RISET UNPAR: Penyebab Mudik Tidak Bisa Ditahan
Pandemi Covid-19 menguatkan fenomena mudik yang tidak bisa ditahan. Pemerintah perlu semakin serius mengelola perjalanan pemudik.
Penulis Tim Penulis BandungBergerak.id23 Desember 2022
Riset BandungBergerak.id — Pemerintah melarang mudik pada tahun 2021 dengan alasan masih tingginya kasus Covid-19. Tak berselang lama merebak virus korona varian Delta yang membuat layanan kesehatan di Indonesia hampir kolaps.
Setahun kemudian situasi pandemi mulai berbalik. Kasus penularan virus korona makin redup. Pemerintah awalnya sempat ragu untuk membolehkan mudik.
Namun akhirnya luluh. Sejumlah indikator epidemiologi menunjukkan kasus Covid-19 memang menurun. Pemerintah untuk pertama kalinya membolehkan lagi mudik pada Hari Raya Lebaran 2022.
Keberadaan vaksin juga menjadi pembeda dengan situasi pandemi pada 2021. Jangkauannya makin luas. Pemerintah akhirnya memanfaatkan momen mudik untuk mempercepat vaksinasi. Pemudik misalnya diwajibkan mendapatkan suntikan vaksin lengkap jika ingin mudik tanpa syarat tes Covid.
Seperti kuda lepas dari pingitan, mudik Lebaran 2022 membludak. Pemerintah menggunakan statistik pembanding untuk perencanaan pengaturan lalu lintas menghadapi mudik dengan data mudik tahun 2019, setahun sebelum pandemi Covid-19.
Benar saja, antusiasme masyarakat untuk mudik Lebaran 2022 luar biasa. Data Kementerian Perhubungan yang dikutip dari opendata.jabarprov.go.id mencatatkan jumlah pemudik tahun 2022 mencapai 85 juta orang, 14 juta di antaranya berasal dari Jabodetabek.
Terdapat 2,1 juta kendaraan meninggalkan Jabodetabek saat mudik Lebaran 2022. Angka ini disebut sebagai yang tertinggi untuk arus mudik dalam 10 tahun terakhir.
Kolaborasi penelitian yang dilakukan oleh Tri Basuki Joewono, Jeanly Syahputri, dan Fabianus Sebastian Kevin dari Program Studi Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan bersama Muhamad Rizki dari Program Studi Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional Bandung menjadi relevan untuk menjawab pertanyaan mengenai intensi mudik Lebaran 2022. Penelitian tersebut kendati dilakukan menjelang Lebaran 2021 tapi substansinya masih relevan melihat situasi membludaknya pemudik pada Lebaran tahun 2022.
Baca Juga: RISET UNPAR: Menelisik Perubahan Pola Belanja Generasi Z saat Pandemi Covid-19
RISET UNPAR: Rahasia Kekuatan Skena Musik Indie Bandung Menaklukkan Industri Musik
RISET UNPAR: Mencegah Pencurian Data dengan Pembaruan Aplikasi
RISET UNPAR: Membujuk Pengguna Angkutan Umum dengan Aplikasi ecoGlide
Intensi Mudik
Penelitian Tri dkk. dengan judul “Preferensi Mudik Tahun 2021 Berdasarkan Survei Mudik pada Masa Pandemi Covid-19” terbit dalam Jurnal Transportasi pada April 2021. Penelitian tersebut bertujuan memahami pengaruh pandemi Covid-19 terhadap intensi pelaku perjalanan untuk melakukan mudik.
Penelitian Tri dkk. tersebut dilakukan menjelang Lebaran 2021. Saat itu pemerintah memang belum memutuskan memberi lampu hijau untuk mudik Lebaran. Saat itu angka penyebaran kasus Covid-19 juga tengah melandai, sehingga wacana membolehkan mudik sedang kencang-kencangnya.
Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, juga Indonesia, membuat pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang bertujuan menahan mobilitas manusia. Harapannya dengan menekan mobilitas akan menekan penyebaran virus korona.
Perjalanan mudik yang rutin dilaksanakan saat perayaan Hari Raya Idulfitri 2020 kemudian terimbas. Pemerintah membatasi pergerakan kendaraan di kota-kota Indonesia untuk mencegah penyebaran virus korona. Mudik saat itu tidak seramai biasanya.
Tri dkk. mengutip Ettema (2010) yang menyebutkan bahwa pembatasan pergerakan telah mempengaruhi kebutuhan individu untuk beraktivitas. Sejumlah studi menunjukkan munculnya masalah mental di masa pandemi, seperti stres dan frustrasi. Di satu sisi, mengutip Prasetyo dan Sofyan (2020), perjalanan mudik dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan mental dan emosional.
Tri dkk. ingin menguji lewat penelitiannya mengenai intensi mudik pada 2021 di tengah tekanan situasi pandemi Covid-19. “Secara spesifik pada penelitian dilakukan analisis terhadap intensi mudik pada tahun 2021 dengan mempertimbangkan alasan mudik, aspek kesehatan mental saat pandemi 2020, dan aspek sosio demografi,” tulisnya.
Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner yang dibagikan secara daring. Responden yang dipilih sengaja yang sebelumnya melakukan perjalanan mudik pada Lebaran 2020. Setiap responden yang terpilih diberikan pertanyaan seputar mudik. Di antaranya mengenai alasan mudik saat Lebaran 2020, perasaan yang dialaminya selama pandemi, serta intensinya untuk melakukan perjalanan mudik pada tahun 2021.
Responden yang menjawab berjumlah 424 orang dari seluruh Indonesia. Namun, responden yang memenuhi syarat berjumlah 421 orang. Responden sebagian besar berada pada usia 18-25 tahun (49,6 %), lebih dari setengahnya (61,5 %) mahasiswa atau pelajar. Responden dominan adalah pria (52 %).
Dari analisis, Tri dkk. mendapati bahwa responden mengalami beragam perasaan selama masa pandemi. Lebih dari setengah responden (50,6 %) mengharapkan pandemi segera berakhir. Hanya sedikit responden yang merasa frustrasi dan depresi, ada juga yang jengkel, lelah, dan menilai dirinya tidak produktif selama pandemi.
Lebih dari setengah responden beranggapan alasan mudik yang dilakoni saat Lebaran 2020 adalah untuk berlibur atau refreshing (56,8 %). Sebanyak 38,2 % alasan responden mudik adalah untuk bersilaturahmi dengan sanak keluarga.
Dua alasan tersebut masih dominan saat responden ditanya mengenai alasan untuk mudik pada Lebaran 2021. Yakni 47,4 persen responden memilih alasan mudik untuk berlibur dan refreshing, 30,4 % responden beralasan mudik menjadi kesempatan untuk bersilaturahmi dengan sanak keluarga.
Alasan Mudik itu Emosional
Tri dkk. menggunakan analisis diskriminan untuk membangun model klasifikasi intensi perjalanan mudik 2021 dengan variabel terikat. Sebagian besar responden belum memutuskan rencana mudik (28,3 %). Tidak sedikit yang sudah yakin untuk mudik, apa pun yang terjadi. Ada responden yang sudah memutuskan tidak akan mudik.
“Deskripsi responden menunjukkan bahwa terdapat variasi intensi dalam melakukan mudik, mulai dari keputusan untuk mudik hingga keputusan untuk tidak mudik. Variabel yang memengaruhi keputusan tersebut diinvestigasi dalam analisis diskriminan dengan variabel bebas karakteristik sosio demografi, alasan penggunaan, dan perasaan saat pandemi,” tulis Tri dkk.
Tri dkk. menyimpulkan dari analisis model bahwa variabel sosio-demografi merupakan salah satu variabel penjelas intensi mudik tahun2021. Berikut temuannya.
Pelaku perjalanan dengan pendapatan kurang dari Rp 2,5 juta cenderung akan mudik. Hal ini diprediksi pada keluarga dengan penghasilan lebih rendah cenderung memiliki tradisi untuk melakukan mudik dan memiliki pertimbangan yang lebih fleksibel untuk melakukan mudik.
Sebaliknya pelaku perjalanan yang memiliki pendapatan tinggi cenderung belum memutuskan untuk mudik. Mereka cenderung berhati-hati dalam melakukan mudik. Jika vaksin sudah tersedia, cenderung akan mudik.
Selanjutnya alasan kerinduan pada orang tua mempengaruhi intensi untuk mudik. Temuan ini menunjukkan perasaan emosional terhadap anggota keluarga sangat mempengaruhi keputusan untuk mudik dibandingkan alasan lainnya.
Pelaku perjalanan yang tinggal bersama saudara atau keluarga cenderung belum memutuskan untuk mudik. Diduga dengan banyaknya kehadiran anggota keluarga intensi mudik berkurang karena keluarga berkumpul pada satu rumah.
Vaksin Covid-19 Mendorong Mudik
Penelitian Tri dkk. mendapati ketersediaan vaksin juga memberi pengaruh pada intensi mudik. Pelaku perjalanan yang tidak sabar menunggu pandemi berakhir, akan cenderung mudik asal vaksin tersedia. Hasil ini menunjukkan kendati tidak sabar dan jengkel, pelaku perjalanan cenderung tetap mengambil keputusan dengan menimbang risiko rendah, yakni dengan tersedianya vaksin.
Tri dkk. menyimpulkan pandemi yang belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, tidak menyurutkan niat untuk mudik. Khususnya bagi kelompok masyarakat dengan pendapatan rendah dan berusia muda. Apapun keputusan pemerintah mengenai mudik di tengah situasi pandemi, pemerintah disarankan untuk tetap menyiapkan protokol mudik mengikuti aturan pembatasan sosial.
Selanjutnya, alasan emosional berperan besar dalam intensi untuk mudik. Untuk menyiasatinya, pemerintah diharapkan menguatkan dan meluaskan infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) agar makin memudahkan masyarakat memenuhi kebutuhan emosionalnya untuk bertemu keluarga sehingga diharapkan mengerem keinginan untuk mudik.
*Artikel RISET UNPAR terbit sebagai bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Unpar Bandung.