• Kolom
  • PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #1: Pemisahan Negara dan Agama, Sekularisme ala Sunda Kuna?

PEMERINTAHAN PAJAJARAN TENGAH #1: Pemisahan Negara dan Agama, Sekularisme ala Sunda Kuna?

Buku Pamaréntahan Nagara Pajajaran Tengah merupakan kodifikasi Pantun Bogor. Di antaranya mengulas soal posisi agama pada zaman kerajaan Sunda.

Topik Mulyana

Dosen dan peneliti Lembaga Pengembangan Humaniora, Pusat Studi Nitiganda, Fakultas Filsafat Unpar, Ketua Padepokan Bumi Ageung Saketi

Prasasti Kawali peninggalan Kerajaan Pajajaran terpajang di Museum Sri Baduga, Bandung, Selasa (11/4/2023). (Foto Ilustrasi: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

12 April 2023


BandungBergerak.id - Pada tahun 1982, Lembaga Kasenian Bandung yang diketuai Tien Sri Kartini menerbitkan buku susunan Ki Komara berjudul Pamaréntahan Nagara Pajajaran Tengah (PNPT). Penerbitan ini didukung oleh Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Provinsi daerah Tingkat I Jawa Barat yang saat itu diketuai Enoch Atmadibrata, seorang maestro tari tradisi yang juga salah seorang pendiri Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI; kini menjadi Institut Seni Budaya Indonesia [ISBI]).

Pamaréntahan Nagara Pajajaran Tengah merupakan hasil kodifikasi Ki Komara dari Pantun Bogor. Menurut Tien dalam pengantar PNPT, Ki Komara menyusun naskah ini selama berada di Bogor didampingi Ki Rakean Minda Kalangan (Raden Mochtar Kala), ahli waris Pantun Bogor dan sesepuh Bogor (Komara, 1982). Dengan demikian, autentisitas dan validitas isi buku ini tak perlu lagi dipertanyakan.  

Adapun maksud Lembaga Kasenian Bandung menerbitkan buku ini adalah, pertama, melestarikan kesenian pantun, salah satu kesenian Sunda yang nyaris punah karena tak lagi diminati dan penelitian terhadapnya (saat itu) masih sangat minim. Kedua, diharapkan buku PNPT ini menjadi pintu masuk penelitian terhadap sejarah Kerajaan (Nagara) Pajajaran yang masih diselimuti kabut misteri. Ketiga, menjadi cerminan dan bahan refleksi (khususnya bagi orang Sunda) untuk melangkah ke depan. Hal itu ditambahkan oleh Enoch Atmadibrata, juga dalam pengantar PNPT, bahwa buku ini “diharapkan menjadi bekal untuk merintis jalan ke depan dalam rangka membangun Kebudayaan Nasional”.

Sekilas tentang Pantun Bogor

Pantun Bogor merupakan sebutan untuk cerita pantun (cerita yang dibawakan dengan cara dilantunkan diiringi petikan kecapi) yang konon mengandung kisah lengkap masa Kerajaan Pajajaran. Peneliti budaya Sunda asal Belanda yang banyak dirujuk, C.M. Pleyte, menyebutkan bahwa Pantun Bogor merupakan pantun paling utuh dalam hal sumber sejarah yang dikisahkan (Sulastri, 2014). Pantun ini terdiri atas sepuluh lakon (semacam episode), yakni 1) Kalang Sunda Makalangan, 2) Pakujajar Beukah Kembang/Ngadegna Pajajaran, 3) Pakujajar di Lawanggintung, 4) Kujang di Hanjuang Siang, 5) Dadap Malang Sisi Cimandiri, 6) Pajajaran Seren Papak/Ngahiangna Pajajaran, 7) Curug Sipadaweruh, 8) Tunggul Kawung Bijil Sirung, 9) Lawang Saketeng ka Lebak Cawene, dan 10) Ronggeng Tujuh Kalasirna. Menurut Sutaarga (1965 dalam Rusyana, Iskandarwassid, & Wibisana, 1997), Pantun Bogor terdiri atas tujuh lakon dan kesemuanya hendak diterbitkan. Namun, hingga tahun 1965, yang terbit hanya satu lakon, yakni Dadap Malang Sisi Cimandiri (1964). Enam tahun kemudian, terbit Kalang Sunda Makalangan (1970).

Ada hal menarik mengenai pantun ini. Sastrawan Sunda terkemuka Ajip Rosidi menyebutkan, Pantun Bogor memiliki struktur berbeda dengan pantun lainnya. Ia tidak memiliki pola berulang dan bahasa Sunda yang digunakan adalah bahasa Sunda yang baru dikenal setelah masa penjajahan Jepang (Rusyana, Iskandarwassid, & Wibisana, 1997). Ahli budaya Sunda Jakob Sumardjo menambahkan, beberapa keunikan yang terdapat pada Pantun Bogor, yakni bahwa pantun ini seolah-olah bukan pantun pertunjukan karena tidak ada permainan irama pada pilihan kata-katanya. Jika pantun yang lain puitis, maka Pantun Bogor prosais. Pantun ini juga absen dari penggunaan simbol-simbol budaya dan terlalu banyak kelakar pahit di dalamnya (Sumardjo, 2003).

Terlepas dari semua itu, sebagaimana pantun lainnya, Pantun Bogor mengandung banyak hal berharga yang dapat digali. Salah satunya mengenai seluk-beluk Pemerintahan Pajajaran Tengah, yang secara tidak langsung juga menggambarkan perikehidupan pada umumnya. Topik inilah yang kemudian dikodifikasi oleh Ki Komara menjadi PNPT. PNPT terdiri atas 27 bagian ditambah Pembuka dan Penutup.

Baca Juga: Kesurupan, Proses Menuju Kemanusiaan
BUKU BANDUNG (2): Angin Bandung Menyanyikan Tuhan

Pemisahan Urusan Negara dan Agama

Pamaréntahan Nagara Pajajaran Tengah dimulai dengan Bubuka (Pembuka). Bubuka diawali dengan keterangan bahwa Pantun Bogor ini merupakan warisan berharga dari Aki Uyut Baju Rambeng. Keistimewaan pantun ini adalah keterangan rinci mengenai susunan pemerintahan zaman Prabu Siliwangi. Benar tidaknya keterangan tersebut tidaklah menjadi persoalan utama. Itulah sebabnya diungkapkan dalam buku ini agar para ahli yang meneliti sejarah Pajajaran dapat menjadikannya sebagai bahan penelitian.

Pada bagian ini juga dijelaskan bahwa sebagaimana pada umumnya masyarakat masa lalu, agama memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dalam teknis pelaksanaan pemerintahan, tidak berarti urusan agama bercampur baur dengan urusan pemerintahan; raja hanya pemimpin negara, bukan pemimpin agama. Hal ini dengan jelas diucapkan oleh tokoh Ki Lengser dalam lakon Ngahiangna Pajajaran yang ia ucapkan kepada seterunya, “Urusan agama dan urusan negara tidak boleh dicampur aduk.” Berdasarkan hal tersebut, penyusun PNPT menduga bahwa urusan agama terpisah dari urusan pemerintahan dalam mengelola negara beserta rakyatnya.

Dalam pengelolaan kehidupan masyarakat pada umumnya, terdapat tiga pihak yang menjalankan tugasnya masing-masing, sesuai dengan konsep Tritangtu di Nagara: karatuan, karamaan, karesian. Raja menempati peran sebagai ratu, pengelola negara. Lengser sebagai penasihat raja dan wakil rakyat yang berarti menempati peran rama; dalam lakon Kujang di Hanjuang Siang, dikisahkan bahwa lengser diturunkan langsung dari kahiangan yang berarti ia juga merupakan wakil Tuhan. Brahmesta, sebutan untuk pendeta atau resi tertinggi, adalah pemimpin tertinggi urusan keagamaan. Jika mengacu pada cerita-cerita sebelumnya (kurang jelas, apakah yang dimaksud adalah lakon-lakon lain dalam Pantun Bogor atau cerita pantun lainnya), kedudukan brahmesta lebih tinggi dari raja. Dengan demikian, dapat dirunut secara hierarkis manakah di antara mereka yang memiliki kedudukan tertinggi, yaitu lengser, brahmesta, dan raja. Namun, jika mengikuti secara keseluruhan cerita Pantun Bogor, tampaklah bahwa lengser hanyalah manusia biasa. Dengan demikian, urutannya adalah raja, lengser, dan brahmesta. Di bagian akhir pembukaan, penyusun mengajukan pertanyaan, “apakah cerita tersebut memang nyatanya seperti itu?” Kemudian, ia memberikan jawaban diplomatis: “ya, memang belum tentu benar, tapi juga belum tentu salah, bukan?”

Soal pemisahan urusan agama dan urusan negara ini menjadi hal yang menarik karena pada banyak kerajaan lainnya, urusan agama kerap memengaruhi urusan kenegaraan. Hal itu terjadi pada kerajaan yang menganut agama-agama bercorak misionaristik, seperti Kristen dan Islam. Di kekaisaran Romawi, kaisar adalah kepala negara sekaligus kepala agama. Hingga sekarang, monarki konstitusional Inggris juga menganut pola demikian: ratu/raja Inggris, meski secara politis merupakan pemimpin simbolik, adalah juga kepala gereja. Oleh Soekarno, pola kepemimpinan semacam ini disebut caesaro-papisme, sesuatu yang ia tolak untuk diterapkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dunia barat sendiri seakan baru menyadari  pentingnya pemisahan ini pascapencerahan, setelah mengalami “Abad Kegelapan (The Dark Middle Age)” yang panjang akibat monopoli kekuasaan gereja atas negara yang menghambat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akibat tafsir sepihak dari para pemuka gereja dan ditransformasikan jadi kebijakan kaisar. Filsuf Inggris George Holyoake mengajukan gagasan perlunya pemisahan antara urusan agama dan urusan negara, tanpa menolak partisipasi agama. Holyoake menyebutnya sebagai sekularisme. Ia menyebutkan sekularisme lebih mirip dengan humanisme pada zaman Yunani Klasik dan dengan tegas menolak mengidentikkan sekularisme dengan ateisme (https://id.wikipedia.org/wiki/Sekularisme, 2023).

Untuk konteks Indonesia, banyak di antara para pendiri bangsa yang juga berupaya menerapkan sekularisme dalam pengertian Holyoake ini, di antaranya Soekarno, Hatta, Syahrir, Soepomo, Tan Malaka, dan lainnya. Dalam Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno banyak mengkritik praktik keagamaan yang kontraproduktif dan antikontekstualisasi, sembari dengan getol ia menekankan pentingnya nilai-nilai agama sebagai dasar moral bagi penyelenggaraan republik ini. Tan Malaka menganalogikan hubungan antara agama (dalam hal ini Islam) dan negara dalam sebuah ungkapan yang indah, “Jika Indonesia adalah tubuh, maka biarlah Islam menjadi darahnya.” Atas kesadaran semacam itu pula Hatta mengajukan penghapusan tujuh kata dalam sila pertama, ”… dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang dinilainya terlalu eksklusif dan tidak akomodatif terhadap kemajemukan bangsa Indonesia.

Dengan demikian, tentu menjadi hal yang amat menarik bagaimana sejak abad ke-10, leluhur masyarakat Sunda sudah menerapkan pola pemerintahan semacam itu. Disinyalir, pola itu juga diterapkan pada masa sebelumnya, masa Tarumanagara. Disebutkan bahwa salah satu sifat luhur Raja Purnawarman adalah sangat menghormati para brahmana. Artinya, ia sendiri bukan brahmana. Hal itu berdasarkan prasasti Batu Tulis yang menyebutkan bahwa ia mempersembahkan seribu ekor sapi kepada kaum brahmana atas keberhasilan projek rekayasa sungai yang melewati wilayahnya (Ekadjati, 2006). Saya kira, hal ini pun didukung oleh strata sosial yang disusun oleh raja-raja Tarumanagara berdasarkan ajaran Hindu-Veda—agama resmi kerajaan ini—, yaitu Kasta Ksatria, Kasta Brahmana, Kasta Waisya, dan Kasta Sudra. Para raja merupakan Kasta Ksatria, sedangkan para pendeta, pemuka agama, merupakan Kasta Brahmana. Pembagian tugasnya sangat jelas. Barangkali, hal ini pulalah yang menjadikan para raja Tarumanagara dan Pajajaran terbuka pada para penganut agama lain, membiarkan warganya memilih dan menjalankan agamanya secara bebas; sesuatu yang dicita-citakan sekularisme modern! Bahkan, menurut catatan Fa Hsien, seorang penjelajah asal Tiongkok dan beragama Budha, meski Hindu merupakan agama resmi, di situ terdapat penduduk beragama Budha dan penganut agama lama (Ekadjati, 2006). Menariknya, mayoritas penduduk Tarumanagara adalah penganut agama lama (lokal) dan meski penganut Budha sangat sedikit, mereka dipersilakan membangun tempat peribadatan yang luas yang sekarang dikenal sebagai Kompleks Percandian Batujaya di daerah Karawang.

Lalu, bagaimana dengan pengetahuan dan kemampuan keagamaan para raja sendiri? Justru, syarat utama untuk menjadi raja adalah memiliki pengetahuan kegamaan yang mumpuni. Dalam naskah Carita Parahyangan, dirunut tentang masa bakti para raja yang sangat variatif. Disebutkan dalam naskah itu sebab-sebab pendeknya masa bakti seorang raja adalah perilaku raja yang melanggar ajaran agama, semisal Prabu Maharaja Linggabuana yang masa baktinya hanya tujuh tahun karena dianggap melanggar apa yang telah ditetapkan dalam Sanghyang Siksakandang Karesian (kitab suci agama Sunda). Sebaliknya dengan putranya, Prabu Niskala Wastukancana, bertakhta selama 104 tahun karena sangat taat dalam menjalankan ajaran agama (Atja, 1968).

Dari paparan di atas, dapat ditarik semacam pelajaran bahwa pemisahan urusan agama dan urusan negara tidak berarti menyingkarkan atau menihilkan agama dalam urusan pemerintahan, tetapi menempatkannya pada tempatnya yang tepat. Agama berada di wilayah sakral, sedangkan negara di wilayah profan, tentu tidak sejajar. Menyejajarkan, konsekuensinya kemudian adalah memperhadapkan, agama dengan negara hanya akan melahirkan kekacauan yang menghambat upaya mewujudkan negara yang adil, makmur, dan sejahtera; gemah ripah loh jinawi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//