BAYI-BAYI PANDEMI (5): Arsya, Vonis Stunting, dan Pergulatan Keluarganya
Arsya lahir sehat dengan berat badan yang cukup di kampungnya di Babakan Asih, Bojongloa Kaler, Kota Bandung. Baru belakangan dia ketahuan mengalami gizi buruk.
Penulis Tim Redaksi19 Oktober 2021
BandungBergerak.id – Namanya Arsya Nurahman, biasa dipanggil Arsya. Usianya baru menginjak satu tahun tiga bulan. Tubuhnya terlihat lebih kecil dari balita sebayanya. Maklum, Arya hanya memiliki berat tujuh kilogram dengan tinggi kurang dari 70 sentimeter.
Arsya adalah salah satu bayi yang lahir di tengah masa pandemi Covid-19, anak ketiga pasangan Sandi dan Tita, warga Babakan Asih, Kecamatan Bojongloa Kaler. Inilah kelurahan paling padat di Kota Bandung.
Rumah Arsya yang kecil, dengan lebar hanya enam setengah meter, berada di sudut gang sempit. Rumah ini nyaris tidak tersinari matahari karena terhalang rumah-rumah yang saling berhimpitan. Ada delapan orang tinggal di dalamnya.
Arsya adalah salah satu anak yang menjadi prioritas kerja posyandu di wilayah tempat tinggalnya. Musababnya, bayi ini terindikasi stunting.
Stunting adalah satu kondisi gagal pertumbuhan pada anak akibat kekurangan gizi kronis dalam waktu lama. Tubuhnya cenderung lebih pendek daripada anak yang normal seusianya, dan kerap memiliki keterlambatan dalam berpikir.
Meski demikian, Arsya terbilang sehat. Dia jarang sakit. Nafsu makan Arsya juga cukup besar. Dia bukan anak yang sulit makan, atau cenderung pilih-pilih makanan. Bahkan Arsya bisa makan sebanyak empat kali dalam sehari.
Sandi dan Tita tidak menghkhawatirkan kondisi Arsya. Keduanya membandingkannya dengan kakak-kakaknya.
“Meskipun ada orang bilang (anak saya) gizi buruk, ah saya abaikan saja karena kakak-kakaknya juga dulu begitu,” ujar Sandi, awal September 2021.
Baca Juga: BAYI-BAYI PANDEMI (4): Qia, di antara Stunting dan Thalasemia
BAYI-BAYI PANDEMI (3): Stunting di Jamika dan Sekian Banyak Kendala Penanganannya
BAYI-BAYI PANDEMI (2): Sebuah Kekhawatiran tentang Khalista
Divonis Stunting
Sore itu Arsya terlihat tengah asyik belajar berjalan di ruang tengah rumahnya dengan alat bantu serupa roda berbahan plastik. Tita, ibunya, menemani.
Ruang tengah merupakan yang paling luas di rumah sempit itu. Tak banyak perabot rumah seperti sofa dan lemari di sana. Ada sebuah sepeda motor, dan gerobak bakso milik Sandi yang digunakan untuk mengais rezeki.
Sambil sesekali mengajak Arsya bercanda, Tita bercerita. Saat hamil, bidan yang rutin memeriksa kandungannya meminta Tita agar sering mengkonsumsi es krim untuk mengurangi risiko bayi lahir dengan berat badan rendah. Maklum saja, kedua kakak Arsya sebelumnya lahir dengan berat badan rendah.
“Jadi saya waktu hamil Arsya perbanyak makan es krim. Karena kakak-kakak Arsya sebelumnya lahir dengan berat badan rendah. Yang pertama 2,3 (kilogram), yang kedua 2,1 (kilogram),” ujar Tita.
Saat persalinan tiba, Tita mengalami proses pembukaan yang cukup lama. Dua hari lamanya dia menahan sakit akibat kontraksi.
Arysa akhirnya lahir dengan prosedur persalinan normal tanggal 10 Juli 2020, pagi. Berat badannya 3,7 kilogram dengan tinggi 50 sentimeter.
Namun, meski lahir dengan berat badan normal, tumbuh kembang bayi Arsya tidak seperti anak-anak seumurnya. Dia diketahui mengalami kekurangan gizi saat usianya menginjak enam bulan.
Bergulat di tengah Pandemi
Sebelum pandemi Covid-19, Sandi dan Tita memiliki pekerjaan masing-masing. Sandi bekerja sebagai buruh konveksi, sementara Tita bekerja sebagai pegawai toko.
Tita sempat malang-melintang bekerja di sejumlah toko kuliner di Kota Bandung. Dari toko roti hingga restoran batagor ternama. Namun setiap memasuki masa kehamilan, Tita harus berhenti bekerja.
Begitu juga yang terjadi saat mengandung Arsya. Tita mengaku tidak kuat untuk bekerja saat tiga bulan pertama kehamilan. Dia kerepotan karena sering muntah-muntah.
“Setiap hamil terutama pas ngidam, saya pasti keluar kerja karena tiap ngidam bawaannya muntah-muntah terus. Terakhir pas ngidam Arsya saya berkerja di rumah makan batagor,” ujar Tita.
Setelah Arsya lahir, Tita menyimpan keinginannya untuk kembali bekerja, kendati dia ingin membantu meringankan beban suaminya yang kini menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. Orang tuanya yang sudah sepuh membuat Tita tidak tega untuk kembali bekerja karena itu artinya dia harus mentipkan tiga anaknya pada mereka.
Tak lama setelah Tita berhenti bekerja, dunia dilanda pageblug. Saat Tita mengandung Arsya, suaminya, Sandi, kehilangan pekerjaan karena perusahaan konveksi tempatnya bekerja terimbas pandemi.
Sandi kemudian memutuskan berjualan bakso. Dengan mendorong gerobagnya, dia berkeliling di lingkungan Babakan Asih untuk menyambung penghidupan keluarga kecilnya
Kalau penjualan baksonya sendang ramai, Sandi bisa mengantongi uang sebesar 350 ribu rupiah sehari. Jumlah tersebut memang pemasukan kotor yang belum dipotong modal dan kebutuhan lainnya. Toh Sandi bersyukur, sejauh ini pendapatannya tersebut masih bisa mencukupi kebutuhannya sehari-hari.
“Alhamdulillah walaupun sedikit, tapi masih tercukupi. Saya masih punya keinginan untuk mengganti gerobak bakso saya dengan yang lebih besar biar bisa bawa lebih banyak bahan baku untuk meningkatkan pendapatan,” ujar Sandi.
Pendapatan Sandi sebagai penjual bakso terbilang lumayan. Relatif lebih baik dibandingkan penghasilan sebagai pekerja pabrik. Ditambah lagi, ia kini punya lebih banyak waktu luang untuk keluarganya.