• Liputan Khusus
  • BAYI-BAYI PANDEMI (8): Inisiatif Baik dari Kampung Padat Penduduk Suka Asih

BAYI-BAYI PANDEMI (8): Inisiatif Baik dari Kampung Padat Penduduk Suka Asih

Banyak program pemerintah terkait peningkatan gizi bayi dan anak macet. Di tengah kampung padat penduduk Suka Asih, warga menggalang pendanaan mandiri.

Seorang anak bermain di ruang terbuka yang juga difungsikan sebagai lahan Buruan SAE di RW 04 Kelurahan Suka Asih, Bojongloa Kaler, Kota Bandung, Jumat (27/8/2021). Karena janji bantuan pemerintah tak kunjung tiba, warga berinisiatif lewat pendanaan swadaya. (Foto: Bani Hakiki/BandungBergerak.id)

Penulis Tim Redaksi23 Oktober 2021


BandungBergerak.id - Sinar matahari pagi adalah berkah yang istimewa bagi warga Kelurahan Suka Asih, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung. Kawasan permukiman padat itu tersusun dari rumah-rumah yang berhimpit di antara belitan gang layaknya labirin yang membuat sinar matahari kesulitan menembusnya.

Luas wilayah Suka Asih 0,92 kilometer persegi, dihuni 19.065 orang penduduk. Beberapa sudut kampungnya memiliki udara yang terasa lebih dingin karena tidak pernah tersentuh matahari. Gang-gangnya sangat sempit sehingga memaksa mereka yang berpapasan harus lewat bergiliran agar tidak berdesakan.   

Di pinggiran beberapa gang, kotoran kucing memunculkan bau tidak sedap. Ditambah berbagai macam sampah yang berserakan begitu saja.

Di tengah kampung padat seperti itulah, pasangan Agil (22) dan Rizka (23), kedua orang tua Aqila, tinggal. Mereka mengontrak rumah di RW 04 dengan tarif sewa 950 ribu rupiah per bulan, plus tagihan listrik 150-250 ribu rupiah. Orang tua Rizka ikut tinggal di sana.

“Saya kan dari kecil di sini, jadi sudah terbiasa sama lingkungannya. Kalau Si Aa dari Cigondewah. Karena kontrakan yang lama habis kontrak, kebetulan kondisi lagi gini (pagebluk), jadi orang tua saya ikut pindah juga sekalian,” ujar Rizka.

Ukuran rumah kontrakan itu kecil. Cukup sepuluh langkah untuk mengitarinya. Di dalamnya ada dua ruangan utama yang relatif lebar, serta dapur yang besarnya hanya setengah ruang utama. Aroma kotoran tikus tercium menyengat.

Seluruh ruangan di rumah kontrakan ini terasa lembab karena tak tersentuh sinar matahari. Ubinnya dingin. Rasanya basah, lengket, dan banyak dihiasi noda yang entah dari mana asalnya. Mungkin sisa makanan.

Baca Juga: BAYI-BAYI PANDEMI (7): Aqila, Dia yang Lahir di Puncak Gelombang Kedua
BAYI-BAYI PANDEMI (6): Posyandu Terganggu, Buruan Sae Terkendala Lahan
BAYI-BAYI PANDEMI (5): Arsya, Vonis Stunting, dan Pergulatan Keluarganya

Insentif Cekak, Program Mandek

Bayi Aqila, anak pasangan Rizka dan Agil, hanyalah satu dari sekian kasus bayi stunting di Suka Asih. Mereka membutuhkan penanganan luar biasa, yang sayangnya belum sepenuhnya bisa diberikan oleh pemerintah. Beberapa program yang digulirkan, Tanginas misalnya, belum bisa menjawab permasalahan nyata di lapangan. Sebagian dinilai formalitas belaka.

Kepala Posyandu Tunas Harapan Kelurahan Suka Asih, Sumarni mengeluhkan tidak optimalnya bantuan yang diberikan pemerintah bagi posyandu untuk membantu pemeliharaan gizi bayi. Untuk melayani 170 bayi, hanya tersedia dana 126 ribu rupiah.

Insentif untuk para pegiat posyandu juga sering menjadi keluhan. Setiap bulannya masing-masing pegiat posyandu hanya menerima honor sebesar 50 ribu rupiah.

“Ya, kalau ngomongin insentif mah jelas kurang. Cuma kita kayaknya emang susah kalau ngarep lebih banyak mah. Kalau kita mah kerja emang suka rela, gimana nurani masing-masing,” tuturnya.

Ada juga janji pemerintah yang masih mandek, yakni program penyediaan tanaman untuk lahan Buruan Sae. Karena pemerintah tak kunjung mewujudkannya, warga akhirnya mengambil inisiatif. Biayanya dicukupi secara swadaya oleh warga sesuai kesepakatan bersama.

Ketua RW 04 Suka Asih, Een Munandar menuturkan bahwa sejumlah tanaman Buruan Sae yang ada di lahan sengketa seluas 30 meter persegi, yang juga jadi ruang bermain bagi anak-anak, diusahakan secara mandiri oleh warganya. Inisiatif ini terpantik upaya penyelamatan Aqila dari stunting.

“Kita ini (membuat Buruan Sae) semua pakai uang sendiri, udunan setiap warga, dan ngurusnya juga bareng-bareng. Uangnya dikelola dari kas RW. Sampai sekarang tanaman yang dijanjikan Pemkot (Bandung) gak pernah ada kabar lanjut,” ujar Een pada  akhir Agustus 2021 lalu.

Sekumpulan anak sedang bermain di tengah hari seusai azan zuhur berkumandang di salah satu gang di kampung padat Kelurahan Suka Asih, Kota Bandung, Jumat (27/8/2021). (FotoL Bani Hakiki/BandungBergerak.id)
Sekumpulan anak sedang bermain di tengah hari seusai azan zuhur berkumandang di salah satu gang di kampung padat Kelurahan Suka Asih, Kota Bandung, Jumat (27/8/2021). (FotoL Bani Hakiki/BandungBergerak.id)

Inisatif lain yang diupayakan oleh warga Suka Asih adalah penyediaan kas khusus untuk penanggulangan bayi-bayi yang lahir di tengah pagebluk. Dana terkumpul digunakan untuk membantu upaya penyelamatan bayi stunting.

Dengan uang kas itu, warga bisa memberikan makanan tambahan bagi ibu hamil dan bahan makanan penunjang kesehatan untuk bayi stunting. Aqila adalah salah satu bayi dengan gizi buruk yang sejak lahir memperoleh penanganan intensif yang dilakukan secara mandiri oleh warga.

Rizka dan Agil bersyukur memperoleh dukungan dari para tetangganya. Namun keduanya tetap menaruh harapan agar pemerintah bisa memberikan perhatian lebih terhadap permasalahan stunting. Aqila, bayi mereka, hanyalah satu  dari ribuan bayi stunting di Kota Bandung, dan tidak semua kampung memiliki inisiatif baik seperti ditemui di Suka Asih.

*Liputan mendalam "Bayi-bayi Pandemi", yang disajikan secara berseri, merupakan hasil kerja Tim Redaksi BandungBergerak.id yang terdiri dari: Sarah Ashilah, Bani Hakiki, Boy Firmansyah Fadzri, dan Tri Joko Her Riadi, dengan sumbangan foto karya Arif 'Danun' Hidayah

Editor: Redaksi

COMMENTS

//