BAYI-BAYI PANDEMI (4): Qia, di antara Stunting dan Thalasemia
Qia, anak dengan thalasemia yang sempat didiagnonis stunting. Lahir di kelurahan terpadat di Kota Bandung, dia tumbuh di masa pandemi Covid-19.
Penulis Tim Redaksi19 Oktober 2021
BandungBergerak.id – Namanya Azkiya Umaiza Khoirunnisa, panggilannya Qia. Usianya belum genap dua tahun. Sempat disangka bayi stunting sebelum dokter mendiagnosanya mengidap thalasemia, kelainan genetik yang mempengaruhi produksi sel darah merah.
Qia adalah anak perempuan pasangan Anas dan Septi. Lahir tanggal 28 Februari 2020, beberapa pekan sebelum pemerintah mengumumkan status darurat pandemi Covid-19.
Keluarga Qia tinggal di Blok Tempe, Kelurahan Babakan Asih, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, permukiman padat dengan penduduk berjumlah 3.128 jiwa. Blok Tempe adalah sebuah kawasan dengan rumah-rumah yang saling berimpit di gang yang sempit.
Babakan Asih merupakan kelurahan terpadat di Kota Bandung. Per tahun 2020, tercatat jumlah penduduknya mencapai 15.855 orang meninggali kawasan seluas hanya 0,28 kilometer persegi. Tingkat kepadatang penduduk di Babakan Asih dengan demikian adalah 56.625 jiwa per kilometer persegi.
Berat Badan di bawah Normal
Septi masih mengingat saat mengandung Qia di usia empat bulan. Bidan meminta dia dan suaminya untuk pergi ke dokter kandungan untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut. Bidan yang memeriksanya kala itu curiga ada tumor dalam kandungannya.
“Kami cek ke bidan katanya ada tumor. Biar lebih pasti kami diminta untuk USG (ultrasonografi),” kata Septi, saat ditemui di kediamannya pada akhir Agustus 2021.
Beruntung kecurigaan bidan tersebut tidak terbukti. Hasil pemeriksaan dokter spesialis kandungan memastikan tumor tersebut tidak ada. Dokter menyatakan Septi berpotensi kelebihan berat badan dan memintanya untuk mengatur pola makan supaya tidak bersalin dengan proses Caesar.
Satu bulan menjelang perkiraan waktu persalinan, pasangan Septi dan Anas memutuskan memeriksakan kandungan kembali. Dokter yang memeriksa menyatakan tidak ada gejala yang serius pada kondisi kesehatan bayi dalam kandungannya. Septi dinyatakan siap untuk menjalani persalinan dengan prosedur normal.
Seminggu sebelum Qia lahir, kabar duka menghampiri. Ayah Anas, meninggal dunia. Tak lama ibu Anas jatuh sakit.
Di usia sembilan bulan kehamilan Septi, pada tanggal 28 Februari 2020 jelang pukul sebelas malam, Qia lahir. Bayi perempuan itu bertubuh mungil. Berat badannya hanya 2,1 kilogram, dengan tinggi 47 centimeter.
Dokter dan tim medis yang membantu persalinan Septi heran. Berat timbangan Qia di bawah berat bayi normal. Biasanya, bayi perempuan lahir dengan berat normal 2,8 kilogram.
Anas heran. Tapi dokter yang membantu persalinan istrinya tidak memberi penjelasan yang memuaskan.
“Aneh juga dokternya, kita juga aneh. Sampai berkali-kali ditimbang, beratnya tetap. Enggak dijelasin tentang kondisi Qia kenapa,” kata dia.
Mendapat Diagnosis Stunting
Beberapa pekan setelah Qia lahir, pemerintah mulai memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menghadapi pandemi Covid-19. Situasi yang dihadapi keluarga itu makin sulit.
Anas dan Septi harus membagi perhatian antara merawat Qia dengan ibu Anas yang terbaring sakit karena menderita diabetes kronis. Situasi pandemi menyulitkan keduanya meminta bantuan sanak keluarganya. Pasangan itu kemudian memutuskan memberi prioritas lebih banyak untuk menjaga kesehatan ibunda Anas. Saat usia Qia jelang enam bulan, ibunda Anas meninggal dunia.
Kondisi yang dihadapi keluarga itu tambah keruh. Perusahaan tekstil tempatnya bekerja memutuskan melakukan penyesuaian akibat pandemi. Penghasilan Anas kena pangkas. Gajinya berganti honor yang dihitung dari jumlah kehadiran.
“Kadang satu minggu kerja, minggu depannya libur. Begitu bergiliran selama satu tahun lebih. Honor juga dipangkas, jadi dihitung per hari seperti pekerja lepas harian padahal pegawai tetap,” kata Anas.
Kondisi tersebut membuat Anas akhirnya tidak dapat mengakses layanan kesehatan yang memadai untuk berikhtiar memulihkan kondisi Qia yang saat itu terindikasi stunting. Qia tak kunjung mendapatkan perawatan medis yang lebih intensif karena lahir dengan berat badan di bawah rata-rata bayi normal.
“Mau cek (ke dokter) tiap bulan, uangnya dari mana,” ujar Anas.
Anas hanya bisa memeriksakan kondisi kesehatan Qia pada bidan terdekat. Sang putri bahkan sampai melewatkan jadwal imunisasinya. Baru ketika Qia berumur sepuluh bulan, Anas akhirnya bisa membawa anaknya ke dokter.
“Seharusnya Qia ini tiap bulan cek rutin dari sejak lahir. Kalau kita ini cek dokternya baru bulan kesepuluh, telat banget. Karena kita kan ke bidan, ya. Di sana (bidan) cuma diperiksa yang umumnya aja,” kata Septi.
Anas dan Septi tidaklah abai atas kondisi Qia. Keduanya mengandalkan pelayanan posyandu dan berharap kondisi buah hatinya membaik.
Baca Juga: BAYI-BAYI PANDEMI (3): Stunting di Jamika dan Sekian Banyak Kendala Penanganannya
BAYI-BAYI PANDEMI (2): Sebuah Kekhawatiran tentang Khalista
BAYI-BAYI PANDEMI (1): Rasya dalam Gendongan Ibunya
Kondisi Posyandu
Ibu Dede, pegiat posyandu di wilayah Blok Tempe, mengenal orang tua Qia. Pasangan itu termasuk keluarga yang rajin memantau pertumbuhan dan perkembangan sang buah hati.
“Orang tua Qia sangat terbuka. Sering WA-an dengan saya dan rutin menghadiri kegiatan posyandu. Biasanya suka ikut nimbang di rumah saya, walaupun di luar jadwal penimbangan,” ujar Dede.
Sejak Juli 2020 lalu, pemerintah Kota Bandung memasukkan Kelurahan Babakan Asih ke dalam daerah prioritas penanganan stunting. Kendati demikian layanan posyandu di wilayah tersebut berjalan tidak optimal.
Ditambah, pergeseran anggaran untuk penanganan pandemi Covid-19 memaksa pemerintah kota Bandung menghapus beberapa anggaran yang menyokong layanan posyandu.
“Jauh sebelum pandemi juga kondisi posyandu mah memang sudah memprihatinkan, apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini. Mau beli timbangan aja seringnya patungan, karena kalau rusak mesti tunggu pengadaan selanjutnya. PMT juga berhenti sejak bulan Mei, malah sekarang honor kader juga ikuyt dihapus,” ujar Heni salah seorang pegiat posyandu yang merangkap sebagai Ibu RT 04.
Di tempat Qia tinggal di RW 01 terdapat lebih-kurang 150 anak balita per tahun 2021 yang menjadi target sasaran kerja posyandu di wilayah tersebut. Empat anak di antaranya menjadi prioritas. Ada dua kelompok posyandu di RW 01 yang melayani balita yang tersebar di 10 RT di wilayah tersebut.
Diagnosis Thalasemia
Kondisi Qia tak kunjung membaik. Di usianya yang menginjak delapan belas bulan berat badannya tak kunjung beranjak dari garis kuning, indikator kurang gizi, pada catatan Kartu Menuju Sehat (KMS) selama menjalani perawatan dibantu posyandu. Berat Qia hanya beranjak ke delapan kilogram dengan tinggi tujuh puluh centimeter.
Minimnya layanan kesehatan di tingkat kewilayahan memaksa Anas dan Septi merogoh koceknya dalam-dalam untuk memulihkan kondisi buah hatinya. Setiap tiga bulan sekali mereka membawa Qia ke dokter spesialis tumbuh kembang anak. Biayanya tentu tidak sedikit. Sekali konsultasi tarifnya sebesar 300 ribu rupiah. Biaya itu belum termasuk obat-obatan dan vitamin yang diresepkan dokter.
“Paling sedikit bisa keluar satu juta (rupiah) setiap kali konsultasi,” ujar Anas.
Satu ketika pada bagian kantung mata kanan Qia muncul benjolan kecil. Dokter yang memeriksanya merekomendasikan agar Qia menjalani operasi untuk menghilangkan benjolan kecil itu. Tapi sebelumnya Qia harus melewati beberapa tahapan pemeriksaan kesehatan.
Anas dan Septi awalnya ragu. Sebab tidak seluruh biaya perawatan Qia ditanggung oleh layanan jaminan kesehatan BPJS. Kondisi ekonomi mereka terbilang kembang-kempis karena penghasilan yang tidak menentu.
“Dokter meminta Qia untuk dilakukan cek laboratorium sebelum tindakan operasi, cuma biayanya cukup mahal, dua juta (rupiah). Kami terpaksa menunda pemeriksaan itu karena tidak punya cukup uang dan biaya,” ujar Anas.
Akhirnya keduanya memutuskan untuk memaksakan diri melakukan saran dokter tersebut. Qia kemudian melakukan serangkaian tahapan pemeriksaan kesehatan. Salah satunya pemeriksaan yang dilakukan pada kondisi kesehatan darah Qia.
Hasilnya mengejutkan. Qia divonis mengalami thalasemia, sebuah kondisi kelainan pada genetika yang mempengaruhi produksi sel darah merah penyintasnya. Thalasemia disinyalir berdampak pada tumbuh kembang penyintasnya.
Qia kini tumbuh sebagai putri yang cerdas. Dia memang belum fasih berbicara, tapi sesekali merespons perintah orang tuanya. Seperti saat diminta untuk berdoa sebelum makan, Qia menunjukkan gestur berdoa layaknya muslim dewasa. Qia juga membuang sampah bekas makanannya sendiri ke tempat sampah walaupun harus berjalan sedikit sempoyongan.
“Awalnya saya khawatir kondisi pertumbuhan Qia akan mempengaruhi perkembangannya. Tapi Alhamdulillah Qia terbilang cerdas. Kecerdasannya sedikit banyak menawar perjuangan kami,” kata Anas.
*Liputan mendalam "Bayi-bayi Pandemi", yang disajikan secara berseri, merupakan hasil kerja Tim Redaksi BandungBergerak.id yang terdiri dari: Sarah Ashilah, Bani Hakiki, Boy Firmansyah Fadzri, dan Tri Joko Her Riadi, dengan sumbangan foto karya Arif 'Danun' Hidayah