BAYI-BAYI PANDEMI (7): Aqila, Dia yang Lahir di Puncak Gelombang Kedua
Aqila lahir dengan berat badan kurang di tengah gelombang kedua pandemi Covid-19 pada Juni 2021. Keuangan keluarganya terpuruk, kebutuhan gizi sulit tercukupi.
Penulis Tim Redaksi21 Oktober 2021
BandungBergerak.id – Hantaman gelombang pertama pandemi Covid-19 pada pertengahan tahun 2020 tidak menyurutkan langkah pasangan Agil (22) dan Rizka (23) untuk menikah demi mewujudkan mimpi membangun keluarga dan melewatkan suka duka bersama. Namun setahun kemudian ujian paling berat bagi keduanya menyergap berbarengan dengan serangan gelombang kedua pandemi.
Bulan Juni 2021 menjadi puncak serangan gelombang kedua pandemi Covid-19 di Indonesia, Bandung tak terkecuali. Rumah sakit menghadapi krisis ketersediaan ruang kamar inap. Tenaga kesehatan tersedot tenaganya menangani lonjakan pasien Covid-19. Setiap hari kabar duka wara-wiri. Di tengah situasi menegangkan itu, Agil dan Rizka sedang menghitung hari kelahiran buah hatinya.
Suatu hari, sekitar pukul tujuh malam, Rizka mulai merasakan kontraksi pada kandungannya. Agil bergegas membawa istrinya tersebut ke sebuah rumah sakit di Jalan Kopo, Bandung. Dia masih ingat ketika itu azan isya belum lama berkumandang.
Tiba di rumah sakit, menjelang pukul delapan malam, keduanya harus menunggu selama tiga jam. Rizka bergulat dengan rasa sakit dan mual yang berasal dari kandungannya.
“Soalnya katanya (rumah sakit) sedang sibuk. Saya udah gak kuat nahan mual dan sakitnya. Sekitar jam 10 sempet ada perawat datang, ngabarin (kendala) yang sama,” ujar Rizka, ditemui di rumah kontrakannya di RW 004 Kelurahan Suka Asih, Bojongloa Kaler, Bandung, akhir Agustus 2021.
Malam itu menjadi malam yang menegangkan bagi Rizka. Menjelang persalinan dia baru mengetahui usia kandungannya sudah telat dua pekan. Air ketubannya ternyata sudah terkuras habis. Rizka akhirnya harus melewati persalinan dengan operasi cesar untuk mengurangi risiko kerusakan pada leher rahim yang sudah mulai mengering.
Agil panik dan khawatir. Dia sempat adu mulut dengan beberaepa tenaga kesehatan di rumah sakit itu.
Jelang pukul sebelas malam persalinan akhirnya bisa terlaksana. Bayi mungil yang bernama Aqilla itu pun lahir dengan selamat.
Namun, kegembiraan malam itu tak berlangsung lama. Bayi mungil Aqila hanya memiliki berat 1,9 kilogram dengan tinggi sekitar 40 sentimeter, jauh di bawah rata-rata kelahiran bayi normal pada umumnya. Pihak rumah sakit menyatakan bahwa Aqilla menyandang status stunting dan menyarankan untuk dirawat selama minimal dua pekan.
Agil dan Rizka terpaksa melewatkan saran itu karena terbentur biaya. Setelah tiga hari mendapat perawatan intensif pascakelahiran, bayi Aqila langsung dibawa pulang.
Aqil dan Rizka mengaku tidak tahu arti stunting. Keduanya sempat beranggapan Aqila sama normalnya dengan bayi-bayi lainnya. Namun naluri Rizka sebagai seorang ibu memberitahunya bahwa ada sesuatu yang berbahaya mengancam buah hatinya.
Baca Juga: BAYI-BAYI PANDEMI (6): Posyandu Terganggu, Buruan Sae Terkendala Lahan
BAYI-BAYI PANDEMI (5): Arsya, Vonis Stunting, dan Pergulatan Keluarganya
BAYI-BAYI PANDEMI (4): Qia, di antara Stunting dan Thalasemia
Kesulitan Ekonomi
Agil dan Rizka adalah bagian dari warga kota dengan kemampuan ekonomi lemah. Keduanya bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik tekstil di bilangan Pasir Koja. Sebelum pademi Covid-19, masing-masing bisa memperoleh gaji Rp 2,6 juta per bulan dengan bekerja 10 jam sehari, selama 6 hari dalam satu minggu.
Sejak pagebluk membayangi Kota Kembang, gaji dipotong 1,5 juta rupiah per bulan. Hanya sebesar itulah pemasukan keluarga muda tersebut, karena Rizka harus berhenti bekerja sejak kehamilannya berumur dua bulan. Agil sendiri bahkan sempat dirumahkan selama tiga bulan, dari Juni hingga Agustus 2020 lalu.
“Kita awalnya mau nabung dulu sebelum punya anak, tapi keburu hamil,” ujar Rizka.
Kehamilan Rizka terbukti menjadi masa-masa yang sangat sulit bagi pasangan itu. Kehamilan yang dilalui bersamaan dengan pagebluk menjeratnya dalam keterbatasan. Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja bukan perkara mudah.
Tak jarang Rizka jatuh sakit. Mulai dari penyakit yang ringan sampai lumayan berat. Dari flu dan batuk-batuk hingga anemia.
“Paling parah pas anemia. Saya hampir gak kuat mau ngapa-ngapain, kayak semuanya berat, terus pusing. Ini lumayan seringlah, sering juga dibawa ke dokter sama si Aa (Agil) tapi itu juga kalau lagi ada uangnya,” ujar Rizka.
Terlalu Sedikit Pengetahuan
Selain bermasalah dengan sumber pendapatan, keluarga Rizka dan Aqil juga memiliki terlalu sedikit pengetahuan tentang seluk-beluk kehamilan. Banyak informasi yang baru diketahui belakangan. Termasuk pentingnya pemenuhan gizi.
“Saya gak ngerti harusnya lahir bayi normal yang kayak gimana, kalau hamil harus ngapain aja juga gak terlalu ngeh,” tuturnya.
Kesehatan Rizka yang sering terganggu, ditambah pengetahuan tetang kehamilan yang jauh dari cukup, berimbas pada kondisi Aqila. Dia menderita stunting.
Sekilas Aqila memang seperti bayi biasa pada umumnya, tapi begitu dilihat dari jarak dekat, perbedaan itu segera tampak. Nafasnya terdengar sangat pelan, terengah, dan berat.
Bayi Aqila terlihat lebih kecil dari bayi normal. Ukuran tangan dan kakinya bahkan tidak lebih besar dari botol plastik saus ukuran 275 milimeter. Tubuhnya tidak lebih besar dari lengan ibunya sendiri ketika diperhatikan dengan saksama, padahal kedua orang tuanya memiliki postur tubuh yang cukup tinggi dan berisi.
Beruntung, sejak hari pertama kabar kondisi kelahiran Aqila diketahui, para tetangga bahu-membahu mengumpulkan dana bantuan. Para pengurus RW yang jadi penggeraknya.
“Alhamdulillah, di sini mah, mungkin karena banyaj teman dari kecil, jadi banyak yang bantuin.,” ucap Rizka. “Sekarang jalan dua bulan lebih, kondisi Aqila masih stabil, berat badannya juga bertambah terus pelan-pelan.”
*Liputan mendalam "Bayi-bayi Pandemi", yang disajikan secara berseri, merupakan hasil kerja Tim Redaksi BandungBergerak.id yang terdiri dari: Sarah Ashilah, Bani Hakiki, Boy Firmansyah Fadzri, dan Tri Joko Her Riadi, dengan sumbangan foto karya Arif 'Danun' Hidayah