Antara Bandung dan Jambi, Catatan Seorang Perantau
Nasib mereka mirip dengan film Netflix Snowpiercer garapan Bong Joon-Ho yang bertutur tentang sebuah kereta berikut kasta-kasta di dalam gerbongnya.

Jessica Valencia
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
19 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Ruko yang berjejer di sepanjang Jalan Mr. Moehamad Roem Kota Jambi yang beragam warna serta, kadang diiringi orang yang saling bercengkerama, memberikan suasana yang sangat nyaman bagi seseorang yang lahir dan tumbuh besar di daerah itu. Wangi kopi AAA menyeruak hidung pejalan kaki yang melintasinya, memberi tanda tentang sebuah toko kopi kuno berciri gaya era Eropa pada tahun 1960-an yang sudah berdiri selama empat generasi.
Beberapa pemuda tanggung yang baru saja lulus dari sekolah menengah atas mulai bersiap untuk melanjutkan perjalanannya dalam menempuh dunia baru yang tidak pernah mereka pikirkan, dan mereka mengarahkan kaki berbalut sepatu santai ke bandara Sultan Thaha yang terletak tak jauh dari kebun binatang Taman Rimba. Sebuah pesawat sudah menanti melepas mereka ke pulau seberang.
Sesampainya di Bandung, keenamnya menyambut bus Primajasa yang membawa mereka ke Ciumbuleuit. Pemandangan kota modern yang sesak itu berpadu dengan rimbunan pohon palem, pucuk merah dan lain sebagainya; menggugah rasa semangat bagi para pemuda rantau itu untuk suatu saat nanti menelusuri setiap sudut Parijs van Java.
Kota seluas 167,3 kilometer persegi – seperempatnya dari luas metropolitan Jakarta – itu menyimpan kisah yang tak pernah ada habisnya, bagai sebuah buku yang tidak mengenal kata tamat. Suasana ini begitu nyaman, dan tidak perlu menunggu terlalu lama bagi senandung lagu lawas “Rindu Lukisan” Ismail Marzuki era ’50-an untuk hadir dan mengalun di telinga dan kepala. Lagu-lagu itu bercampur dengan bising berbagai kendaraan roda dua dan empat, mulai dari sudut pertokoan yang ada di Braga sampai sudut jalan Wastukencana.
Tak lama kemudian, kantuk mulai hinggap, dan sebuah cerita menyelimuti mimpi salah seorang dari mereka. Sebuah dongeng yang bermula dari sebuah mitos kepercayaan masyarakat setempat yang menyimpan sebuah kesamaan antara Bandung dan kota kelahiran calon-calon mahasiswa itu, Jambi.
Bermula dari syarat mustahil yang diajukan oleh sang perempuan, hingga penipuan yang berujung pada sang pemuda menendang hasil kerja keras yang telah ia buat, sehingga hal itu membuat sebuah monumen bahkan pemandangan alam yang sangat indah dan menjadi sejarah yang berharga pada hati masyarakat setempat.
Di Jawa Barat, latar cerita ini dimulai pada sebuah tempat berasap yang berwarna putih serta banyak sekali pemandangan yang menarik mata, terutama sebuah gunung yang serupa dengan perahu terbalik. Kisah ini sangat berkaitan erat dengan mitos yang menjadi kepercayaan warga setempat yaitu kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan antara Sangkuriang dan ibunya, Dayang Sumbi.
Singkat cerita, Sangkuriang diminta membuat sebuah telaga dan perahu dalam satu malam sebagai syarat untuk meminang Dayang Sumbi. Namun, kisah ini berakhir dengan intrik mengelabui kokok ayam dan terlemparnya sebuah sampan dari Ujung Berung yang mendarat di Tangkuban Perahu.
Sedikit orang yang tahu bahwa warga setempat masih mengenang mitos ini dengan upacara Ngertakeun Bumi Laba. Acara ini ditujukan untuk mengungkapkan rasa terima kasih warga setempat kepada Tuhan yang Maha Esa atas keindahan yang telah diberikan dengan mempersembahkan hasil bumi, lantunan mantera, serta musik sakral yang diiringi tarian.
Di Kota Jambi sendiri yang merupakan tempat tinggal para pengembara muda itu, ada sebuah kisah yang serupa mengenai kompleks candi megah yang terletak di Kabupaten Muaro Jambi. Candi megah yang merupakan peninggalan sejarah dari Kerajaan Sriwijaya pada tahun 1025, menyimpan banyak sekali cerita yang terkandung dalam setiap sudut kompleks candinya. Peninggalan sejarah dari daerah Jambi yang memiliki luas lebih besar delapan kali dari Candi Borobudur, mempunyai sebuah cerita rakyat yang hampir mirip dengan Gunung Tangkuban Parahu serta Candi Prambanan.
Namun, perbedaannya terletak pada syarat dari sang perempuan yang menginginkan candi yang menjulang tinggi ke langit, hingga pada akhirnya setelah sang pria mengetahui bahwa perempuan tersebut membohonginya, ia menendang candi tersebut hingga berserakan dan pada saat ini baru ditemukan sembilan gundukan tanah yang telah direstorasi menjadi bangunan candi.
Wewangian kayu pinus menyeruak di sepanjang jalanan dari satu candi ke candi yang lainnya, serta bunga-bunga indah yang menghiasi perjalanan menunju salah satu candi yang besar di perkomplekan ini yakni Candi Astano. Candi ini menyimpan hal lain yang sangat bertolak belakang dengan penampakannya. Salah satunya yaitu nama Astano sendiri memiliki makna kuburan karena tempat ini merupakan tempat kremasi atau tempat pembakaran mayat. Mayat tersebut kemudian diletakkan dan dibangunkan sebuah stupa.
Berdasarkan cerita rakyat setempat, di sekitaran Candi Astano ditinggali oleh sosok makhluk yang gelam, besar serta tinggi yang selalu pergi dan kembali dari Candi Astano sampai Sungai Jambu. Hal ini menjadi kepercayaan masyarakat setempat bahwa ilmu apa saja yang dibawa dari pendatang luar tidak akan mempan pada area sekitaran candi.
Pagebluk kemudian menggebuk seluruh dunia, tidak terkecuali Parijs van Java. Untuk sementara keenam mahasiswa itu harus kembali lagi ke Jambi. Kali ini mereka harus naik kereta ke Jakarta untuk membawa mereka ke bandara di sana.
Baca Juga: Berretty, Si Pendiri Kantor Berita Aneta dan Petualangan Cintanya
Pesantren Sukamiskin, Ngalogat dan Debat dalam Budaya Ki Sunda
NGALEUT BANDUNG: Kisah Leluhur Trah Wiranatakusumah dari Timbanganten ke Bandung (1)
Kemiripan Mitos Bandung dan Jambi
Kereta itu melaju semakin cepat; menarik gunung hijau ke belakang dan menggantinya dengan hunjaman bukit beton. Sekali lagi rasa kantuk menyergap, meski kali ini yang muncul adalah renungan. Sebuah refleksi muncul dalam lamunan tentang hakikat mereka sebagai anak muda yang ternyata hidup dari gerbong ke gerbong. Bandung dan Jambi punya satu kesamaan: diikat oleh mitos yang sama. Dalam beberapa tahun ini mereka hidup di “kereta Indonesia”, beralih dari “gerbong Jambi” yang satu ke “gerbong Bandung” yang lain.
Nasib mereka ternyata sangat berkaitan dengan sebuah film rilisan Netflix Snowpiercer yang disutradarai oleh Bong Joon-Ho yang bertutur tentang sebuah kereta yang melaju sangat cepat di tengah suasana lingkungan dingin dan setiap orang terbagi berdasarkan kastanya. Masyarakat miskin berada di gerbong paling belakang dan para orang kaya berada di gerbong paling depan, sebuah potret tentang ketimpangan sosial.
Cerita layar kaca ini sangat menggambarkan situasi dari para rantauan yang berusaha mencari kehidupan yang jauh lebih baik di kota orang lain dengan cara melepaskan diri dari pengawasan orang tua dan hidup mandiri. Pilihan yang mungkin akan dihadapi oleh para rantauan yaitu: kembali ke daerah ia bertumbuh besar jadi orang biasa atau melanjutkan perjalanan sisa hidupnya di tanah orang lain jadi orang yang lebih makmur dan jaya.
Jika dikaitkan dengan film serial tersebut, jalan yang dipilih tokoh utama adalah keluar dari kereta yang membawanya. Sehingga jawaban yang bisa didapatkan dari film ini yaitu, sebagai seorang yang merantau, melihat dunia luar dan berbaur dengan keindahan yang telah disediakan baik: pemandangan dari kota yang dituju maupun pengetahuan yang didapatkan dari kota tersebut hingga kebebasan serta kepercayaan yang didapatkan dari para orang tua menjadi poin utama dalam mencari sosok rumah.
Menurut Sheikholeslami dan Arab Moghaddam, psikolog pendidikan dari Universitas Shiraz, kemandirian pada individu diakibatkan oleh pengalaman dari dalam dirinya sendiri untuk memilih. Namun ada kalanya kegiatan merantau dikatakan sebagai hal yang lumrah hingga berujung paksaan ataupun keharusan bagi beberapa orang yang tinggal di Indonesia, terutama seseorang yang berada di luar Pulau Jawa.
Hal ini bisa dikaitkan dengan seorang perantau yang berusaha untuk hidup mandiri atas desakan orang tuanya. Sebagian besar doktrin hidup merantau ini mulai diterapkan pada anak-anak sejak kecil, sehingga keterbiasaan ini bukan lagi semata-mata hanya menguji kemandirian melainkan menjadi keharusan.
Berbagai pertanyaan mulai menghampiri para pemuda yang memutuskan untuk merantau: apa yang bisa mereka dapatkan selama merantau, dan pertanyaan yang jauh lebih sering ditanyakan yaitu manfaat apa yang didapatkan dengan cara meninggalkan kota tempat mereka lahir untuk singgah di kota orang lain. Pertanyaan ini sangat menggelitik hingga tidak jarang ada yang menyindir bahwa kota tempat tinggal para pejuang pendidikan ini tidak memiliki perguruan tinggi yang mumpuni.
Para pengembara kembali berpikir mengenai beberapa kenangan, seperti saat mereka baru saja mendapatkan teman yang tumbuh besar di Bandung. Perbedaan yang kontras di antara mereka misalnya terlihat dari cara berkomunikasi, contohnya: sebagai seorang yang berasal dari Pulau Sumatera tentu memiliki intonasi yang lebih keras jika dibandingkan dengan seorang yang berasal dari Pulau Jawa.
Akibat dari masih terbawa suasana serta keadaan yang ada pada kota asalnya, maka tidak jarang ditemui perkelahian antar pertemanan karena perbedaan sifat yang kontras itu. Beralih pada sudut pandang seorang perantau, perasaan yang sangat umum mereka rasakan yaitu rindu akan rumah. Bahkan menurut Saman Azizi, pakar patologi psikis dari Universitas Shiraz, perpisahan akan membawakan perasaan lara, ketakutan, serta ketidaknyamanan seseorang yang berujung pada perasaan rindu akan rumah.
Sebagai pejuang pendidikan dari kota nan jauh, perasaan rindu akan rumah merupakan sebuah hal yang wajar, namun yang menjadi permasalahannya yaitu cara menyikapinya. Perasaan yang selalu terngiang itu tentu sangat menghambat aktivitas sehari-hari, apalagi jika gejalanya sudah sampai pada tahap yang sulit untuk bersosialisasi seperti: rasa ingin mengurung diri maupun stres berlebihan yang bisa berlangsung berbulan-bulan.
Namun rasa kerinduan yang berlebihan akan sosok figur yang didambakan sang perantau bisa diobati dengan dukungan sosial baik dari teman-teman maupun dari berbagai aktivitas yang dijalankan. Hingga pepatah dari Pierce Brown sendiri benar adanya, bahwa rumah bukanlah tempat asal, tetapi tempat kita menemukan cahaya saat semuanya menjadi gelap.
Para pemuda ini kembali berpikir bahwa segala perjalanan, dan semua pemandangan alam yang tersedia merupakan rumah tempat mereka kembali. Mitos serta pemandangan yang disajikan serupa, merupakan kesempatan yang telah diberikan kepada para pengembara sebagai upaya untuk beradaptasi atas kondisi urbanisasi yang ada.
Petualangan menjelajah setiap sudut Kota Bandung sekarang terjeda, namun perjalanan mereka ini masih akan berlanjut. Mereka akan terus dipaksa untuk memaknai kehidupan serta kesempatan yang telah mereka terima atas dasar dari kemauannya. Akhir kata rumah yang kita rasakan merupakan bagian dari rumah-rumah yang telah kita hidupi sebelumnya.