada Ruang Aman Perempuan

Maulida Zahra Kamila mengatakan, ruang aman bagi perempuan terdengar klise. Padahal ruang aman bagi perempuan belum tercipta. Budaya patriarki yang meminggirkan perempuan masih mengakar kuat. Pengetahuan mengenai kesetaraan gender belum merata.

Kini ditambah dengan hadirnya KUHP dengan sederet pasal bermasalah yang berpotensi merugikan perempuan yang malah merampas ruang aman bagi perempuan. Perjuangan panjang perempuan selama lebih dari 10 tahun mengesahkan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) terbentur KUHP.

Sejumlah pasal bermasalah dalam KUHP bertentangan dengan semangat UU TPKS. Di satu sisi UU TPKS melindungi korban kekerasan seksual, tapi KUHP menjatuhkan korban. KUHP juga memosisikan perempuan menjadi kaum yang rentan.

“Kenapa kita tidak gerak bareng buat ngelawan itu. Menciptakan ruang bersama untuk melawan,” ujar Maulida.

Hanna Gultom, Ketua Be With You dari kampus Unikom mengatakan, konsolidasi komunitas dan organisasi perempuan menjadi penting untuk bertukar pikiran dan mendiskusikan pengalaman masing-masing. Be With You selama ini bergerak di lingkup mahasiswa Unikom mengampanyekan isu kekerasan seksual, serta kesetaraan gender. Ia menyoroti pentingnya gerakan bersama untuk menyebarkan pemahaman untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan.

Pembatasan jam pulang bagi perempuan menjadi contoh paling sederhana tidak adanya ruang aman bagi perempuan karena perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual. Pun demikian dalam ranah maya, ada ancaman kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang mayoritas korbannya perempuan.

“Tidak aman, sampai sejauh ini sangat tidak aman, bahkan saya pun sebagai perempuan ada namanya jam pulang,” ujar Hanna.

Hal sama disampaikan Indri Febrianty, Ketua UKM Women Studi Centre UIN Bandung. Ia merasakan ruang aman bagi perempuan belum tercipta. Masih adanya praktek diskriminasi pada perempuan membuat tiadanya ruang aman bagi perempuan.

Ia menyinggung krusialnya penerapan UU TPKS sebagai angin segar adanya payung hukum yang condong terhadap korban dalam kasus kekerasan seksual. Penerapan UU TPKS harus terus dikawal implementasinya di masyarakat.

“Karena kalau bukan orang yang paham tentang ini yang bergerak siapa lagi,” ujar Indri.

Dibutuhkan Gerak Bersama

Diskusi memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP) mengerucut pada pentingnya seluruh kelompok, komunitas, dan organisasi perempuan untuk bergerak bersama dalam menghadirkan ruang aman bagi pemerempuan.

“Tujuannya sama kenapa gak gerak bareng. Meskipun tiap komunitas, tiap organisasi punya kekhasan masing-masing ya kita di Indonesia sendiri berangkat dari keberagaman, dari keberagaman itu kenapa kita tidak coba bersama-sama buat gerak bersama,” ujar Maulida.

Hal sama disampaikan oleh Indri. Ia sendiri merasa perlu ikut bergerak bersama mengawal isu terkait perempuan ini. Jika semua tidak bergerak, maka tidak akan ada perubahan.

“Ini salah satu wadah untuk kita bergerak. Kalau misal kita berfokus di satu isu apalagi isu yang minoritas, kita tidak cukup tahu dengan isunya saja. Tapi kita perlu bergerak agar ada perubahan,” ujar Indri.

Aan Aminah, Ketua Federasi-Serikat Buruh Militan (F-SEBUMI) juga menilai penting semua elemen perempuan terlibat, termasuk buruh. Pelecehan misalnya banyak dialami buruh perempuan yang kerap takut mengadukan karena berada dalam ancaman, ditambah minimnya pengetahuan mengenai perlindungan korban.

“Supaya mereka paham dan tidak takut, jika mereka ada yang mengalami pelecehan terhadap dirinya,” ujar Aminah.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//