• Kolom
  • SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #6: Terbit Dua Kali Seminggu

SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #6: Terbit Dua Kali Seminggu

Pengalaman penting yang dialami redaksi Sipatahoenan pada 1929 adalah mulai adanya delik pers dari berbagai pihak yang merasa dirugikan karena pemberitaan.

Atep Kurnia

Peminat literasi dan budaya Sunda

Sejak akhir Agustus 1928, Pengurus Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya mengumumkan rencana menerbitkan Sipatahoenan dua edisi dalam seminggu. (Sumber: Sipatahoenan, 28 Agustus 1928)

19 Januari 2023


BandungBergerak.idAntara 2 Januari hingga 28 Desember 1929, Sipatahoenan diterbitkan dua kali dalam seminggu, setiap Rabu dan Sabtu. Gagasan penerbitan dua kali seminggu ini bisa ditelusuri sejak setahun sebelumnya, dari tulisan Soetisna Sendjaja (“Taoen ka Lima”, Sipatahoenan, 3 Juli 1928).

Soetisna menyatakan, “Directie, Redactie, Administratie boga toongan hajang 2 kali saminggoe, malah taoen 29 mah moen kasalametan, hajang njoba” (Direksi, redaksi, dan administrasi [Sipatahoenan] punya keinginan hendak [menerbitkan Sipatahoenan] dua kali seminggu, bahkan bila keadaan memungkinkan tahun 1929 akan mencobanya).

Bila demikian halnya, gagasan untuk menerbitkan sebanyak dua nomor dalam seminggu itu sudah timbul sebelumnya di benak pengelola Sipatahoenan. Barangkali salah satunya dengan pertimbangan kian bertambahnya pelanggan Sipatahoenan, di satu sisi, dan di sisi lainnya berkala resmi Paguyuban Pasundan, yaitu Langlajang Domas, tidak tentu terbitnya, sehingga diperlukan media yang konsisten keluarnya. Dan itu adalah Sipatahoenan, meskipun hingga 1928 belum dinyatakan sebagai organ resmi Paguyuban Pasundan.

Agaknya gagasan menambah jumlah terbitan Sipatahoenan dalam sepekan kian menguat. Terbukti, sejak 28 Agustus 1928, rencana itu mulai diumumkan oleh pengurus Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya, dengan tajuk “Doea Kali Saminggoe”. Dalam Sipatahoenan edisi 28 Agustus 1928 dikatakan, “Bestuur Pasoendan Tjabang Tasikmalaja gadoeh maksad dina taon 1929 Sipatahoenan dikaloearkeun saminggoe doea kali. Nanging samemehna prak, sawadina hojong terang heula koemaha timbanganana para Djoeragan langganan sadaja” (Pengurus [Paguyuban] Pasundan Cabang Tasikmalaya punya maksud untuk menerbitkan Sipatahoenan dua kali dalam seminggu pada 1929. Namun, sebelum diterbitkan, hendak mengetahui dulu pertimbangan para langganan sekalian).

Sebab katanya, “Doepi artos langganan dina sakwartal djadi f. 2,50. Tah ieu noe matak mangrisikeun ka noe ngaloearkeun Sipatahoenan teh” (Adapun uang langganan dalam satu caturwulan menjadi f. 2,50. Inilah yang menyebabkan penerbit Sipatahoenan merasa risi). Sumber kekhawatirannya “Bok bilih seueur langganan noe liren koe lantaran naek djadi f 2,50. Ari sajaktosna mah djadi woewoeh moerah, margi sanes f. 3, nanging moeng f. 2,50. Nanging nja eta atoeh djelema teh teu sami kaajaanana” (Khawatir banyak langganan yang berhenti karena naik menjadi f. 2,50. Padahal sebetulnya lebih murah, karena bukan f. 3, tapi hanya f. 2,50. Namun, apa daya, tidak semua manusia sama keadaannya).

Pengumuman tersebut diulangi dan ditambah dalam “Sipatahoenan Kaloear Doea Kali Saminggoe” (Sipatahoenan, 4 dan 18 September 1928). Tambahan keterangannya terkait dengan pihak pengurus Cabang Tasikmalaya yang mengirimkan formulir isian bagi para langganan, sebagai jajak pendapat kemungkinan penerbitan seminggu dua kali (“Ajeuna minangkana mah bade ngajakeun referendum, naros ka sadaja Djoeragan langganan moepakat atanapi henteu oepami Sipatahoenan kaloear saminggoe doea kali”).

Formulir itu disertakan pada penagihan caturwulan keempat tahun 1928. Pada formulir tertulis “Moepakat Sipatahoenan kaloear saminggoe doea kali” yang bagi yang sepakat dibiarkan saja, tidak usah diubah. Sementara bagi yang tidak sepakat diminta mencoret kalimatnya (“Langganan noe teu moepakat kana Sip kaloear saminggoe doea kali disoehoenkeun kersa njoret eta seratan”).

Sebulan kemudian, direksi Sipatahoenan mengabarkan bahwa umumnya langganan menyetujui rencana terbit dua kali seminggoe itu (“Ajeuna Adm Sip parantos nampi waleran ti Djoeragan Langganan [teu atjan sadaja] njarioskeun seueurna mah moepakat, moeang aja hiji doea noe teu moepakat teh”). Bagi yang tidak sepakat, sebagaimana yang tertulis dalam “Harga Sipatahoenan” (Sipatahoenan, 16 Oktober 1928), adalah keberatan soal uang langganan, dengan membandingkan berlangganan koran Bintang Timoer dan Pandji Poestaka.

Direksi Sipatahoenan berkilah Bintang Timoer terbit harian, dengan uang langganan sebesar f. 5,50 per bulan, dan mempunyai percetakan sendiri serta modalnya puluhan ribu gulden. Sementara Pandji Poestaka terbit seminggu dua kali dibiayai pemerintah, sehingga takkan pernah merugi. Sementara Sipatahoenan belum punya modal sebesar itu, sehingga dikatakan “tiasa angger kaloear oenggal minggoe oge parantos oentoeng” (bisa tetap terbit setiap minggu pun sudah untung). Bahkan agar tetap terbit itu, untungnya, Sipatahoenan masih mendapatkan sokongan uang dari dua-tiga donatur yang baik hati membantu menanggung kekurangan biaya cetak (“Tjatjakan ajeuna oge oepami teu aja bantoean ti doea tiloe doeloer noe ngabantoe pikeun waragadna sareng nanggoeng dina kakoeranganana, meureun Sip rada seuseut seuat kaloearna”).

Salah seorang yang sepakat terhadap rencana pengelola Sipatahoenan adalah M. Martasoewanda, langganan Sipatahoenan dari Bengkulu. Dalam Sipatahoenan edisi 30 Oktober 1928, ia menulis bahwa setelah mendengar rencana tersebut merasa sangat gembira dengan alasan ia sangat menyukai Sipatahoenan, karena menggunakan bahasa Sunda, terbitan tanah kelahirannya, isinya berisi, dan menandakan kemajuan Sipatahoenan (“Nembe koe wartos bae oge djisim koering prantos ngaraos bingah, margi tangtos sering matja Sip noe koe djisim koering mah dipitjinta toer dipikaresep; nja eta babakoenan ka 1 basana Soenda, ka 2 estoe wedalan ti dajeuh lemah tjai djisim koering, ka 3 eusina patri, ka 4 nawis madjengna Sip”).

Martasoewanda juga menilai dengan harga langganan f. 2,50 terbilang murah, karena seharusnya dihitung 2 x f. 1,50.

Rencana penerbitan dua kali seminggu itu matang, kala Sipatahoenan akhirnya merekrut Bakrie Soeraatmadja sebagai redaktur yang baru. Ini dikatakan dalam Sipatahoenan edisi 25 Desember 1928, “Djoeragan Bakrie Soeraatmadja anoe anjar keneh pisan menta eureun tina pagawean Gouvernement, mimiti ti tanggal 1 Januari 1929, baris djadi redacteur tina ieu soerat kabar” (Tuan Bakrie Soeraatmadja yang baru saja mengundurkan diri dari dinas pemerintah, sejak 1 Januari 1929 akan menjadi redaktur surat kabar ini).

Alsannya dikatakan, “Koe sabab Sipatahoenan baris dikaloearkeun saminggoe doea kali, perloe ditambahan koe saoerang deui anoe baris dioek njanghareupan medja redactie” (Sebab Sipatahoenan akan diterbitkan seminggu dua kali perlu ditambahi seorang lagi yang akan duduk menghadapi meja redaksi). Ini ditambah fakta Atmawinata yang sebelumnya menjadi redaktur Sipatahoenan harus pindah ke Batavia, karena diangkat menjadi redaktur di Volkslectuur (Balai Pustaka) sejak akhir Juli 1928, sehingga posisi redaktur Sipatahoenan berkurang seorang (“Djrg. Atmawinata Ngalih ka Batawi”, Sipatahoenan, 7 Agustus 1928). 

Baca Juga: SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #3: Tahun Pertama dan Tahun Kedua
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #4: Memperkenalkan Istilah Marhaen
SEJARAH SIPATAHOENAN 1924-1942 #5: Bersanding dengan Somah Moerba dan Langlajang Domas

Nomor pertama Sipatahoenan yang terbit dua kali seminggu, 2 Januari 1929. (Sumber: Sipatahoenan, 2 Januari 1929)
Nomor pertama Sipatahoenan yang terbit dua kali seminggu, 2 Januari 1929. (Sumber: Sipatahoenan, 2 Januari 1929)

Terbitan Tahun 1929

Praktiknya, Sipatahoenan edisi dua kali seminggu mulai diterbitkan pada 2 Januari 1929 dengan keterangan “No. 1, Rebo, 2 Januari 1929-20 Radjab 1347, Taoen ka 6” dan “Dikaloearkeun saban dinten Rebo sareng Saptoe koe Pagoejoeban Pasoendan Tjabang Tasikmalaja” (Diterbitkan setiap hari Rabu dan Sabtu oleh Paguyuban Pasundan Cabang Tasikmalaya). Tebalnya jadi delapan halaman.

Percetakannya Drukkerij Soekapoera, Tasikmalaya. Redakturnya Soetisna Sendjaja dan Bakrie Soeraatmadja, dengan redaktur di Batavia tetap Soeriadiradja. Ditambah Agent Persbureau APIWABI di Tjibadakweg, Bandung. Sementara Vertegenwoordigers-nya N.V. Red bedrijven ANETA di Weltevreden, Batavia, dan di Eropa Jan C. Verheul & Co, Heerengracht 259, Amsterdam. Alamat redaksi dan administrasinya di Djadjawajweg No. 11, Tasikmalaya. Harga berlangganan selama tiga bulan sebesar f 2,50 dan di luar Indonesia sebesar f. 3,50. Harga iklannya sebaris satu kolom seharga f. 0,30, paling tidak f. 3, sekali tayang dan dibayar di muka.

Untuk mengantarkan edisi baru, Bakrie Soeraatmadja menulis artikel berjudul “Mitembejan” (memulai). Pada awal tulisannya, ia menyatakan, “Ngawitan dinten ieu pisan Sipatahoenan njoemponan kana djangjina nja eta kapoengkoer parantos sering ditjarioskeun, jen bade dikaloearkeun saminggoe doea kali. Djangdji pasini ngadjadi pasang soebaja laksana. Kapajoenna malak mandar aja kadar, djangdjina teu bisa oedar” (Persis mulai hari ini, Sipatahoenan memenuhi janjinya, yakni dahulu sudah kerap kali diceritakan bahwa [Sipatahoenan] hendak diterbitkan dua kali seminggu. Janji tersebut akhirnya terlaksana. Ke depannya mudah-mudahan ditakdirkan, janji itu takkan lepas).

Hari itu pula, kata Bakrie, ia mulai turut mengemudikan Sipatahoenan (“Ngawitan dinten ieu pisan, djisim koering ngiring njarengan ngamoedi Sipatahoenan”). Ia juga menggarisbawahi maksud Sipatahoenan yaitu hendak membela membela kebangsaan dan tanah airnya. Agar orang Sunda, umumnya orang Indonesia, menjadi kaya pengetahuan dan panjang pikiran. Tanah airnya orang Sunda dan tempat pergaulannya orang Indonesia.

Karena tebalnya menjadi delapan halaman, isi Sipatahoenan dibagi menjadi dua, yaitu lembaran pertama dan lembaran kedua. Pada edisi pertama tahun keenam itu, lembaran pertamanya mencakup lima halaman, sementara lembaran kedua mencakup tiga halaman. Namun, isinya belum banyak berubah dari terbitan antara 1924 hingga 1928. Hanya saja ditambah halaman iklan dan iklan tersebar di lembaran pertama dan kedua.

Sejak edisi 11 September 1929, redaktur Sipatahoenan bertambah dengan kehadiran A. S. Tanoewiredja sebagai “Vaste medewerker”. Sebagai lini usahanya, pengelola Sipatahoenan membuka toko buku di kantor redaksi dan administrasinya. Buku-buku yang dijajakan berupa roman, wawacan, pengajaran, dan lain-lain (Sipatahoenan, 2 Maret 1929, 10 April 1929, 5 Juni 1929, 15 Juni 1929). Namun, karena kesibukan redaksi dan administrasinya, toko buku itu akhirnya diarahkan ke Indonesische Boekhandel “Gentra” di Kalidjaga, Tasikmalaya (Sipatahoenan, 19 Juni 1929).

Selain itu, pengalaman penting yang dialami redaksi Sipatahoenan pada 1929 adalah mulai adanya delik pers dari berbagai pihak yang merasa dirugikan atas berita dalam Sipatahoenan. Paling tidak sejak 14 Agustus 1929. Mengenai delik pers Sipatahoenan akan saya uraikan secara khusus pada tulisan berikutnya. Rencana Sipatahoenan akan diterbitkan menjadi harian pun mulai disiarkan sejak Agustus 1929, terutama sejak penyebaran angket untuk menjaring opini langganan. Mengenai rencana dan pelaksanaan Sipatahoenan menjadi harian pun akan saya tulis nanti dalam tulisan mandiri.

Hal menarik lainnya sejak 22 Agustus 1929, Sipatahoenan mulai mempunyai dan menggunakan nomor telepon. Ini diumumkan dalam edisi 24 Agustus 1929, dengan tajuk “Telefoon No. 131”. Selengkapnya dikatakan, “Pikeun ngagampangkeun ka noe aja kaperloean ka Redactie atawa Administratie Sipatahoenan, mimiti tanggal 22 boelan ieu, bisa nelepon ka Telefoon No. 131 Tasikmalaja, kantoor Redactie & Administratie Sipatahoenan”.

Sipatahoenan edisi dua kali seminggu semuanya ada 104 edisi. Tetapi di balik penerbitan seminggu dua kali itu buntutnya panjang bagi HUT Sipatahoenan. Karena yang tadinya tahun kelima seharusnya dihitung dari 3 Juli 1928 hingga 1 Juli 1929 menjadi hanya 3 Juli 1928 hingga 25 Desember 1929 atau terbit sebanyak 26 nomor selama enam bulan dan sejak 2 Januari 1929 sudah terhitung tahun keenam. Dampak besar penerbitan tahun kelima yang hanya enam bulan itu menyebabkan kekeliruan perhitungan tahun pertama terbit Sipatahoenan, yaitu menjadi tahun 1923, padahal seharusnya 1924.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//