BAYI-BAYI PANDEMI (6): Posyandu Terganggu, Buruan Sae Terkendala Lahan
Penanganan pandemi menguras anggaran pemerintah. Anggaran perbaikan gizi yang secara krusial akan menolong bayi stunting, ikut terpangkas.
Penulis Tim Redaksi20 Oktober 2021
BandungBergerak.id – Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan tidak saja melumpuhkan sektor ekonomi masyarakat. Beberapa program strategis pemerintah pun kehabisan anggaran akibat terkuras untuk penanganan wabah. Upaya pemenuhan gizi dan layanan posyandu, yang secara krusial akan menolong bayi-bayi stunting, terganggu.
Biasanya posyandu menggelar bulan penimbangan balita rutin satu bulan sekali. Lewat kegiatan inilah tumbuh kembang bayi terdeteksi sehingga bisa segera dilakukan intervensi gizi. Selama pagebluk, kegiatan tersebut tak bisa lagi digelar demi membatasi potensi penularan virus. Sebagai gantinya bulan penimbangan dilakukan dengan sistem rumah ke rumah yang memakan waktu lebih lama.
“Biasanya sehari selesai sekarang bisa satu minggu lebih baru selesai (penimbangan balita rutin),” kata Dede, pegiat posyandu di Kelurahan Babakan Asih, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung, awal September 2021 lalu.
Anggaran dari pemerintah pun seret. Program pemberian makanan tambahan (PMT), misalnya, hanya diberikan sampai bulan Mei 2020. Selanjutnya tidak ada.
“Honor buat para kader juga ditiadakan,” ucap Dede.
Meski begitu, Dede memastikan kondisi tersebut tidak menghentikan kegiatan kader posyandu di wilayahnya. Layanan posyandu tetap berjalan menggunakan dana swadaya masyarakat yang sudah dihimpun jauh sebelum pandemi.
“Kita coba untuk tetap berjalan. Kita juga kan sebetulnya ada dana kas posyandu, biasanya dihimpun setiap bulan timbang sebesar dua ribu rupiah per orang tua balita. Cuma sejak pandemi jadi tidak terlalu banyak yang berdonasi,” ujarnya.
Menuntut Layanan Posyandu
Sandi dan Tita, orang tua balita bernama Arsya, mengaku masih menerima pelayanan posyandu hingga Mei 2020 lalu. Tapi Sandi tak bisa menepis kekhawatirannya. Pelayanan posyandu yang terbatas tidak akan cukup untuk membantu membebaskan anak-anak dari ancaman gizi buruk yang menghantui keluarga dengan kemampuan ekonomi lemah.
Pemberian multivitamin inkonsisten. Pemberian makanan tambahan juga belum optimal. Padahal kebutuhan asupan gizi untuk anak sesuai umur dan tumbuh kembangnya terbilang jauh lebih besar dari apa yang disediakan oleh posyandu dan pemerintah kota.
“Soalnya, posyandu juga jarang ngasih vitamin. Seringnya makanan itu juga satu bulan sekali dan sesuai budget mereka. Biasanya kacang hijau, biskuit, terakhir malah bola-bola coklat. Gak berani ngasih susu rutin berkala,” ujar Sandi.
Merujuk panduan yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia di laman pusdatin.kemkes.go.id, intervensi perbaikan gizi pada balita mestinya meliputi perhitungan gizi setiap keluarga. Di antaranya 500 kilogram kalori dan 10 gram protein setiap satu porsi makan per hari, dan dilakukan selama 1.000 hari pertama untuk capaian yang lebih optimal.
Sayangnya, sejauh mana capaian upaya pemenuhan gizi sesuai standar ini tidak mudah dicek karena minimnya transparansi kerja pemerintah. Di sisi lain, ketercukupan gizi pada setiap porsi makanan bisa jadi adalah sebuah kemewahan yang tak dimiliki oleh setiap keluarga, terutama mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang terbilang lemah.
Padahal, pemerintah mendapat mandat untuk memastikan kebutuhan kesehatan warganya, terutama mereka dari kelompok miskin dan rentan, tercukupi. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk memenuhi (1) mutu perbaikan gizi keluarga miskin dalam keadaan darurat, (2) peningkatan akses pelayanan dan mutu pelayanan gizi, serta (3) bertanggung jawab atas pendidikan dan informasi yang benar terkait gizi kepada masyarakat.
Tidak berlebihan jika Sandi menuntut agar penanganan stunting dibarengi dengan pemenuhan standar asupan gizi yang konsisten, serta ditambah dengan pelayanan kesehatan penunjang lainnya yang memadai.
“Kalau bisa mah lebih mudah lagi akses pelayanan kesehatan teh. Jadi bukan cuma ditimbang dan diberi makan dan vitamin saja,” ujarnya.
Baca Juga: BAYI-BAYI PANDEMI (5): Arsya, Vonis Stunting, dan Pergulatan Keluarganya
BAYI-BAYI PANDEMI (4): Qia, di antara Stunting dan Thalasemia
BAYI-BAYI PANDEMI (3): Stunting di Jamika dan Sekian Banyak Kendala Penanganannya
Terbentur Keterbatasan Anggaran
Kepala UPT Puskesmas Babakan Tarogong, Fardhiyan Solichin menjelaskan, peran puskesmas dalam upaya peningkatan gizi balita masih berjalan di masa pandemi. Mulai dari menghimpun data di lapangan, memberikan konseling gizi untuk program pemberian makanan tambahan, melakukan sosialisasi, hingga membangun kerja sama lintasprogram. Semua, merut dia, secara simultan berjalan beriringan dengan penanganan pandemi Covid-19.
Meski begitu, Fardhiyan tak menampik terjadinya gangguan pada pelayanan puskesmas tersebut terutama di saat pandemi Covid-19. Namun ia tak bisa mengkonfirmasi apakah gangguan-gangguan tersebut berimpas pada angka kasus stanting.
“Kalau pandemi pasti ya, semua program pasti ada masalah. Pasti ada penurunan penanganan karena fokus penanganan pandemi. Kalau peningkatan kasus stunting belum didata lebih lanjut,” tuturnya, awal September 2021.
Menurut Fardhiyan, anggaran program perbaikan gizi bagi balita memang sangat terbatas. Namun, hal ini seharusnya tidak perlu dipersoalkan karena semua pihak yang terlibat dalam program itu, termasuk warga, sudah tahu sasarannya akan bergilir dengan mengikuti skala prioritas.
“Kita anggaran terbatas. Dan kita dipilih, mana yang paling ini (diprioritaskan) Kalau ada yang tidak ter-cover, pasti, ada. Dan itu gak usah diinikan (dipersoalkan), kan nanti digilir. Sepuluh orang dulu, lalu sepuluh orang lagi,” katanya.
Buruan Sae Terkendala Lahan
Selain layanan posyandu dan puskesmas, Pemerintah Kota Bandung menggulirkan beberapa program lain sebagai bagian upaya menangani masalah gizi masyarakat. Salah satunya, Buruan Sae, yakni gerakan mengelola kebun perkotaan (urban farming) secara terintegrasi dengan memanfaatkan lahan-lahan terbuka di lingkungan kecil setingkat Rukung Warga (RW). Tujuannya, membangun kemandirian pemenuhan pangan warga yang berdampak pada perbaikan pemenuhan gizi.
Sayangnya, di permukiman padat seperti Kelurahan Babakan Asih, ketersediaan lahan bukanlah urusan mudah. Akibatnya, program ini sulit diwujudkan atau kalau tidak, macet di tengah jalan.
Ketua RW 01 Kelurahan Babakan Asih, Iban, menyatakan mulanya Buruan Sae sudah dibuat warga di lapangan pingpong di tengah kampung. Namun, lapangan yang sama adalah juga ruang terbuka bagi anak-anak bermain bersama.
“Perawatan semakin sulit. Belum lagi, tidak ada honor bagi pekerja yang mengurusi pertanian tersebut. sehingga saya juga malu kalau terus-terusan meminta tolong,” ujarnya.
Dede, sang pegiat posyandu, memberikan kesaksian serupa. Program Buruan Sae di wilayahnya tidak pernah lagi berjalan, tanpa sempat memberikan manfaat buat warga karena belum perna sekali pun panen.
*Liputan mendalam "Bayi-bayi Pandemi", yang disajikan secara berseri, merupakan hasil kerja Tim Redaksi BandungBergerak.id yang terdiri dari: Sarah Ashilah, Bani Hakiki, Boy Firmansyah Fadzri, dan Tri Joko Her Riadi, dengan sumbangan foto karya Arif 'Danun' Hidayah