RISET UNPAR: Menelisik Kegagalan Penerapan Parkir Elektronik di Kota Bandung
Penerapan e-parking atau parkir elektronik di Kota Bandung berjalan tidak efektif. Memerlukan banyak perbaikan.
Penulis Tim Penulis BandungBergerak.id26 Desember 2022
Riset BandungBergerak.id—Penerapan parkir elektronik di Kota Bandung gagal mengoptimalkan pendapatan daerah. E-government yang digadang-gadang pemerintah ternyata belum bisa menghadirkan layanan berbasis digital untuk warganya. Setidaknya terdapat empat faktor yang membuat parkir elektronik ini tidak bekerja efektif. Adanya kesenjangan digital, rendahnya kualitas tenaga parkir, tidak adanya rencana strategis yang menjadi pijakan regulasi, dan tidak adanya mekanisme pemeliharaan mesin parkir.
Selain keempat faktor itu, penelitian Dosen Dosen Administrasi Publik Universitas Katolik Parahyangan Tutik Rachmawati dan Kusuma Dwi Fitriyanti juga menemukan aspek penting lain yaitu, yaitu investasi yang belum dirancang secara strategis, kurangnya kepemimpinan, dan rendahnya kualitas pendidikan dan pemasaran. Ketiga aspek itu turut berkontribusi pada kegagalan pencapaian tujuan inisiatif parkir elektronik. Hasil riset ini telah dipublikasikan di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 25 yang terbit 1 Juli 2021.
Pada Desember 2013, Kota Bandung menjadi sorotan berbagai media saat Ridwan Kamil, Wali Kota Bandung ketika itu, meresmikan beroperasinya mesin parkir elektronik. Inisiatif Pemkot Bandung menerapkan e-parking dianggap sebagai perwujudan e-government yang ditandai dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam proses penyelenggaraan pemerintahan terutama pelayanan publik.
Di Kota Bandung, pendapatan daerah dari retribusi parkir tak pernah mencapai target. Padahal jika diamati, potensi pendapatan parkirnya tergolong besar. Salah satu yang terbesar berasal dari parkir pinggir jalan.
Pinggir jalan merupakan fasilitas umum yang dapat digunakan sebagai sumber pendapatan daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Daerah Kota Bandung Nomor 9/2010. Artinya, penggunaan fasilitas umum pinggir jalan untuk parkir dapat dikenakan biaya tertentu sebagai pemberian pelayanan publik.
Akan tetapi, Pemkot Bandung kepayahan memenuhi target pendapatan retribusi parkir. Parkir liar tak kunjung terselesaikan. Pengawasan pada penarikan retribusi parkir di pinggir jalan juga sangat lemah. Semula persoalan inilah yang hendak dipecahkan dengan penerapan parkir elektronik. Pemkot Bandung meletakkan mesin-mesin parkir elektronik di pinggir jalan. Secara bertahap pemerintah terus menambah jumlah mesin e-parking yang dipasang hingga mencapai 445 unit. Sayangnya, cita-cita untuk meningkatkan pendapatan retribusi parkir tak juga terwujud.
Baca Juga: RISET UNPAR: Penyebab Mudik Tidak Bisa Ditahan
RISET UNPAR: Menelisik Perubahan Pola Belanja Generasi Z saat Pandemi Covid-19
RISET UNPAR: Rahasia Kekuatan Skena Musik Indie Bandung Menaklukkan Industri Musik
RISET UNPAR: Mencegah Pencurian Data dengan Pembaruan Aplikasi
Tujuh Jalan Utama
Tutik Rachmawati dan Kusuma Dwi Fitriyanti meneliti persoalan dalam penerapan e-parking di Kota Bandung ini selama lima bulan, mulai Agustus sampai Desember 2019. Keduanya meneliti tujuh jalan utama di Kota Bandung. Tiga aspek yang menjadi perhatian di lokasi tersebut ialah jalan-jalan utama tersibuk dan paling sepi, ketersediaan petugas parkir yang menjaga mesin e-parking, dan kondisi mesin e-parking di sana.
Untuk mendapatkan data kualitatif, peneliti melakukan wawancara dengan dua petugas Unit Pelaksana Teknis Perparkiran (TIU) Dinas Perhubungan Kota Bandung, empat petugas parkir, dan 100 orang pengguna parkir pinggir jalan.
Data-data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan kerangka konseptual yang disusun dengan mempertimbangkan aspek-aspek desain e-government yang dimuat dalam “The E-Government Handbook for Developing Countries” oleh Info Dev The World Bank. “Kami menyoroti aspek-aspek yang kami anggap relevan dalam membahas implementasi e-parking di Kota Bandung. Aspek-aspek tersebut adalah kesenjangan digital, tenaga kerja, regulasi, dan infrastruktur,” demikian peneliti menuturkan.
Untuk menguatkan temuan, peneliti juga mengumpulkan percakapan tentang e-parkir di Kota Bandung di Twitter. Seluruh kicauan dan kicauan kutipan dari akun twitter @infobdg dan @PRFMNews yang berisi percakapan publik tentang e-parking Kota Bandung dalam rentang Januari 2020 dan Maret 2021 dikumpulkan. Terdapat 11 tweet dari akun twitter infobdg dan 102 tweet dan 11 tweet kutipan dari PRFMNews. Semua kemudian diubah menjadi 112 kasus yang kemudian dianalisis menggunakan software analisis data kualitatif ATLAS.ti untuk memahami persepsi publik tentang aspek-aspek penting dari implementasi e-parkir.
Kesenjangan Digital
Penelitian ini menemukan empat aspek yang berpengaruh signifikan terhadap gagalnya implementasi e-parking di Kota Bandung. Pertama ialah, aspek kesenjangan digital. Terdapat perbedaan kemampuan dan keterampilan masyarakat saat menggunakan e-parking. Hal ini mempengaruhi kesadaran seseorang menggunakan e-parkir.
Berdasarkan wawancara dengan 100 pengguna parkir di pinggir jalan, kesadaran masyarakat terhadap kebijakan e-parking sangat rendah. Hanya 17% masyarakat yang mengetahui kebijakan e-parkir. Terlihat adanya kesenjangan yang signifikan dalam kesadaran masyarakat akan e-parking. Masyarakat terbiasa membayar biaya parkir kepada petugas parkir karena lebih mudah diakses dan nyaman. Kebiasaan tersebut menyebabkan rendahnya kesadaran masyarakat dalam menggunakan e-parking. Kesenjangan digital itu juga berupa rendahnya kemampuan masyarakat menggunakan mesin e-parking, hanya sekitar 38%.
Dari percakapan di Twitter terlihat ada persepsi yang terbentuk di masyarakat tentang e-parking. Menurut masyarakat, e-parking membuat ongkos parkir menjadi lebih mahal karena masyarakat harus membayar dua kali lipat, membayar lewat mesin dan kepada petugas parkir. Akhirnya masyarakat sering memilih untuk tidak menggunakan mesin e-parking tetapi membayar langsung ke petugas parkir secara manual.
Kualitas Tenaga Parkir
Kedua, rendahnya kualitas tenaga parkir. Petugas parkir bertanggung jawab mengarahkan masyarakat menggunakan mesin e-parking. Namun, 73% masyarakat percaya petugas parkir tidak melakukan tugas tersebut.
Rendahnya kualitas petugas parkir juga terkonfirmasi dari hasil observasi dan wawancara dengan mereka. Ketika lebih dari satu kendaraan hendak parkir secara bersamaan, petugas parkir akan memilih untuk membantu mengarahkan yang terdekat terlebih dahulu. Pilihan ini menyebabkan petugas parkir kehilangan kesempatan untuk mengarahkan kendaraan lain. Hal ini sering terjadi sehingga masyarakat menggambarkan petugas parkir tidak proaktif dalam mengarahkan masyarakat untuk menggunakan e-parking.
Temuan ini juga dikuatkan dengan komentar masyarakat di Twitter. Masyarakat Bandung menganggap e-parking tidak berguna karena kualitas petugas parkir yang rendah. Setiap kali masyarakat ingin melakukan pembayaran melalui mesin e-parking, petugas parkir tidak membantu, bahkan ada yang memaksa masyarakat untuk melakukan pembayaran secara manual kepada mereka. Para juru parkir menganggap pembayaran melalui mesin e-parking membuat mereka kehilangan penghasilan. Padahal menurut UPT Parkir, Pemkot Bandung membayar gaji tukang parkir setiap bulan.
Selain kualitas, jumlah tenaga parkir juga menentukan keberhasilan e-parking. Data menunjukkan 21,3% mesin e-parking tidak dijaga oleh petugas parkir. Selain itu, pengguna masih lebih memilih untuk membayar biaya parkir secara tunai langsung kepada petugas parkir. Pengguna yang tidak dapat memproses pembayaran melalui e-parking akan meminta petugas parkir untuk melakukan pembayaran. Sehingga mesin e-parking yang tidak dijaga akan kehilangan potensi pendapatan daerah.
Potensi hilangnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga disebabkan uang yang terkumpul di petugas parkir secara manual tidak disetorkan semuanya ke mesin e-parking. “Mereka akan mengumpulkan uang dari pengguna parkir secara manual. Ketika hari kerjanya selesai, dia akan memasukkan e-card ke mesin dan memasukkan jumlah sesuai target harian. Dia tidak melaporkan sisa uang yang terkumpul jika melebihi target pengumpulan harian,” kata salah seorang petugas parkir.
Tidak Ada Dasar Regulasi
Ketiga, aspek regulasi. Regulasi menjadi landasan hukum bagi setiap implementasi kebijakan, mulai dari perencanaan, bimbingan teknis, sosialisasi, distribusi infrastruktur, pemantauan, dan evaluasi. Studi ini menemukan, implementasi kebijakan e-parking di Kota Bandung tidak didasarkan pada rencana induk dan perencanaan strategis tertentu.
Peneliti menelusuri semua dokumen terkait peraturan perparkiran di Pemerintah Kota Bandung, antara lain Peraturan Walikota Bandung Nomor 1392/2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi serta Tata Kerja Dinas Perhubungan Kota Bandung, Perda Kota Bandung Nomor 634 Tahun 2017 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Daerah Kota Bandung Nomor 764 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Angkutan dan Retribusi di Bidang Perhubungan, Perda Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2017 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Daerah Kota Bandung Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Angkutan dan Retribusi di Bidang Perhubungan, Renstra Tahun 2013-2018 Dinas Perhubungan Kota Bandung, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2014-2018 Kota Bandung, serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah tahun 2018-2023 Kota Bandung. Namun, dalam enam peraturan tersebut, tidak ditemukan satu pasal pun yang mengatur secara jelas penerapan e-parking.
Pemerintah Kota Bandung sering mengampanyekan bahwa penerapan e-parking di Kota Bandung merupakan bagian dari pendekatan Bandung Smart City, dan hal ini juga diterima oleh masyarakat. Satu-satunya dokumen resmi tentang Bandung Smart City ialah Rencana Induk Panduan Penyusunan Smart City 2017 Gerakan Menuju 100 Smart City yang diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi & Informatika Republik Indonesia pada 10 Juli 2017. Dokumen ini berfungsi sebagai dokumen legal dan resmi untuk dasar dari setiap inisiatif pemerintah daerah untuk kota pintar. Sementara itu, sumber data lain membenarkan bahwa Wali Kota Bandung Ridwan Kamil telah resmi menandai dimulainya penggunaan mesin e-parking pada 24 Desember 2013. Dokumen lain, Dokumen Perencanaan Strategis Transportasi Kota Bandung tahun 2013 – 2018 tidak menyebutkan apapun tentang mesin e-parking.
“Oleh karena itu, membandingkan timeline dokumen-dokumen tersebut dan tanggal dimulainya implementasi e-parking, menunjukkan bahwa implementasi e-parking juga tidak didasarkan pada Master Plan Bandung Smart City,” tulis peneliti.
Mesin Tidak Produktif
Keempat, aspek infrastruktur yang dianalisis berdasarkan ketersediaan mesin e-parking. Terdapat dua kategori mesin e-parkir, yaitu produktif dan non produktif. Mesin e-parking yang produktif berarti yang berfungsi dengan baik. Sedangkan non produktif merupakan mesin e-parking yang tidak digunakan oleh masyarakat.
Dari 445 mesin e-parking, 54% produktif dan 46% tidak produktif. Selain itu, dua mesin tidak aktif sehingga tidak dapat digunakan oleh publik untuk melakukan pembayaran apa pun. Petugas parkir hanya menjaga 21,3% mesin. “Berdasarkan semua angka tersebut, dapat dipahami bahwa ada potensi kehilangan pendapatan,” tulis peneliti.
Penelusuran peneliti menunjukkan, dari 445 mesin yang disebutkan dalam dokumen, hanya 327 mesin yang terdeteksi. Sebanyak 46,5% mesin e-parking tidak dalam kondisi kerja yang baik lantaran UPT Parkir tidak melakukan kegiatan perawatan mesin e-parking.
“Setelah memahami semua aspek implementasi e-parking, penelitian ini menyimpulkan bahwa tujuan utama e-parking belum terpenuhi,” demikian peneliti menyimpulkan.
Tiga Aspek Penghambat Lain
Studi ini juga menemukan aspek-aspek lain yang secara signifikan mempengaruhi implementasi inisiatif e-parking. Ketiga aspek tersebut antara lain:
Pertama, tidak adanya rencana atau teknisi yang ditugaskan untuk merawat mesin e-parking. Oleh karena itu, penggunaan mesin e-parking sebagai investasi peningkatan pendapatan asli daerah bukanlah investasi yang strategis.
Kedua, kurangnya kepemimpinan. Rendahnya pemahaman masyarakat karena kurangnya instruksi langsung dari petugas parkir. Di sisi lain, berdasarkan bimbingan teknis, petugas parkir harus membiarkan pengguna parkir secara mandiri menggunakan mesin e-parking. Dalam aspek ini, bimbingan teknis dari UPT Parkir tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna e-parkir. Hal ini dapat dianggap sebagai kegagalan pimpinan untuk memahami kebutuhan pengguna jasa.
Ketiga, tidak adanya edukasi dan sosialisasi. Setiap inisiatif e-government hanya akan bermanfaat bagi publik jika publik mengetahui layanan e-government tersebut. E-government membutuhkan sosialisasi yang spesifik agar masyarakat mengetahui dan mau menggunakannya. Penelitian ini menunjukkan, hanya 38% pengguna e-parking yang mengetahui teknis penggunaan e-parking. Padahal, persoalan ini bisa dipecahkan dengan membuat sosialisasi dan pelatihan sederhana.
Penelitian ini merekomendasikan agar pemerintah mempertimbangkan ketujuh aspek itu untuk memperbaiki pengelolaan e-parking. Pemkot Bandung disarankan untuk mulai menyempurnakan peraturan terkait e-parking. “Sangat penting untuk memberikan regulasi yang tepat dan bimbingan teknis yang rinci dalam implementasi e-parking,” sebut penelitian ini.
Dalam regulasi itu harus ditulis jelas tanggung jawab dari badan-badan tertentu dan mencantumkan sumber daya yang dibutuhkan. Jika itu bisa dilakukan, aspek penghambat lainnya baru bisa diselesaikan. Barulah setelah itu target pendapatan daerah dari retribusi parkir bisa dipenuhi.
*Artikel RISET UNPAR terbit sebagai bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Unpar Bandung.