Menelisik Perkembangan Budaya Pop Melalui Penampilan Barista Necis di Bandung
Semenjak invasi kafe di kota-kota di Indonesia, pekerjaan barista mulai digemari oleh anak muda. Di kafe-kafe di Bandung terjadi penyebaran budaya pop.
Ivanodei Patrick Sinaga
Seorang mahasiswa jurnalistik semester lima, lagi mencari cara agar lulus cepat
4 Januari 2023
BandungBergerak.id - Coffee shop (kafe) menjadi tempat persinggahan favorit muda-mudi masa kini. Fenomena persebaran kafe di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung menjadi momentum buat para pelaku bisnis untuk berlomba-lomba menjual estetika dari produk kopi hingga arsitektur tempatnya. Invasi kafe secara massal pun menjadi bagian dari budaya pop (pop culture) yang tidak bisa dilewatkan begitu saja.
Sebagai penikmat kopi dan anak muda pada umumnya, saya pun menganggap kopi masih menjadi primadona sebagai minuman. Kesadaran ini telah saya sadari ketika menemukan kenikmatannya sembari melakukan aktivitas di sebuah coffee shop favorit saya di Bandung. Mungkin hal ini juga ditemukan oleh setiap orang, bahwa minum kopi tidak hanya dilakukan oleh bapak-bapak komplek saja, melainkan merambah ke tren anak muda untuk mempertahankan eksistensinya di tongkrongan.
Perlahan perubahan ini mulai dirasakan ketika tujuan terbentuknya sebuah coffee shop bukan lagi untuk memperkenalkan jenis-jenis kopi saja, melainkan menyuguhkan fasilitas tongkrongan yang estetik kepada anak muda. Karena anggapan itu sudah lazim di zaman sekarang. Prinsip menjadi keren bagi anak muda itu ‘nomor satu’ sehingga mereka pun harus nongkrong di tempat yang ‘keren’ juga.
Makna ‘keren’ bagi anak muda itu merupakan mengusung konsep masa keemasan dari pop culture, terutama di era 80an hingga 90an. Saya pun menarik sebuah kesimpulan bahwa mayoritas kafe, baik di ibu kota maupun kabupaten, mengusung konsep minimalis dari perpaduan modern dengan masa lampau, seperti konsep industrial atau back to nature. Karena hal ini dianggap paling laku dipasaran.
Semenjak invasi kafe menjadi tren pop culture di Indonesia, pekerjaan menjadi seorang barista pun mulai digemari oleh anak muda, termasuk teman-teman saya di bangku kuliah. Adanya pelatihan tertentu untuk menjadi seorang barista dan mendapatkan upah yang lumayan pun sepertinya pekerjaan ini menjanjikan untuk mengembangkan hard skill maupun soft skill.
Barista Lebih Fashionable Dibandingkan Pelanggannya?
Sebagai pengunjung tetap dari beberapa kafe di Bandung, saya pun merasakan ada fenomena menarik di balik seorang barista. Di balik pekerjaan mereka menyajikan kopi, ternyata mereka lebih fashionable dibandingkan pelanggannya sendiri. Hal ini membuat saya berpikir dan mengapa hal ini bisa terjadi sedemikian rupa?
Pada masa kini, menjaga penampilan menjadi sebuah keharusan bagi setiap individu. Karena apa yang ditampilkan ke hadapan orang lain akan membentuk citra yang sesuai dari penilaian orang lain. Terjadinya interaksi komunikasi secara nonverbal melalui pakaian membentuk tanda-tanda penyampaian pesan. Barista berpenampilan senecis—bahkan sekesentrik—mungkin untuk mencapai tujuan yang Goffman sebut sebagai manajemen daya tarik (impression management).
Penampilan sering kali membawa pengaruh sesuai dengan cara seseorang membawa diri. Bisa dikatakan, penampilan sering kali diperlombakan untuk menampilkan sesuatu yang terbaik dari dirinya untuk diperlihatkan kepada orang lain, dengan tujuan untuk meninggalkan kesan atau image kepada orang lain. Berdasarkan hal tersebut, seseorang berusaha mengontrol pikiran orang lain tentang dirinya.
Saya menganggap bahwa seorang barista di Bandung sering kali berusaha berpenampilan eksentrik—atau istilah gaulnya ‘se-kalcer mungkin’—untuk menunjang sikap percaya diri dalam pekerjaannya melayani pelanggan. Karena bagi seorang barista, penampilan merupakan kunci pendekatan dengan para pelanggan sehingga terjadi interaksi komunikasi secara verbal maupun nonverbal.
Barista sebagai Agen Persebaran Pop Culture Melalui Jalur Niaga
Mudahnya seseorang untuk memperkaya referensi mengenai pop culture dengan adanya kehadiran bentuk globalisasi yang termutakhir, yaitu media sosial. Media sosial mampu menyajikan sebuah informasi mengenai referensi sebuah tren hingga ke akar-akarnya. Dibandingkan dengan zaman dahulu, anak muda masih merasakan kesulitan untuk mendapatkan informasi mengenai pop culture.
Kesulitan itu berakar pada terjadinya eksklusivitas atas penerimaan informasi mengenai tren pada masa itu, atau hanya dirasakan oleh kaum kelas atas. Bayangkan saja, di era sebelum pertukaran informasi melalui media sosial, mereka harus merogoh kocek yang lumayan besar untuk membeli sebuah majalah musik atau majalah skateboard dan sebagainya, agar bisa mengikuti perkembangan tren yang ada.
Mengutip perkataan Prabu Pramayougha dalam bukunya, Don’t Read This: Catatan Melodic Punk Bandung dari Masa ke Masa! (2021): Persebaran referensi di era 80an hingga 90an mengenai sebuah subkultur “punk bernyanyi”—secara fashion pun turut terpengaruh—didapatkan dari sebuah kompilasi musik yang dibuat oleh beberapa majalah skateboard luar yang digemari pada kala itu—majalah Thrasher sebagai pelopornya.”
Tentunya, Prabu, sang penulis dari buku ini sekaligus vokalis dari band Saturday Night Karaoke, menganggap majalah sebagai agen persebaran pop culture jalur niaga di zaman dahulu. Namun, waktu berputar begitu cepat dan persebaran informasi bisa didapatkan dari dunia maya. Di era sekarang, saya menganggap coffee shop menjadi tempat persebaran pop culture yang paling terlihat eksistensinya.
Baca Juga: Antroposentrisme
Arsitektur Nusantara sebagai Bentuk Rekonstruksi terhadap Kesetaraan Gender di Indonesia
Kala Sepak Bola Bikin Penguasa Turun Tahta
Persebaran Pop Culture
Di salah satu kafe di Bandung, penampilan seorang barista menunjukkan hasil dari pengaruh adanya persebaran pop culture melalui interaksi komunikasi kelompok, atau saya sebut dengan istilah tongkrongan. Mereka mendapatkan informasi dari temannya yang memiliki referensi yang luas sehingga secara tak sadar sudah terpengaruh secara verbal maupun nonverbal. Selain itu, media sosial juga berjasa atas pengetahuan mereka mengenai sebuah tren pop culture.
Seperti yang sempat dikatakan pada bagian sebelumnya, seorang individu tidak bisa mengontrol pikiran individu lain dalam meninggalkan kesan untuk membentuk citra. Perspektif ini memperlihatkan citra seorang barista di Bandung dengan menunjukkan sifat necisnya dalam berpakaian agar bisa menjalin pertukaran referensi kepada para pelanggannya. Dengan tujuan bisa mengetahui sebuah tren pop culture yang sedang digemari oleh anak muda, baik berbentuk referensi fashion maupun selera musik yang diputar pada coffee shop-nya.
Pada akhirnya, saya pun baru memahami kalau seorang barista di Kota Bandung sendiri memiliki perbedaan dibandingkan kota lain, terutama harus berpenampilan senecis itu. Karena percaya diri merupakan modal utama mereka untuk melayani pelanggannya dan berusaha menjadi diri sendiri dengan menunjukkan referensi fashion-nya ketika bertemu orang lain.
Di akhir tulisan ini, saya memandang coffee shop bukan hanya sebuah tempat kopi yang dipenuhi oleh kalangan anak muda saja, melainkan adanya pertukaran budaya melalui referensi yang ditonjolkan, baik dalam kiblat fashion maupun musik. Mungkin kita juga bisa mempelajari kepercayaan diri dari seorang barista, agar tidak insecure ketika bertemu orang di tempat umum.