• Kolom
  • SUARA SETARA: Jadi Tuli di Indonesia itu Susah!

SUARA SETARA: Jadi Tuli di Indonesia itu Susah!

Pengakuan SIBI dan penolakan bisindo oleh pemerintah merupakan salah satu bentuk perampasan bahasa terhadap komunitas tuli.

Adam Firdyansyah

Pendidikan Bahasa Jerman - Gender Research Student Center (Great) UPI

Sejumlah remaja penderita low vision dan tunanetra murid SLB Negeri A Pajajaran beserta orang tua dan pendamping membawa poster saat pawai disabilitas di Bandung, Jawa Barat, 20 Desember 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

17 Januari 2023


BandungBergerak.id - Bahasa merupakan alat komunikasi dan bertukar pikiran dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa bahasa, mungkin saja kehidupan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya dan terdapat banyak hambatan untuk saling memahami satu sama lain. Selain itu, bahasa juga merupakan identitas dan menjadi satu ciri khas tersendiri yang menandakan adanya budaya yang tumbuh dalam suatu kelompok atau daerah.

Selama ini, bahasa identik dengan tutur kata, suara, pelafalan, dan intonasi. Masyarakat memahami satu bahasa bisa “sah” disebut sebagai bahasa ketika adanya suara-suara yang dikeluarkan dari alat ucap atau bahasa lisan. Akan tetapi, bahasa tidak sesempit itu dan tidak sestatis itu. Gerak tubuh, gestur tangan, ekspresi wajah juga dapat disebut bahasa, dan inilah yang digunakan oleh teman-teman kita yang – dikenal sebagai tuli – tidak dapat mendengar dan melafalkan bahasa.

Siapa Tuli?

Siapa itu tuli? Menurut KBBI, Tuli (dengan huruf besar) berarti tidak bisa mendengar dan menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Orang-orang tuli lebih senang dipanggil tuli dibanding tunarungu karena tuli merupakan identitas dan budaya bagi mereka. Salah satu budaya tuli adalah bahasa isyarat atau Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia) yang digunakan oleh orang-orang tuli Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

Jika orang dengar memiliki bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia atau bahasa daerah lainnya, maka orang tuli memiliki bisindo sebagai bahasa ibu mereka. Artinya tuli tumbuh menggunakan bahasa isyarat yang sudah terbentuk secara alami dalam komunitas tuli tersebut.

Diskriminasi terhadap Orang Tuli

Namun, hak-hak tuli di Indonesia belum sepenuhnya terjamin, baik oleh lingkungan sosial maupun pemerintah. Orang-orang Tuli masih belum mendapatkan cukup akses dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Contohnya adalah masih banyak tuli yang kesulitan ketika berpergian ke tempat umum dan ingin bertanya atau memesan sesuatu.

Minimnya literasi tentang bahasa isyarat dan dunia tuli di masyarakat menyebabkan orang awam kebingungan ketika bertemu tuli yang membutuhkan bantuan. Dalam seminar, webinar, bioskop, acara-acara televisi juga masih banyak yang belum menyediakan akses tuli seperti JBI (juru bahasa isyarat) dan takarir (closed caption).

Perampasan Bahasa

Tidak hanya keterbatasan akses di masyarakat, orang Tuli di Indonesia juga mengalami satu diskriminasi lain yaitu perampasan bahasa atau language deprivation. Diskriminasi ini merupakan diskriminasi yang paling sering terjadi bagi disabilitas khususnya orang tuli dalam menjalin komunikasi sehari-hari. Contoh dari perampasan bahasa yaitu pengalaman anak-anak tuli ketika bersekolah, mereka tidak difasilitasi dengan bahasa isyarat atau media komunikasi yang bisa dimengerti melainkan dipaksa untuk mendengar dan menggunakan metode belajar oral.

Dalam kondisi tersebut, sangat tidak mungkin bagi anak-anak tuli untuk memahami pembelajaran. Berdasarkan pengalaman salah satu teman tuli saya, dia bercerita bahwa selama masa SMA dulu, ia tidak mengerti sama sekali materi yang disampaikan selama dua tahun sebelum akhirnya pindah ke sekolah luar biasa (SLB).

Guru-guru di SMA hanya menggunakan metode oral dan seakan tidak memfasilitasi keberadaan murid tuli di kelasnya. Dia juga mengatakan, pengalaman tersebut harus menjadi PR besar bagi dunia pendidikan di Indonesia khususnya bagi tenaga pendidik. Menurut teman saya, tenaga pendidik dan guru di sekolah umum juga harus dibekali dengan pengetahuan dasar bahasa isyarat dan dunia tuli.

Tanpa kita sadari, perampasan bahasa sudah banyak dilakukan terhadap orang tuli. Sempat viral beberapa waktu lalu, seorang pejabat publik berteriak dan memaksa tuli untuk mendengar dan latihan berbicara dengan dalih mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan. Tentu tindakan ini adalah tindakan tercela dan tidak pantas bagi seorang pejabat yang seharusnya lebih mengerti kondisi rakyat dengan disabilitas.

SIBI adalah Bentuk Perampasan Bahasa

Alih-alih memfasilitasi dan mengembangkan bisindo yang digunakan oleh orang Tuli sejak lama, pemerintah malah membuat bahasa isyarat lain yaitu SIBI atau sistem isyarat bahasa Indonesia. SIBI kemudian dibakukan dan dimasukan ke dalam undang-undang serta wajib digunakan di universitas dan metode belajar pendidikan luar biasa.

Hal ini memunculkan protes dari komunitas-komunitas tuli karena mereka mengalami kesulitan untuk memahami SIBI bahkan sampai tidak mengerti sama sekali. Apa sebab? Tata bahasa SIBI cenderung mengikuti tata bahasa Indonesia yang sangat berbeda dengan bisindo yang sudah tuli pahami sejak kecil. SIBI juga banyak menyerap kosa isyarat ASL (American Sign Language) yang juga tidak dipahami oleh orang tuli. Sampai saat ini, gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) dan Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo) masih memperjuangkan agar bisindo dapat diakui dan dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan Indonesia.

Pengakuan SIBI dan penolakan bisindo oleh pemerintah merupakan salah satu bentuk perampasan bahasa terhadap komunitas tuli. Karena pemerintah tidak mengakui bahasa yang sudah lama berkembang di komunitas tuli dan memaksa mereka untuk memakai sistem bahasa baru yang sama sekali tidak mereka mengerti.

Baca Juga: SUARA SETARA: Opera Dewi Uban dalam Melawan Kekerasan Seksual
SUARA SETARA: Pembuktian Ambu
SUARA SETARA: Krisis Jati Diri Perempuan di Usia 20 Tahunan

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Tidak perlu melakukan sesuatu yang besar untuk memberikan akses dan inklusivitas terhadap teman-teman tuli. Artinya, kita semua dapat menjadi teman dengar yang ramah tuli dengan melakukan hal-hal kecil. Orang-orang tuli hanya butuh kesetaraan dalam komunikasi sehari-hari.

Oleh karena itu, kita dapat memahami kebutuhan komunikasi mereka terlebih dahulu. Sebagai orang awam yang tidak menguasai bahasa isyarat pasti akan bingung ketika bertemu dengan orang tuli. Tapi, jangan khawatir, karena bahasa isyarat bukan satu-satunya akses komunikasi dengan tuli. Kita dapat menulis di kertas atau mengetik di ponsel untuk berkomunikasi dengan mereka.

Selain itu, akan lebih bagus lagi jika kita bisa mempelajari bahasa isyarat. Walaupun hanya dasar-dasarnya saja, itu sudah cukup membantu ketika harus berkomunikasi dengan tuli dan tuli pun akan merasa lebih nyaman ketika berkomunikasi dengan bahasa isyarat.

Kita semua dapat menjadi agen perubahan untuk Indonesia yang lebih ramah disabilitas. Hentikan diskriminasi dan mulai belajar untuk saling merangkul satu sama lain.

*Tulisan Suara Setara merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center (Great) UPI 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//