• Liputan Khusus
  • BAYI-BAYI PANDEMI (3): Stunting di Jamika dan Sekian Banyak Kendala Penanganannya

BAYI-BAYI PANDEMI (3): Stunting di Jamika dan Sekian Banyak Kendala Penanganannya

Penanganan balita stunting di Kelurahan Jamika terkendala banyak hal. Dari SDM puskesmas yang terbatas hingga pola tinggal warga yang berpindah-pindah.

Seorang anak bermain dengan bonekanya di luar rumah kontrakan keluarganya di Kelurahan Jamika, Bojongloa Kaler, Kota Bandung, awal September 2021. Seperti di permukiman padat mana pun, Jamika juga mengalami ragam permasalahan kesehatan, termasuk angka stunting. (Foto: Arif 'Danun' Hidayah)

Penulis Tim Redaksi12 Oktober 2021


BandungBergerak.idJamika, yang jadi kampung halaman Rasya dan Khalista, merupakan kelurahan terpadat ketiga se-Kota Bandung, setelah Suka Asih dan Babakan Tarogong. Ia mewakili wajah kehidupan urban masa kini dengan segala permasalahannya. Rumah-rumah warga berdiri saling berimpitan, menyisakan gang serupa lorong selebar tak lebih dari satu meter. Pintu kakus di luar rumah dibiarkan sedikit terbuka, membuat bau tidak sedap menguar ke mana-mana.

Memiliki luas hanya 0,53 kilometer persegi, Kelurahan Jamika per 2020 lalu ditinggali oleh 26.528 orang penduduk. Dengan demikian, tingkat kepadatan penduduknya adalah 50.052 orang per kilometer persegi. Dibandingkan tahun sebelumnya, 51.744 orang per kilometer persegi, terjadi sedikit penurunan.

Sebagaimana akan kita temui di setiap permukiman padat dengan sebagian besar warga berkemampuan ekonomi terbatas, bayi-bayi bermasalah gizi, atau bahkan stunting, menjadi permasalahan serius di Jamika. Mereka tersebar di tiap RW (Rukun Warga).

Selama pandemi Covid-19, yang dimulai Maret 2020 lalu, kondisinya kian buruk karena berbagai layanan kesehatan terpaksa mandek demi mencegah penularan virus. Tidak terkecuali layanan kesehatan dasar bagi bayi-bayi yang lahir di masa suram pandemi itu, mulai dari penimbangan, peningkatan gizi, hingga pemberian imunisasi.

Per Juni 2020, Jamika masuk dalam daftar 15 kelurahan di Kota Bandung yang dijadikan prioritas penanganan stunting. Ke-14 kelurahan lainnya adalah Babakan Asih, Babakan Penghulu, Burangrang, Cikawao, Cirangrang, Cipadung, Cipadung Wetan, Cipadung Kidul, Karaasak, Kebon Gedang, Margasuka, Palasari, Pasirjati, dan Sukawarna. 

Tita Juwita (35), ketua kader Posyandu RW 05, menceritakan bagaimana program Tanginas (Tanggap Stunting dengan Pangan Aman dan Sehat) tidak lagi berjalan. Tanginas merupakan program rintisan Pemerintah Kota Bandung yang secara khusus diniatkan untuk mencegah dan menangani bayi-bayi stunting.

“Terakhir berjalan itu bulan Desember 2020 sampai Februari 2021. Kurang lebih 20 orang balita dan bayi yang berstatus stunting di RW 05 mendapatkan bantuan itu. Tapi sekarang Program Tanginas, seperti Pemberian Makanan Tambahan (PMT) misalnya, sudah tidak bisa jalan karena anggaran dana untuk bantuan masyarakat di kelurahan juga banyak tersendat,” ujar Tita, awal September 2021.

Tita juga berbicara tentang program imunisasi massal bayi dan balita yang mandek karenga posyandu-posyandu harus tutup. Dokter-dokter tidak lagi secara rutin menyambangi posyandu. Itulah sebabnya bayi-bayi di Jamika, seperti Rasya dan Khalista, memiliki riwayat imunisasi dasar yang belum lengkap atau bahkan belum menerima sama sekali.

Baca Juga: BAYI-BAYI PANDEMI (2): Sebuah Kekhawatiran tentang Khalista
BAYI-BAYI PANDEMI (1): Rasya dalam Gendongan Ibunya
Data Sebaran Keluarga Miskin dan Sangat Miskin di Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung 2019

Terkendala Sumber Dana

Kesaksian tentang mandeknya program Tanginas juga datang dari Elis, salah seorang kader posyandu RW 03 yang juga anggota PKK Kelurahan Jamika. Pangkal persoalannya pun sama, yakni kendala pada sumber pendanaan.

Selama ini program Tanginas berjalan berkat kerja keras ibu-ibu Kelurahan Jamika mencari donatur agar mereka dapat melaksanakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT). Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), misalnya, pernah sekali menyumbang. Selebihnya, program ini mengandalkan kedermawanan warga.

Namun, lama kelamaan, para anggota PKK merasa tidak enak hati untuk terus-menerus meminta uang swadaya kepada ibu-ibu di lingkungan sekitar. Apalagi, kemampuan ekonomi masyarakat pada umumnya belum membaik secara signifikan setelah terhantam pandemi.

“Kalau mengandalkan donatur terus, kan tidak pasti. Jadi mau bagaimana lagi? Kalau perihal tenaga, insyaallah ibu-ibu kader posyandu juga masih bersemangat untuk menjalankan program ini. Tapi kan ya itu tadi, dananya tidak ada,” tutur Elis.

Ketika program Tanginas masih berjalan, Elis memutar otaknya membujuk anak-anak yang enggan makan. Salah satu inovasi kelompoknya adalah mengolah ikan lele menjadi puding coklat dan nugget lele. Selain relatif murah harganya, ikan lele dipilih sebagai bahan makanan tambahan karena kaya vitamin.  

Menurut Elis, anak-anak begitu menyukai penganan ini. Bahkan seorang ibu yang dikenal tidak menyukai ikan lele pun menyantapnya dengan lahap.

Pernah muncul ide untuk menggelar pelatihan memasak puding lele bagi warga Jamika. Pandemi Covid-19 memaksa para pengurus posyandu menunda rencana baik tersebut, dan belum tahu kapan bisa mewujudkannya.

Potret  buruknya kondisi sanitasi warga yang masih banyak ditemui di Kelurahan Jamika, Bojongloa Kaler, Kota Bandung. Sanitasi yang buruk berdampak pada mutu kesehatan keluarga. (Foto: Arif Danun Hidayah)
Potret buruknya kondisi sanitasi warga yang masih banyak ditemui di Kelurahan Jamika, Bojongloa Kaler, Kota Bandung. Sanitasi yang buruk berdampak pada mutu kesehatan keluarga. (Foto: Arif Danun Hidayah)

SDM Terbatas, Tempat Tinggal Berpindah-pindah

Bukan perkara mudah menunaikan layanan kesehatan dasar bagi bayi dan balita di masa pagebuluk. Karena posyandu dilarang buka, praktis program penimbangan bayi juga mandek berbulan-bulan. Berat badan bayi yang tak terpantau rawan melambungkan angka stunting.

Yani Cahyani (58), petugas gizi di UPT Puskesmas Sukapakir, membenarkan jika kasus stunting di Kelurahan Jamika tergolong tinggi, meski belum bisa menyebutkan jumlah pasti. Sejak pandemi Covid-19 berlangsung, fokus kerja tenaga kesehatan UPT Puskesmas Sukapakir tersita untuk penanggulangan pagebluk. Akibatnya, data penimbangan bayi belum terolah sepenuhnya. Yani, misalnya, mengaku baru bisa mulai mengolah data ketika lembur pada malam hari di rumah.

Data penimbangan bayi diperoleh dari kerja Kelompok Penimbangan (Pokbang) di masing-masing RW. Pokbang merupakan salah satu program terobosan pemerintah dalam layanan gizi bayi di masa pagebluk. Dengan tetap berdisiplin protokol kesehatan, para pegiatnya, yang adalah kader-kader posyandu, menyambangi satu per satu rumah warga yang memiliki bayi atau balita. Dalam satu hari, paling banyak 20 bayi ditimbang.  

Sebelum pembentukan Pokbang, para kader PKK juga sudah memiliki program serupa yang dinamai Kasih, singkatan dari Kader Saba Imah. Pola kerjanya sama, yakni kunjungan rutin ke rumah keluarga-keluarga yang memiliki bayi. Pandemi Covid-19 menghentikan secara total kegaitan ini.

Data penimbangan bayi oleh Pokbang diserahkan ke posyandu, sebelum dikirimkan ke puskesmas. Petugas gizi seperti Yani mengolah seluruh data penimbangan dan pengukuran tersebut, lalu menandai bayi dan balita yang masuk ke dalam kategori stunting secara panjang badan.  Dari situ lah puskesmas mempunyai gambaran keluarga bisa merumuskan program intervensi gizi, dimulai dengan memetakan keluarga-keluarga yang menjadi target kunjungan.

Agar kunjungan petugas puskesmas efektif, peran para kader posyandu amat pentingnya. Mereka inilah yang diandalkan untuk melakukan pendekatan yang tepat agar keluarga dengan bayi terindikasi stunting tidak tersinggung dan bersedia dikunjungi.

Berdasarkan pengalaman Yani, komunikasi dengan para orangtua inilah yang amat krusial menentukan efektivitas penanganan stunting di lapangan. Tantangan terbesarnya adalah membuat para orangtua merasa tidak dihakimi. “Baru setelah itu, anak akan segera mendapatkan rujukan ke dokter ahli dalam bidang ini,” tuturnya.

Memulihkan bayi atau balita stunting tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada proses yang membutuhkan konsistensi. Keberhasilan kunjungan pertama tidak serta-merta menggaransi kelancaran tahapan-tahapan berikutnya. Selain penerimaan orangtua, ada juga kendala terkait pola tinggal warga Kelurahan Jamika yang sering berpindah-pindah.

“Kebanyakan (warga) kan tinggal di sini mengontrak rumah, lalu mereka akan pindah dari RW berapa ke RW berapa, misalkan. Nah kepindahan mereka ini mengacaukan data base stunting kita. Terkadang (kami) jadi kehilangan jejak keluarga tersebut,” ujar Yani.

*Liputan mendalam "Bayi-bayi Pandemi", yang disajikan secara berseri, merupakan hasil kerja Tim Redaksi BandungBergerak.id yang terdiri dari: Sarah Ashilah, Bani Hakiki, Boy Firmansyah Fadzri, dan Tri Joko Her Riadi, dengan sumbangan foto karya Arif 'Danun' Hidayah

Editor: Redaksi

COMMENTS

//