SUARA SETARA: Opera Dewi Uban dalam Melawan Kekerasan Seksual
Dewi Uban Opera Lima Babak, karya He Tjing Ce dan Ting Ji diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pramoedya Ananta Toer. Novel ini berisi semangat perlawanan.
Agida Hafsyah Febriagivary
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
4 Januari 2023
BandungBergerak.id - Dewi Uban, sebuah kisah dari Tiongkok tentang perjuangan yang dilakukan oleh perempuan tertindas. Lakon Dewi Uban terasa hidup dan nyata. Konon, kisah Dewi Uban diangkat dari kejadian faktual yang kemudian melegenda. Ceritanya dituturkan turun-temurun oleh rakyat Tirai Bambu.
Dewi Uban merupakan karya sastra dari dua penulis China, He Tjing Ce dan Ting Ji yang menarik perhatian Pramoedya Ananta Toer untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Buku ini kemudian diterbitkan Lentera Dipantara, Jakarta (2003), dengan judul Dewi Uban Opera Lima Babak.
Karya Dewi Uban mendapatkan Stalin Prize atas makna yang terkandung di dalamnya. Kisah ini mampu menumbuhkan semarak demokrasi baru masyarakat Tiongkok di bawah pimpinan partai komunis pada masanya. Tapi tulisan saya ini tidak membahas semangat komunis yang sangat menentang eksploitasi. Akan tetapi lebih menyoroti pada kisah seorang gadis yang kerap menjadi korban ketika lahir di keluarga miskin, seperti pada umumnya.
Kisah Dewi Uban seolah menjadi suratan takdir bagi seorang wanita miskin yang harus mengalami penindasan juga perjuangan untuk memerdekakan dirinya sendiri. Dewi Uban terlahir sebagai gadis cantik dan cerdik. Sayangnya dia terlahir dari keluarga petani yang menyebabkan malapetaka dalam kehidupannya.
Dikisahkan ada tuan tanah yang sering menindas kaum petani dan hidup di dusun tersebut. Kemudian tuan tanah itu tergila-gila kepada Dewi Uban dan menyusun siasat agar dapat mengambil Dewi Uban dengan dalih memungut uang sewa tanah kepada ayahnya. Dewi Uban sontak menolak pada awalnya, namun ternyata sang ayah terperangkap skenario tuan tanah yang kemudian membuat Dewi Uban tidak memiliki pilihan. Dengan kejamnya tuan tanah tersebut memperkosa Dewi Uban dan memperlakukannya seperti pelayan rumah seolah dirinya tidak cukup untuk dijadikan bayaran uang sewa tanah itu.
Pilu sekali membaca kisah Dewi Uban ini. Nahasnya, kehamilan Dewi Uban sudah menginjak bulan ke-7, sang tuan tanah kemudian dijodohkan dengan seorang wanita kaya raya. Hal itu kemudian membuat Dewi Uban pergi meninggalkan tempat nerakanya menuju perbukitan. Setelah itu, Dewi Uban dianggap hilang oleh penduduk sekitar dan mulai terlupakan.
Padahal Dewi Uban harus berjuang seorang diri dengan menetap di goa dan melahirkan anaknya seorang diri. Selama itulah ia harus menahan cuaca dingin, kelaparan, dan jarang terkena sinar matahari yang merubah rambutnya menjadi putih. Ia mencuri sesajen warga di kelenteng untuk bisa bertahan hidup dan saat sosoknya terlihat, warga menganggap dirinya adalah seorang dewi.
Baca Juga: SUARA SETARA: Perempuan dalam Lanskap Kultur Sunda
SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan
SUARA SETARA: Feminisme dan Hak Pendidikan di Indonesia
Perempuan Korban Kekerasan Seksual
Kisah Dewi Uban sesuai dengan yang kerap terjadi pada kehidupan nyata di mana korban kekerasan seksual sangatlah sukar berdamai dengan keadaan. Maka, bersembunyi menjadi salah satu cara paling ampuh ketika stigma masih kuat dilontarkan kepada korban. Walaupun Tentara Route ke-8 sudah berhasil membangun kekuatan revolusi dan membebaskan rakyat, namun Dewi Uban masih menetap di gua itu karena tidak ada uluran tangan yang juga membebaskan dari rasa traumanya selama ini.
Cerita Dewi Uban ini bukan hanya sebatas cerita legenda negeri Tirai Bamu. Melalui kisah Dewi Uban kita dapat melihat kaum kapitalis yang memiliki sifat tamak, eksploitatif, dan menindas. Hal tersebut kerap menjadikan perempuan berada di posisi yang dirugikan, apalagi didukung dengan budaya yang masih kental dengan patriarki (dominasi laki-laki terhadap perempuan). Walaupun pada akhirnya Dewi Uban dapat keluar dari gua dan menjalani kehidupan sebagai manusia kembali setelah revolusi rakyat ditegakkan. Justru hal tersebut menjadi pertanyaan saat ini. Apakah ketika revolusi, penindasan terhadap kaum perempuan dapat benar-benar hilang? Kapan sekiranya kita bisa mewujudkan hal tersebut?
“Mereka yang berani melawan dan setia menegakkan kebenaran pada akhirnya akan menemui kemuliaan,” tulis Pramoedya Ananta Toer.
*Tulisan Suara Setara merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center (Great) UPI