• Opini
  • Anak Sungai Citarum Ikut Menjadi Sungai Terkotor di Dunia: Siapa Bertanggung Jawab?

Anak Sungai Citarum Ikut Menjadi Sungai Terkotor di Dunia: Siapa Bertanggung Jawab?

Sungai Citarum mendapat gelar sungai terkotor di dunia, begitu juga anak sungainya. Cikapundung salah satunya.

Alya Nurfakhira Zahra

Mahasiswa Jurnalistik Fikom Universitas Padjadjaran (Unpad)

Kondisi Sungai Cikapundung di wilayah Tamansari Kota Bandung. (Foto: Alya Nurfakhira Zahra)

20 Desember 2022


BandungBergerak.id—Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat.  Panjangnya sekitar 297 kilometer dan melewati 13 kota/kabupaten di Jawa Barat.  Sungai Citarum juga memiliki banyak anak sungai, termasuk Sungai Cikapundung. Tahun 2018 World Bank menobatkan Sungai Citarum sebagai sungai terkotor di dunia berkat pencemaran limbah rumah tangga dan industri yang menduduki bantaran sungai. Namun, bukan masyarakat yang disalahkan, tetapi lagi-lagi pemerintah yang kena getahnya. Jadi, siapakah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap isu lingkungan yang kian hari meresahkan masyarakat?

Belakangan ini, isu lingkungan mulai mendapat perhatian publik. Mulai dari pemanasan global, perdagangan satwa liar, eksploitasi satwa liar sebagai konten media sosial yang menguntungkan, sampai pada pencemaran sungai. Kristanto (2002) mengungkapkan bahwa pencemaran sungai adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal. Wisno (1995) menambahkan bahwa pencemaran sungai yang disebabkan logam sudah melebihi batas berbahaya bagi kehidupan manusia.

Dibuktikan Sepanjang tahun 2021 BPS (Badan Pusat Statistik) melaporkan bahwa terdapat 10.628 desa/kelurahan di Indonesia yang mengalami pencemaran air. Jawa Barat menduduki peringkat kedua dengan 1.217 desa/kelurahan terdampak pencemaran setelah Jawa Tengah yang meraih peringkat tertinggi.

Baca Juga: Yang Terlupakan dalam Narasi Indonesia Emas 2045
Mengingkari HAM dalam KUHP
Manusia Beranda dan Tragedinya

Masyarakat Kesulitan Mendapatkan Air Bersih akibat Pencemaran Sungai

Sungai Citarum juga memiliki banyak anak sungai, termasuk Sungai Cikapundung di Tamansari Kota Bandung. Masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar Sungai Cikapundung mengeluhkan pencemaran air. Mereka kesulitan mendapatkan air bersih sehingga harus membeli ke wilayah tetangga. Padahal tidak semua kepala keluarga memiliki kondisi ekonomi yang tergolong baik. Mereka harus bertahan hidup dengan kondisi terbatas dan sekarang ditambah beban membeli air bersih yang terbilang cukup mahal.

Jika ditanya bagaimana dengan tanggapan pemerintah? Mereka terkesan angkat tangan pada pencemaran air yang dapat memengaruhi kualitas hidup masyarakat. Pemerintah lebih fokus pada pembersihan sedimen dan sampah di sepanjang sungai atau yang memenuhi bantaran sungai. Terkadang mereka memberikan penyuluhan kepada masyarakat akan pentingnya menjaga sungai. Dilanjutkan kerja bakti membersihkan sungai bersama. Tidak ada aksi apapun terkait masalah air yang dikeluhkan warga, seperti menyediakan akses air bersih gratis untuk rumah warga.

Padahal pencemaran air yang disebabkan oleh kotornya air sungai sangatlah berbahaya untuk masyarakat. Berdasarkan hasil laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan terdapat 485 ribu kasus kematian akibat diare yang berasal dari kualitas air sungai yang buruk. Diketahui bahwa diare dapat menyebabkan penderitanya rawan dehidrasi. Sudah sakit diare sampai dehidrasi malah sulit mendapatkan air bersih untuk minum. Ibarat jatuh dari tangga tertimpa tangganya pula.  Seharusnya pemerintah mulai menaruh perhatian lebih terkait masalah tersebut.

Tiga Unsur Pembangunan dan Penataan Sungai Cikapundung

Selanjutnya, ada tiga unsur pembangunan dan penataan yang dilakukan pemerintah guna menghapus gelar sungai terkotor di dunia. Estetika lingkungan yang diterapkan melalui kerja bakti bersama warga sekitar atau komunitas lingkungan. Mulai dari membersihkan sampah di beberapa titik anak sungai Citarum termasuk Cikapundung, sampai pada pengerukan sedimen tanah. Sedimen tanah yang terlalu tinggi kerap kali mendatangkan banjir ke rumah warga yang bermukim di pinggiran sungai.

Berikutnya estetika sosial sudah berjalan melalui kampanye yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat. Tujuannya meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan sungai. Selain itu, menumbuhkan rasa kepedulian di hati masyarakat untuk ikut terlibat dalam aksi pembersihan sungai. Terakhir, pemerintah juga memberikan kampanye seputar regulasi yang diterbitkan dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup. Namun, tidak semua masyarakat memiliki pemahaman terkait regulasi. Bahkan beberapa di antaranya memilih tidak peduli selagi mereka tidak melanggar. Mereka lebih tertarik pada unsur terakhir dari pembangunan dan penataan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan nilai ekonomi masyarakat.

Melihat kondisi tersebut bagaikan mendengar istilah di mana ada sumber uang, di sanalah masyarakat berpijak. Hal ini dibuktikan melalui kerja bakti yang digelar pemerintah atau komunitas lingkungan akan lebih ramai apabila terdapat suntikan dana sebagai imbalannya dibandingkan sukarela. Belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah bisa membangun sumber ekonomi di sekitar wilayah sungai yang berpotensi jadi tempat wisata. Diselingi nilai sosial dan ekonomi melalui kerja bakti membersihkan bantaran sungai bersama pemerintah, warga setempat, dan wisatawan. Aksi kerja bakti dapat dilakukan pada akhir pekan ketika banyak wisatawan berkunjung. Di sela aksi kerja bakti, pemerintah juga bisa menyelipkan kampanye untuk membangun kesadaran masyarakat.

Kampanye Jalan Terus, tapi Hasil Tetap Nihil

Dari pemaparan yang disampaikan Yadi Supriadi (2022), Petugas BBWS (Balai Besar Wilayah Sungai), terungkap bahwa kampanye terus dilakukan pemerintah, tetapi hasilnya tetap belum terlihat. Ini disebabkan oleh keadaan psikologis masyarakat yang bermukim di sekitar anak Sungai Citarum berbeda-beda. Oleh karena itu, pemerintah harus menyesuaikan diri dan melakukan pendekatan dari hati ke hati sehingga tujuan kampanye dapat terlaksana dengan baik. Namun, semuanya akan percuma apabila masyarakat enggan bekerja sama dengan pemerintah untuk mencapai keberhasilan. Selain itu, pemerintah juga masih kesulitan mengubah pola pikir masyarakat yang masih membuang sampah ke sungai atau sekitarnya. Alasannya karena semua itu harus berdasarkan kesadaran diri sendiri walaupun ada regulasi yang bisa menindak tegas.

Dengan demikian, masalah pada Sungai Cikapundung sebagai anak sungai terkotor di dunia bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau masyarakat saja. Namun, tanggung jawab bersama. Pemerintah dan masyarakat harus saling berpangku tangan untuk menghapus gelar sungai terkotor di dunia dan mulai memperhatikan kualitas sungai beserta lingkungan sekitarnya. Aksi berkelanjutan yang diiringi komitmen jangka panjang dapat menjadi kunci keluar dari masalah Sungai Citarum. Apabila sungai bersih bukan hanya masyarakat yang diuntungkan, tetapi juga pemerintah. Jadi, jagalah kebersihan sungai mulai dari diri sendiri.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//