• Opini
  • Yang Terlupakan dalam Narasi Indonesia Emas 2045

Yang Terlupakan dalam Narasi Indonesia Emas 2045

Demokrasi, HAM, keadilan, dan kemakmuran baru saja diberangus secara membabi buta dengan dilemahkannya KPK, disahkannya Omnibus Law, dan terakhir pengesahan KUHP.

Rudi Agus Hartanto

Mahasiswa Program Magister Linguistik FIB Universitas Sebelas Maret, pegiat Komunitas Kamar Kata dan Sanggar Bima Suci

Demonstran memegang poster saat unjuk rasa menentang pengesahan RKUHP di depan gedung DPRD Jawa Barat di Bandung, 6 Desember 2022. Mereka menuntut pemerintah untuk merevisi sejumlah pasal di RKUHP yang mengancam kebebasan berpendapat masyarakat sipil dengan hukuman penjara. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

19 Desember 2022


BandungBergerak.idTidak kurang dari seperempat abad lagi Indonesia akan berumur seratus tahun. “Indonesia Emas 2045,” begitu kata orang-orang. Sementara sampai hari ini belum jelas siapa penggagas awal ide tersebut. Namun, tanpa disadari kemunculan ide Indonesia Emas telah menciptakan harapan kolektif di tengah kehidupan masyarakat.

Mudah ditemui seorang kepala desa di malam tirakat tujuh belasan menyelipkan jargon Indonesia Emas di sela pidatonya yang penuh pesan moral. Atau pada saat presiden mempresentasikan IKN kepada para calon investor dan pemangku kepentingan (stakeholder), selain target selesai di 2045 juga terselip pesan bahwa keberhasilan pembangunan ibu kota baru merupakan representasi dari Indonesia Emas.

Sementara itu, ide Indonesia Emas telah bergema di berbagai tempat. Di lembaga negara, di kampus, di acara rakyat, dan berbagai tempat lain. Tetapi yang justru menjadi masalah adalah belum adanya sebuah konsep kolektif bagaimana mapping-model cita-cita tersebut. Mungkinkah Indonesia Emas menjawab tantangan budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya di masa mendatang.

Sebelum berdiskusi secara lebih jauh mengenai masa depan, sejak sebelum merdeka masyarakat Indonesia telah terbiasa hidup di bawah bayang-bayang harapan. Satu harapan terwujud di 17 Agustus 1945, yaitu menjadi negara merdeka. Setelah itu, harapan yang tertuang di UUD 1945 menjadi sesuatu yang berbentuk tekstual saja. Secara perwujudan tidak banyak yang tampak, khususnya mengenai demokrasi, HAM, keadilan, dan kemakmuran. Secara garis besar keempat hal itu baru saja diberangus secara membabi buta hanya dalam tiga tahun (2019-2022). Di 2019 lembaga antirasuah dilemahkan dengan disahkannya UUKPK. Kemudian di 2020 dengan disahkannya Omnibus Law, dan terakhir disahkannya UU KUHP pada 6 Desember 2022 kemarin.

Mungkinkah Indonesia Emas 2045 Benar-benar Berkilau bagi Masyarakatnya?

Meski terdengar utopis, tentunya tidak menutup kemungkinan bahwa di balik kuasa optimisme yang berkembang juga ada pesimisme yang bergumam di kepala masyarakat. Menurut hasil SUPAS 2015 yang dilakukan oleh BPS jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 318,96 juta jiwa pada 2045. Dengan asumsi jumlah usia penduduk produktif (15-64 tahun) diperkirakan mencapai 207,99 juta jiwa.

Berdasar asumsi tersebut, hal yang perlu disiapkan negara seharusnya bukanlah regulasi yang mengekang masyarakat. Tetapi mewujudkan regulasi sebagaimana cita-cita kemerdekaan yang tertera sangat jelas di alinea keempat UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteran umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Selain itu, identitas sebagai negara hukum tidak dapat dipisahkan. Karena hal itu merupakan dasar untuk memenuhi terwujudnya kedaulatan rakyat sebagai representasi negara demokrasi. Tetapi dalam konteks mewujudkan narasi Indonesia Emas 2045 negara perlu berkaca kembali. Terbentuknya undang-undang—sebagaimana disinggung di awal, sebenarnya telah membatasi gerak konseptual Indonesia Emas yang secara kolektif belum berbentuk.

Gambaran Indonesia Emas yang ditawarkan negara tidak menjadi sesuatu yang bermakna. Bahkan, cenderung mengebiri cita-cita kemerdekaan. Dalam konteks perlindungan, kehadiran UU KPK, Omnibus Law, dan UU KUHP merupakan wujud nyata dalam melindungi para koruptor, memenggal hak-hak pekerja, dan menutup ruang demokrasi. Dampak dari hal itu sangat mungkin akan mengebiri hal-hal lain, dan yang paling menyakitkan adalah tidak terwujudnya keadilan sosial.

Pergeseran yang terjadi akibat dari undang-undang tersebut ialah Indonesia yang sebelumnya negara yang berdasar hukum (rechtsstaats) menjadi negara kekuasaan (machtsstaat). Stahl dalam Muabezi (2017) menjelaskan bahwa negara hukum memiliki ciri-ciri adanya pelindungan HAM, pemisahan atau pembagian kekuasaan, adanya pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan, dan adanya peradilan yang bebas dalam perselisihan.

Sementara itu, Muaebzi (2017) juga menjelaskan bahwa negara kekuasaan (machtsstaat) merupakan sebuah sistem hukum dan politik yang kebenarannya hanya dimiliki oleh negara. Dalam hal ini negara direpresentasikan oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang saling terkooptasi. Karenanya dalam kuasa tersebut, yang ada di kehidupan suatu negara hanyalah paham totaliter, fasis, absolut, dan represif.

Dalam sekup yang sempit, Indonesia tengah menghadapi kenyataan bahwa sebagai negara cenderung mengarah kepada machsstaat. Hal itu tertuang dalam undang-undang yang membatasi ruang gerak masyarakat dari berbagai sisi. Karena negara semakin memperbesar kuasanya daripada memberi kebebasan kepada masyarakat untuk turut andil memperbaiki dan memajukan negaranya sebagaimana cita-cita kolektif selama memperjuangkan kemerdekaan.

Apa yang sudah terjadi hari ini tentunya akan berdampak panjang. Tidak semudah negara mengatakan bahwa undang-undang yang disahkan dapat diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Populasi 318,96 juta jiwa di 2045 yang hari ini menghirup udara, telah mengantongi sejumlah pesimisme akibat adanya konstitusi yang tidak berpihak kepada mereka.

Baca Juga: Ini Kesaksian Mahasiswa Korban Kekerasan pada Demo Menolak KUHP di Bandung
Aliansi Sipil untuk Kebebasan Berekspresi Kecam Tindakan Represif Polisi Menangani Demonstrasi Anti-UU KUHP di Bandung
Aksi Menolak KUHP di Bandung Berujung Ricuh, Sejumlah Mahasiswa Ditangkap Polisi

Indonesia Emas 2045?

Sekurang-kurangnya masih ada waktu 23 tahun bagi Indonesia untuk mengevaluasi diri. Harapan kolektif yang masih berkelindan di ubun-ubun sudah waktunya dijadikan sebuah konsep yang jelas. Bahwa di 2045 nanti, yang terwujud adalah cita-cita bangsa Indonesia seutuhnya, bukan segelintir orang yang memiliki kuasa atas Indonesia.

Namun, pertanyaan yang kerap muncul di angkringan, pos kamling, diskusi mahasiswa, gedung-gedung pabrik, suara para seniman: masih adakah cahaya itu? Atau sebagaimana dengan mudahnya kita lupa kematian 5 aktivis yang memperjuangkan RKUHP di 2019, atau kejadian terbunuhnya 136 nyawa di Stadion Kanjuruhan, dan berbagai persitiwa pelanggaran HAM lainnya yang proses penyelesaiannya masih abu-abu. Semua orang berhak mempertanyakan keseriusan Indonesia dalam menggarap Indonesia Emas 2045.

Oleh sebab itu, sepertinya yang tidak pernah berubah di dalam kehidupan berbangsa adalah cita-cita keadilan sosial. Tetapi mungkinkah cita-cita itu terwujud di 2045? Apakah keadilan sosial menjadi fondasi utama dalam menarasikan Indonesia Emas 2045? Pertanyaan itu penting supaya tidak ada pertanyaan bahwa negara Indonesia milik siapa.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//