• Berita
  • Memintal Solidaritas Melawan Perampasan Tanah

Memintal Solidaritas Melawan Perampasan Tanah

Jawa Barat menghadapi potensi ancaman tinggi terhadap perampasan tanah dengan adanya 34 mega proyek yang dinarasikan dalam bahasa PSN atau Proyek Strategis Nasional.

Foto bersama di akhir kegiatan talkshow “Orang Muda dan Isu Perampasan Tanah” yang digelar Walhi Jawa Barat bersama Komunitas Celah-Celah Langit (CCL) di Sekretariat Komunitas CCL di Jl. Dr. Setiabudi, Gg. Bapak Eni, Ledeng, Kec. Cidadap, Kota Bandung, pada Sabtu (4/3/2023). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

Penulis Dini Putri6 Maret 2023


BandungBergerak.id – Berbagai upaya perampasan tanah saat ini dikemas dalam bentuk yang seakan lebih humanis dengan kebijakan yang dibalut oleh iming-iming kepentingan masyarakat. Untuk melawan praktik yang menguntungkan hanya segelintir kalangan elite ini, perputaran ekonomi harus berkiblat pada pertumbuhan ekonomi masyarakat.

WALHI Jawa Barat bersama Komunitas Celah-Celah Langit (CCL) mengadakan talkshow bertemakan “Orang Muda dan Isu Perampasan Tanah” pada Sabtu (4/3/2023) di Sekretariat Komunitas CCL Jl. Dr. Setiabudi, Gg. Bapak Eni, Ledeng, Kec. Cidadap, Kota Bandung. Dengan narasumber di antaranya Aliansi Bersihkan Indramayu (Albin), Agraria Resource Center (ARC), LBH Bandung, Walhi Jawa Barat, AP2SI Jawa Barat, dan Petani Muda Kamojang. Sebelum diskusi dimulai ada penampilan pembacaan puisi oleh Komunitas CCL.

Syafiq selaku narasumber dari Agraria Resource Center (ARC) pada pembukaan diskusi mengungkapkan bahwa corak transisi agraria yang terjadi di Indonesia ialah perubahan corak feodalisme atau kolonialisme ke corak kapitalisme dengan cara memutar modal kembali menjadi modal dan mendapatkan keuntungan yang mendorong aktivitas produksi. Oleh karena itu perampasan lahan merupakan salah satu karakter pembangunan yang kapitalisik yang lebih menguntungkan pihak pemilik alat produksi dibandingkan masyarakat yang lahannya terampas.

“Berkaitan dengan perampasan lahan ini, itu adalah satu karakter dari pembangunan yang kapitalistik itu pasti. Bagaimanapun juga modal itu harus berputar dan bagaimanapun juga orang-orang yang ada di atasnya itu harus pergi. Kalau misalkan gak pergi, diajak dia untuk terlibat dalam kegiatan produksi namun kemudian banyak pengaturan-pengaturan yang sebenarnya merugikan juga namun tidak disadari secara langsung oleh masyarakat,” ujar Syafiq.

Syafiq mengungkapakn, motir perampasan tanah sangat beragam. Seperti yang dialami masyarakat pedesaan yang mencoba menggarap lahan milik pemerintah yang terbengkalai dan tak terurus, ketika diurus oleh masyarakat, dirampas kembali oleh pemerintah dan tidak jarang warga yang mengurus lahan tersebut malah terkena sanksi pidana. Lalu di wilayah urban atau perkotaan motif perampasan tanah lebih masif dan lebih banyak terjadi, seperti terkait industrialisasi dan pembangunan infrastruktur.

Syaif menlanjutkan, perlawanan yang dilakukan masyarakat tidaklah mudah. Benturan-benturan yang terjadi dalam internal masyarakat, aparat penegak hukum yang tidak berpihak pada masyarakat, sampai dengan intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang berjuang mempertahankan haknya. Hal tersebut mendukung terjadinya perampasan lahan dan menyekat masyarakat untuk menyuarakan aspirasi.

Wahyudin Iwang dari Walhi Jawa Barat mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah yang mendukung langgengnya perampasan tanah membuat semakin surutnya perjuangan-perjuangan dan berkurangnya penyuaraan aspirasi yang dilakukan warga dan kalangan anak muda karena ketakutan akan salah langkah yang akan menyebabkan mereka terlibat kepada urusan pidana .

“Dulu saya sangat sering belajar dari rakyat malah bukan dari bangku sekolah. Dari rakyat yang teriak yang menyuarakan aspirasinya, yang menyuarakan isi nuraninya ketika itu perlu diperjuangkan, perlu dipertahankan. Tapi sekarang minim sekali situasi itu, minim sekali kondisi itu, karena apa? Karena kebijakan mempersiapkan itu untuk menakut-nakuti rakyat supaya haknya yang dilindungi di Undang-Undang Dasar yang dilindungi di Undang-Undang 32 PPLH, hak EKOSOB (ekonomi, sosial, dan budaya), HAM (Hak Asasi Manusia), dan sebagainya itu hilang,” ujar Iwang.

Iwang juga mengungkapkan Jawa Barat saat ini menghadapi potensi ancaman tinggi terhadap perampasan tanah dengan adanya 34 mega proyek yang disiapkan dan dinarasikan dalam bahasa PSN (Proyek Strategis Nasional) seperti proyek kereta cepat, bandara, jalan tol dan sebagainya yang sebetulnya tidak didasari atas kebutuhan rakyat.

“Kalau bicara soal kereta cepat, kebutuhannya untuk kalangan siapa? Karena kalau bicara soal rakyat, rakyat yang mana dulu kan gitu, pertanyaannya itu. Pasti kalangan menengah ke atas. Bicara soal bandara gitu ya, Kertajati yang konon banyak orang mengatakan bandara kuburan karena tidak laku, kebutuhannya untuk siapa,” ujar Iwang.

Narasumber talkshow “Orang Muda dan Isu Perampasan Tanah” masing-masing berasal dari Albin, ARC, LBH Bandung, WALHI Jawa Barat, AP2SI nasional dan Jawa Barat, Petani Muda Kamojang. Kegiatan talkshow digelar Walhi Jawa Barat bersama Komunitas Celah-Celah Langit (CCL) di Sekretariat Komunitas CCL di Jl. Dr. Setiabudi, Gg. Bapak Eni, Ledeng, Kec. Cidadap, Kota Bandung, pada Sabtu (4/3/2023). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)
Narasumber talkshow “Orang Muda dan Isu Perampasan Tanah” masing-masing berasal dari Albin, ARC, LBH Bandung, WALHI Jawa Barat, AP2SI nasional dan Jawa Barat, Petani Muda Kamojang. Kegiatan talkshow digelar Walhi Jawa Barat bersama Komunitas Celah-Celah Langit (CCL) di Sekretariat Komunitas CCL di Jl. Dr. Setiabudi, Gg. Bapak Eni, Ledeng, Kec. Cidadap, Kota Bandung, pada Sabtu (4/3/2023). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

Baca Juga: IWD 2023: Perlindungan, Inklusivitas, dan Aksesibilitas Masih Menjadi Persoalan Perempuan
Seruan Darurat Iklim dari Jalanan Kota Bandung
Penduduk Kota Bandung Didominasi Anak Muda, Kebijakan Pemkot tidak Boleh Kolot
Peran Masyarakat Sipil di Balik Plakat Adipura untuk Babakan Siliwangi Kota Bandung

Perlawanan Tidak Pernah Surut

Namun di antara keterbatasan dan tantangan yang dihadapi masyarakat, perlawanan pada perampasan tanah tidak pernah surut. Deri Irawan dari Aliansi Bersihkan Indramayu (Albin) menceritakan perjuangan panjang yang dilakukan oleh masyarakat Desa Mekarsari beserta Jatayu (Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu), Albin, dan berbagai elemen masyarakat lain yang terus memberanikan diri untuk mempertahankan hak mereka dari proyek pembangunan PLTU II Indramayu yang pada akhirnya memaksa Jepang menarik kembali investasinya pada proyek tersebut. Ia mengatakan peran petani sangatlah penting bagi keberlangsungan kesejahteraan masyarakat Indonesia terutama dalam aspek kebutuhan pangan.

“Kita analogikan seperti ini, dari dulu orang tua kita itu menyekolahkan, memberi kita makan, itu hasil dari tani. Bahkan Bung Karno dulu pun berkata petani adalah penjaga tatanan negara Indonesia. Bisa temen-temen bayangkan, ketika petani tidak ada, Indonesia akan seperti apa? Seperti itu analogika sederhananya,” ujar Deri.

Pengalaman lain, Dedi dari AP2SI Jawa Barat juga menceritakan keberhasilan Petani Kamojang bersama organisasinya melawan yang pada akhirnya membuahkan hasil pengelolaan tanah yang di rampas akhirnya kembali ke tangan rakyat. Dan setidaknya masyarakat tani bisa sedikit bernafas lega untuk bisa mengelola lahannya.

“Jadi rakyat itu lebih bisa tenang dalam pengelolaan, karena selama ini ya tadi dibayangi oleh oknum-oknum, walaupun sekarang juga masih ada tapi susulumputan (sembunyi-sembunyi), kalau dulu mah kan terang-terangan. Jadi wilayah kelola rakyat yang sekarang sudah dimiliki itu membuat para petani tenang, nyaman, terus secara legal juga mereka legal di wilayahnya, dan secara akses ke mana-mana juga sekarang diberikan ruang untuk mereka bisa mengakses,” Ucap Dedi.

Sementara itu salah satu audiens undangan, Slamet Rianto, anggota KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) Bandung raya berpendapat bahwa jika berbicara mengenai perampasan, maka semua aspek kehidupan masyarakat ikut terdampak. Masyarakat tani dengan perampasan tanah, dan kaum buruh pun hak-haknya tak luput dari perampasan dan ketidakadilan baik dalam segi upah dan hak normatif lainnya.

“Karena pemikiran saya, yang ditindas dan yang menindas itu lebih banyak yang tertindas. Nah berarti bahwa persoalan adalah sama antara buruh, tani, harapanku juga mahasiswa menjadi persoalan bahwa regulasi itu bermasalah,” ujar Slamet.

Rahma Husna mahasiswi Tata Boga  Universitas Pendidikan Indonesia berpendapat mengenai pentingnya peran anak muda termasuk mahasiswa sebagai bagian dari elemen perjuangan rakyat. Ia menyinggung mengenai kepedulian orang muda terutama mahasiswa terhadap isu lingkungan khususnya mengenai isu agraria.

“Dalam isu agraria ini, kebutuhan akan ruang hidup menjadi kebutuhan yang primer, serta tidak ada kedaulatan pangan kalau kaum tani masih belum bertanah. Sesuai amanat UU PA, tanah dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan sosial masyarakat. Pasca UU Cipta Kerja, nadanya bergeser menjadi komoditas, ini kan perlu waspada, ke depannya UU ini bisa merampas tanah siapa pun. Satu semangat yang mesti kita perjuangkan bersama, tanah untuk rakyat,” ujar Rahma.

Heri Pramono dari LBH bandung menutup diskusi dengan mengajak solidaritas yang perlu dipintal lebih masif lagi agar terbentuk ikatan yang erat antar elemen masyarakat dalam menghadapi persoalan sosial yang ada.

“Kita punya keresahan yang sama, kita punya masalah yang sama, tinggal kita rajut solidaritas yang entah itu dari temen-temen buruh, temen-temen tani, temen-temen perkotaan. Karena ya rakyat bersatu tak bisa dikalahkan,” pungkas Heri.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//