Bahaya Menghidupkan Kembali Rencana Pembangunan PLTSa oleh Pemkot Bandung
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Kota Bandung membahayakan lingkungan dan kesehatan manusia.
Penulis Iman Herdiana9 Maret 2023
BandungBergerak.id - Mengatasi masalah sampah Kota Bandung memang sangat menguras tenaga dan pikiran. Kehabisan akal bisa-bisa melahirkan solusi palsu penanganan sampah berkedok ramah lingkungan. Baru-baru ini, Pemkot Bandung mewacanakan kembali pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang pernah banyak ditentang karena membahayakan lingkungan dan kesehatan.
Pemkot Bandung beralasan PLTSa diperlukan untuk menekan jumlah sampah yang menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA). Setiap harinya, Kota Bandung memproduksi sampah kurang lebih 1.500 ton. Dari jumlah tersebut, volume sampah plastik yang sulit diurai dan membahayakan lingkungan mencapai 276,43 meter kubik per hari (304,073 ton sampah plastik) (Bandung Dalam Angka 2021).
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung Dudy Prayudi mengatakan saat ini, kebutuhan pembangunan PLTSa sedang dikaji ulang. Sebelumnya, Pemkot Bandung sempat berencana membangun PLTSa di kawasan Gedebage setelah bencana longsor di TPA Leuwigajah. Untuk itu, pada 2013 Pemkot Bandung telah bekerja sama dengan PT Bandung Raya Indah Lestari (BRIL).
Namun menurut Dudy, dari 2013 hingga sekarang tentu sudah banyak aturan yang berubah baik dari hukum maupun regulasi lainnya. Oleh karena itu, untuk memastikan hal tersebut, pihaknya tengah berkoordinasi dengan Kemenkomarves.
"PT. BRIL memang sedang melakukan penghitungan ulang. Kajian 2013 harus diupdate contohnya-contohnya dari sisi biaya. Kalau tenggat waktu nanti akan dibahas kembali," kata Dudy Prayudi, di Balai Kota Bandung, dalam siaran pers, Rabu (8/3/2023).
Selain menghidupkan wacana pembangunan PLTSa, solusi lain yang kontroversial namun ditempuh Pemkot Bandung adalah pembuatan arang dari sampah plastik atau refuse-derived fuel (RDF). Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyatakan teknologi RDF sebagai solusi semu dalam pengelolaan sampah. RDF yang dibikin dengan teknologi panas (termal) akan meningkatkan ancaman pencemaran lingkungan dan kesehatan manusia karena racun dalam plastik muncul sejak tahap produksi, konsumsi, hingga akhir masa pakai.
Namun produksi RDF di Kota Bandung sudah berlangsung. Menurut Dudy, Pemkot Bandung bekerja sama dengan perusahaan tekstil di Bandung yang sanggup menampung RDF.
"Ini kita melakukan kerja sama dengan pabrik tersebut didampingi oleh BRIN. Karena kami ingin memastikan RDF yang dihasilkan oleh kita ini cocok untuk pabrik tekstil," tutur Dudy.
Nol Sampah adalah Solusi Asli Pengelolaan Sampah
Pemkot Bandung sebenarnya sudah memiliki metode pengelolaan sampah bernama Kang Pisman, akronim dari kurangi, pisahkan, manfaatkan. Kang Pisman merupakan metode nol sampah (zero waste) yang diusulkan para pegiat lingkungan yang menolak metode pengelolaan sampah berkedok ramah lingkungan, waste to energy, seperi PLTSa, RDF, dan pengelolaan sampah dengan cara dibakar lainnya.
Direktur Eksekutif YPPB David Sutasurya menegaskan, metode nol sampah (misalnya Kang Pisman) adalah solusi paling realistis bagi pemerintah daerah yang menhadapi banjir sampah plastik. Menurutnya, pemerintah daerah akan kesulitan membiayai pengelolaan sampah selama wilayah mereka masih dibanjiri plastik.
Di saat yang sama, kata David, pemerintah pusat perlu segera menerapkan pelarangan produk dan kemasan sekali pakai secara nasional, sehingga pemerintah daerah dapat lebih fokus pada daur ulang sampah organik.
“Bila pemerintah pusat berani menerapkan kebijakan pelarangan produk, mendorong industri substitusi produk dan kemasan sekali pakai dengan konsep guna ulang dan kemasan plastik sekali pakai, pemerintah daerah juga dapat mulai segera menerapkan kewajiban daur ulang sampah organik kepada semua sumber sampah dan hanya melayani penanganan sampah residu di sanitary landfill masing-masing,” kata David, dalam siaran pers AZWI, Senin (6/3/2023).
Sejalan dengan David, Muhammad Aminullah dari Walhi Jakarta menyatakan proyek PLTSa bukanlah langkah bijak yang bisa ditempuh pemerintah dalam mengentaskan persoalan sampah dan energi bersih terbarukan. Daripada memaksakan teknologi yang bermasalah ini, pemerintah disarankan lebih baik fokus pada upaya pengaturan sampah dari sumbernya, yaitu masyarakat dan industri plastik.
Fokus pada masyarakat berarti memberi pendampingan, edukasi, dan monitoring pengolahan sampah pada masyarakat. Sementara di bidang industri, pemerintah perlu mengatur produksi plastik dalam bentuk regulasi. Meskipun sudah ada peraturan gubernur yang mengatur penggunaan kantong belanja ramah lingkungan, akan percuma jika produksi plastik tidak di kontrol.
Di sisi lain, tampaknya program nol sampah seperti Kang Pisman yang dijalankan Kota Bandung, berjalan lambat. Sementara pengurangan sampah Kota Bandung sangat mendesak seiring semakin kewalahannya TPA Sarimukti, satu-satunya TPA sampah bagi Kota Bandung saat ini, dan belum jadinya TPA baru di Legoknangka.
Sejauh ini, menurut Dudy, Kota Bandung baru memiliki 180 kawasan bebas sampah yang menjalankan Kang Pisman.
"Kita masih menggunakan TPA Sarimukti karena Legok Nangka belum bisa digunakan. Kita jalankan dengan Kang Pisman. Sudah tersebar di 180 kawasan bebas sampah. Kalau dari sisi jumlah memang belum menyesuaikan, setidaknya mengurangi," ungkap Dudy.
Program nol sampah seperti Kang Pisman memang memerlukan kesabaran ekstra sebelum membuahkan hasil maksimal. Program ini akan jauh berbeda dengan PLTSa yang menjanjikan solusi instan mengurangi sampah, walupun dampaknya berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
Baca Juga: IWD 2023: Perempuan Jawa Barat Tolak Diskriminasi dan Dorong Gerakan Perempuan yang Inklusif
Menyambut Hari Down Syndrome Dunia di Gedung Sate, Libatkanlah Kami
Sederet Janji Politik yang Harus Dituntaskan Wali Kota Yana Mulyana
Menyebar Racun dengan PLTSa
Riset-riset terdahulu tentang bahaya PLTSa sudah dilakukan para pegiat lingkungan, antara lain oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Muhammad Aminullah menulis, pada tahun 2019 sekelompok peneliti menemukan adanya dioksin dalam kandungan telur ayam ternak milik warga di desa Bangun, Surabaya, Jawa Timur.
Dioksin pada telur tersebut diduga kuat berhubungan dengan aktivitas pabrik tahu yang mengunakan sampah plastik sebagai bahan bakar produksi. Lokasi pabrik tahu yang berdekatan dengan permukiman dan peternakan membuat ayam-ayam di desa Bangun terpapar senyawa beracun yang berasal dari aktivitas pembakaran tersebut.
“Kejadian di atas merupakan gambaran nyata dari dampak buruk pemanfaatan sampah sebagai sumber energi listrik yang kini diadopsi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang tengah dicanangkan di beberapa kota,” demikian tulisan Muhammad Aminullah, diakses Kamis (9/3/2023).
Istilah Pembangkit Listrik Tenaga Sampah sekilas terdengar baik dan ramah lingkungan. Sampah yang sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah lingkungan bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi. Tapi faktanya, kata Muhammad Aminullah, pembakaran sampah seperti PLTSa tidaklah seramah kedengarannya.
Ia memaparkan sedikitnya ada tiga dampak negatif dari PLTSa, yakni merusak lingkungan, kesehatan, dan mubadzir. Dalam konteks pencemaran lingkungan, proses pembakaran sampah akan meningkatkan produksi gas rumah kaca yang artinya turut mempercepat perubahan iklim. Menurut penghitungan Zero Waste Europe, setiap satu ton sampah yang dibakar akan menghasilkan 1,7 ton CO2.
Selain itu, sistem pembakaran sampah seperti PLTSa akan menghasilkan dioksin, sebuah senyawa kimia beracun yang banyak dihasilkan dari pembakaran sampah plastik. Selain mencemari lingkungan secara langsung, dioksin juga mampu berpenetrasi dalam rantai makanan.
“Contohnya seperti yang terjadi pada telur-telur di Desa Bangun, Surabaya,” tulis Muhammad Aminullah.
Dari segi kesehatan, dioksin turut mengancam kelangsungan hidup manusia. Paparan racun ini dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), senyawa beracun ini dapat menyebabkan kanker, menyerang sistem imun, dan mempengaruhi sistem reproduksi. Selain bertebaran di udara, dioksin juga memiliki kemampuan masuk ke dalam rantai makanan. Dengan kata lain, risiko paparan racun ini untuk manusia dan hewan semakin tinggi.
Di luar dampak lingkungan dan kesehatan yang ditimbulkan PLTSa, Muhammad Aminullah menyatakan PLTSa hanya akan memicu ledakan gas rumah kaca dari aktivitas pembakaran sampah.
Tidak berhenti sampai disitu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020 juga sempat merilis kajian terkait rencana pembangunan PLTSa. KPK menemukan bahwa proyek PLTSa tidaklah efektif dan membebani anggaran pemerintah daerah (Pemda) serta Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Ada dua aspek yang dinilai bermasalah oleh KPK, yakni model bisnis yang memberatkan dan basis teknologi yang belum memadai. Dalam hal model bisnis, PLTSa akan membebankan pemda dalam sejumlah tahapan seperti studi kelayakan, pengumpulan sampah, dan tipping fee atau biaya layanan pengolahan sampah (BLPS). Sebagai contoh, Pemda DKI Jakarta harus menangung tipping fee sebesar Rp 470,52 miliar pertahun dengan total pengolahan sampah sebanyak 2.200 ton per hari.
Jadi, klaim ramah lingkungan yang digaungkan PLTSa tidaklah tepat. Energi ramah lingkungan tidaklah sesederhana mengubah sampah menjadi listrik. Alih-alih ramah lingkungan, PLTSa hanya mengkonversi masalah, dalam hal ini mengatasi permasalahan sampah dengan menghadirkan pencemaran udara.