• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Cerita-cerita Edelweis di Jawa #3

NGULIK BANDUNG: Cerita-cerita Edelweis di Jawa #3

Demam edelweis sebagai bunga abadi melanda Eropa dan Jawa. Pemetikan edelweis kerap dibarengi pengrusakan alam.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Orang Eropa di cagar alam Tjibodas-Goenoeng Gede di Preanger sekitar tahun 1925. Bagian dari album keluarga J.B. Wormser. (Sumber: Koleksi KITLV 95335, digitalcollections.universiteitleiden.nl)

16 April 2023


BandungBergerak.id – Buku berjudul Natuur en Geneskundig Archief voor Neerlands-Indie Tweede Jaargang yang diterbitkan oleh Van Het Bataviaasch Genootschap tahun 1845 mencatat temuan flora dan fauna Jawa. Buku setebal 742 halaman ini membandingkan catatan flora temuan Junghuhn dengan temuan flora yang ada untuk merumuskan klasifikasi tanaman-tanaman yang tumbuh di Jawa. Buku tersebut menelaah lebih dalam mengenai catatan beragam flora yang dikumpulkan Franz Wilhelm Junghuhn.

Buku babon mengenai catatan flora di Jawa kala itu juga mencatat beragam jenis edelweis di Jawa. Klasifikasi edelweis selalu bersandar pada catatan temuan C.G.C. Reinwardt perintis Kebun Raya Bogor yang memperkenalkannya pertama kali pada dunia, serta Junghuhn yang kemudian membukukan perjalanannya menjelajahi nusantara dalam bukunya yang berjudul “Java, Zijne Gedaante, Zijn Plantentooi, en Inwendige Bouw” yang terbit tahun 1853.

Buku Natuur en Geneskundig Archief voor Neerlands-Indie (1845) bersandar pada catatan Junghuhn yang diterbitkan dalam Tijdschrift voor Neerlands Indies tahun 1843 serta catatan identifikasi flora di Jawa oleh Reindwart. Reindwart sempat menerbitkan catatan flora yang dikumpulkannya dalam buku “Over de hoogte en verdere natuurlijke gesteldheid van eenige bergen in de Preänger regentschappen” tahun 1823.

Edelweis yang dicatat pada buku Natuur en Geneskundig Archief voor Neerlands-Indie (1845) dikelompokkan dalam tiga genus yakni Gnaphalium, Antennari, serta Anafalis (halaman 259-263). Klasifikasi edelweis dan deskrispnya dituliskan dalam bahasa latin di buku tersebut.

Pada genus Gnaphalium terdapat dua spesies di sana. Yakni Gnaphalium javanicum yang ditemukan di Pegunungan Tengger di ketinggian 4.000-8.000 kaki pada tahun 1844, serta satu Gnaphalium yang tidak bisa didefinisikan nama spesiesnya yang ditemukan di kaki Gunung Lamongan pada ketinggian 6.500 kaki. Ciri keduanya sama-sama memiliki daun lancip dan batang yang berlapis sisik putih. Spesies Gnaphalium umumnya ditemukan di pegunungan di Jawa Barat pada ketinggian 3.000 hingga 9.000 kaki.

Selanjutnya ada dua spesies edelweis dari genus Antennari. Pertama Antennari scatilis yang ditemukan di Gunung Waliran (Welirang) pada ketinggian 6.000-9.000 kaki tahun 1844, spesies ini juga ditemukan di pegunungan di Jawa Barat. Spesies kedua adalah Antennari javanica atau disebut orang Sunda dengan nama Soemboeng yang ditemukan di Gunung Gede dan Pangrango oleh Reinwardt tahun 1843. Cirinya tumbuh seperti semak di pegunungan dengan warna bunga kecoklatan, dan batang yang dilapisi sisik putih.

Kemudian pada genus Anafalis ada tiga spesies edelweis. Pertama, Anafalis viscida yang ditemukan di puncak Gunung Tjerimai, dan Gunung Semiroe (Semeru) pada ketinggian 7.000 hingga 9.000 kaki tahun 1844.  Kedua, Anafalis longifolia yang ditemuan di Gunung Salak (warga setempat menyebutnya Semboeng) serta hutan Gunung Ardjoeno pada ketinggan 7.000-8.000 kaki tahun 1843. Dua spesies Anafalis terakhir tidak bisa diefinisikan spesiesnya. Yang satu ditemukan di puncak Gunung Tengger di ketinggian 7.500-8.500 kaki tahun 1844, serta satu lagi di Gunung Ardjoena dan Waliran. Cirinya bunga yang membulat bewarna keputihan dan lebih panjang dibandingkan edelweis lainnya dengan batang yang bersisik. 

Penyebutan nama Soemboeng ditemukan dalam buku “Algemeen Nederduitsch-Maleisch woordenboek, in de hof-, volks- en lage taal, met aanduiding der woorden, welke uit oostersche en westersche talen ontleend zijn,” kamus yang disusun Dr. P. P. Roorda van Eysinga tahun 1855. Di buku tersebut dituliskan kata Soemboeng yang merupakan nama bunga tanaman Gnaphalium, yang merupakan salah satu spesies edelweis di Jawa Di kamus tersebut dituliskan: “ROERKRUID , O. (Gnaphalium Blum) soemboeng, Soend”.

Upaya klasifikasi edelweis tersebut berlangsung bertahun-tahun. Pencatatan tersebut masih relevan hingga saat ini. Yang terkini misalnya situs Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian LHK, mencatat di Kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai terdapat 4 jenis spesies edelweis yakni Anaphalis javanica, Anaphalis longifolia, Anaphalis viscida dan Anaphalis maxima.

Wisma khusus untuk para peneliti ilmiah di taman gunung Tjibodas, barat laut Tjiandjoer. Foto diambil sekitar tahun 1901-1902. (Sumber: Koleks KITLV 19462, digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Wisma khusus untuk para peneliti ilmiah di taman gunung Tjibodas, barat laut Tjiandjoer. Foto diambil sekitar tahun 1901-1902. (Sumber: Koleks KITLV 19462, digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Di Eropa Edelweis Jadi Sorotan

Di Eropa pada penghujung abad ke-19, edelweis tengah menjadi sorotan. Koran Bataviaasch handelsblad tanggal 8 November 1892 memberitakan terbitkan dektrit Kaisar Austria yang melarang pemetikan edelweis di pegunungan Alpen. Larangan tersebut muncul gara-gara kekhwatiran bunga abadi tesebut akan punah akibat pemetikan yang serampangan dalam jumlah besar.

Harian Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad tanggal 5 Maret 1898, mengutip koran yang terbit di Hungaria juga melaporkan larangan serupa atas pemetikan edelweis (Gnaphalium keontopodium) khas pegunungan Alpen. Demi memenuhi permintaan edelweis yang tinggi, sebuah pabrik di Gratz berdiri untuk memprduksi replika edelweis dalam jumlah besar dari bahan potongan kain putih bekas seragam tentara Austria.

Pelarangan pemetikan edelweis di Eropa makin meluas. Koran De Sumatra post tanggal 21 Februari 1901 memberitakan penguasa prefek Isere menerbitkan aturan yang memasukkan tanaman edelewis sebagai tanamanan yang dilindungi. Hukuman akan dijatuhkan bagi mereka yang nekat mengambil, mengangkut, serta menjual edelweis dari pegunungan Alpen. Koran De Sumatra post tanggal 26 Agustus 1901 memberitakan aturan pelarangan dikuatkan dalam bentuk undang-undang di Austria. Negara tersebut melarang pencabutan edelweis dengan akarnya serta melarang penjualan tanaman dengan ancaman hukuman denda hingga penjara. Pengecualian diberikan hanya untuk tujuan ilmiah, itu pun harus dengan persetujuan polisi. Warga yang membudidayakan edelweis juga wajib melaporkan pada pemerintah setempat agar memudahkan pelacakannya.

Eksotisme edeweis dari pegunungan Alpen tak jarang memakan korban. Ada saja yang masih nekat memetik edelweis. Seorang pembuat sepatu dilaporkan jatuh ke lembah Lauterbrunnen dan tewas di tempat saat hendak memetik Edelweiss yang tumbuh di tebing bebatuan di ketinggian 600 kaki (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie?, 13-09-1901). Di Hohen Göll, seorang pria tewas akibat terjatuh ke dalam jurang sedalam ratusan meter ketika hendak memetik edelweis (De Sumatra post, 18-09-1901).

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Cerita-cerita Edelweis di Jawa #1
NGULIK BANDUNG: Cerita-cerita Edelweis di Jawa #2
NGULIK BANDUNG: 100 Tahun Observatorium Bosscha, yang Terbesar di Bumi Selatan (1)

Perusakan Edelweis Jawa

Eksotisme edelweis makin mendunia. Sepertinya tinggal menunggu waktu saja terjadi perusakan edelweis di Jawa di habitatnya. 

Adalah N. I. Vereeniging tot Natuurbescherming (Asosiasi Konsevasi Alam Hindia Belanda) di Buitenzorg yang menginisiasi pemerintah menetapkan Natuurmonument atau Cagar Alam pada sejumlah kawasan alam yang punya kekayaan flora dan fauna yang eksotis untuk melindunginya dari perusakan tangan manusia (De locomotief; Natuurmonument Lalidjiwo, het hoogst gelegen logeergebouw van Java; 31-7-1918).  M.Horst, Sekretaris 1 Asosiasi mengatakan di koran terebut bahwa Asosiasi mendorong penepatan kawasan Lalidjiwo di Gunung Ardjoeno sebagai Natuurmonument karena kekhasan habitat flora dan faunanya.

Lalidjiwo berupa hamparan tanah yang cukup luas di ketinggian 800 kaki yang berada persis di bawah dinding Gunung Ardjoena yang curam dengan mata air yang jernih di tengah-tengahnya. Di sana terdapat banyak tanaman eksotis. Di antaranya Gautheria (gando-poerogeur/gandapura), Stuphelia pungens, Vaccinium schimperi sejenis tanaman blueberry yang dipelajari secara khusus  oleh ali botani Prof. Schimper, jelatang dengan bunga ungunya, campanula, dan tentu saja dua spesies edelweis di sana yakni Gnaphalium dan Anaphalis.

Dan perusakan edelweis di habitatnya benar-benar terjadi. Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 10 Juli 1923 dalam artikel berita berjudul “Vandalisme” yang isinya merupakan surat terbuka Dokter van Leeuwen, Direktur Lands Plantentuin (Kebun Raya). Lewat artikel tersebut, ia menceritakan kerusakan yang dilihatnya di habitat edelweis Jawa saat menemani perjalanan Direktur Van Landbouw Dr Rutgers dan Prof. Stomps ahli botani dari Universitas Amsterdam menuju Kandangbadak dan puncak Pangrango.

Van Leeuwen mendapati ratusan batang pohon edelweis Jawa pohon edelweis Jawa (Anaphalis javanica) habis ditebang. Juga pohon-berusia tua ditebang untuk kayu bakar.

Tegal Aloen Aloen, G. Papandajan. Ketinggian ± 2500 m. Dataran rerumputan Festuca nubigena, di belakangnya di tengah hutan setengah terbakar dengan semak Edelweiss Jawa (Anaphalis javanica). (Ilustrasi Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1935, 01-01-1935, Sumber Delpher.nl)
Tegal Aloen Aloen, G. Papandajan. Ketinggian ± 2500 m. Dataran rerumputan Festuca nubigena, di belakangnya di tengah hutan setengah terbakar dengan semak Edelweiss Jawa (Anaphalis javanica). (Ilustrasi Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1935, 01-01-1935, Sumber Delpher.nl)

Di area dekat puncak Gede-Pangrango tersebut, serombongan warga setempat diminta tinggal sementara untuk membantu pengamatan yang tengah dilakuan Topographischen Dienst (Dinas Topografi). Di sana serombongan murid lokal juga ditemani satu orang dewasa membangun gubuk untuk menginap semalam.

Van Leeuwen masih ingat, di lokasi edelweis yang habis ditebang tersebut, di tempat yang sama juga habitat edelweis habis dibabat 80 tahun lalu oleh Teijsmann untuk ditanami sayuran. Saat itu kondisinya belum bisa dikembalikan seperti semula. Khawatir kejadian serupa terjadi (dan kembali terjadi lagi), Lands Plantentuin tengah mengurus pengalihan status seluruh hutan di atas Tjibodas tersebut yang melingkupi puncak Gedeh dan Pangrango menjadi Natuurmonument, kawasan yang dibatasi untuk dikunjungi dan dilindungi untuk menjaga habitat alamiahnya. 

Tidak semua setuju. Kritikan juga dilayangkan pada usul Van Leeuwen. Harian De Indische courant tanggal 19 Jui 1923 menerbitkan artikel yang mengkritik dengan judul Vandalisme, sengaja dengan judul yang sama dengan surat terbuka Van Leeuwen. Koran tersebut khawatir jika usul Van Leeuwen benar-benar dikabulkan, maka selamat kawasan puncak Gedeh-Pangrango akan dipasang pagar kawat seperit di Kebun Raya di Buitenzorg. Koran itu mengkritik, perlindungan habitat memang penting tapi tidak dengan cara menutupnya dari kunjungan sama sekali.

Habitat alamiah edelweis Jawa di puncak Gedeh-Pangrango tersebut selanjutnya menjadi Kebun Raya Tjibodas. Di sana kemudian tidak benar-benar tertutup, turis yang ingin berwisata mendaki menuju puncak gunung masih boleh datang, juga menginap di pondok kayu dibangun di dekat puncak. Pondok kayu permanen untuk wisatawan yang menginap di tengah pendakiannya didirikan di Kandang Badak, dan menyusul pondok kayu tambahan di Alun-alun Gedeh.

Harian De Indische courant dalam terbitannya tanggal 20 Oktober 1923 menceritakan ulasannya tentang Kebun Raya Tjibodas dalam artikel yang berjudul De Bergtuin Tjibodas. Disebutkan bahwa Tjobadas berada di lereng utara puncak Gede berajark 1,5 jam berjalan kaki dari Sindanglaja. Tjibodas telah dikukuhkan sebagai bagian dari Lands Botantuin di Buitenzorg yang fungsinya untuk penelitian ilmiah flora pegunungan. Sementara kebun raya induknya di Buitenzorg untuk penelitian ilmiah flora dataran rendah. Untuk mendukung penelitian, di Tjibodas dibangun 3 bangunan rumah jaga, laboratorium, serta wisma. Sebagian lahan di sana dicadangkan sebagai taman herbal. Di dekatnya terdapat air terjun Tjibeureum yang memiliki tinggi 50 meter yang berada di ketinggain 1.600 meter yang jaraknya hanya satu jam berjalan kaki dari Tjibodas. Di tengah perjalanan menuju Pangrango dari Kadang Badak akan menemukan edelweis Jawa.

Pemerintah Hindia Belanda kala itu telah menetapkan sejumlah kawasan habitat flora dan fauna yang dilindungi dengan penyematannya sebagai Natuurmonument atau Cagar Alam. Koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 24 Desember 1929 dalam artikelnya yang berjudul “De Piek van Indrapoera natuurmonument” (CagarAlam di Puncak Indrapoera) menyebutkan sejumlah kawasan yang telah ditetapkan pemerintah Hindia Belanda kala itu sebagai kawasan yang dilindungi sebagai cagar alam. Yakni kompleks Tjibodas/Goenoeng Gedé  dan kawasan Ardjoeno/Lalidjiwo di Jawa Timur. Kedua tempat tersebut sama-sama menjadi habitat edelweis Jawa. Sementara di Puncak Indrapoera di Gunung Kerintji menyusul ditetapkan pada 9 Desember 1929 sebagai Natuurmonument yang pertama di Sumatera. Di puncak Indrapoera juga menjadi habitat edelweis untuk spesies Gnaphalium longifolium.

Dilaporkan ke Polisi

Apakah mengambil edelweis di Hindia Belanda pada zaman itu akan berhadapan dengan hukum seperti di Eropa kala itu? Tidak jelas benar.

Namun majalah Mooi Bandoeng, Jaargang (volume) 7 no. 4 edisi April 1939 menuliskan tulisan pendek berjudul Papandajan Weg bahwa dua orang dilaporkan ke polisi setempat karena memetik edelweis di Gunung Papandajan.

Gedurende verslagjaar behoefde door onzen opzichter, den Heer A. RUIS, tevens onbezoldigd Hoofd-Agent van Politie, slechts éénmaal procesverbaal te worden opgemaakt tegen 2 personen wegene het plukken van Edelweisz in het Natuurmonument (Selama tahun peninjauan, supervisor kami, Bpk. A. RUIS, yang juga seorang Kepala Polisi tidak dibayar, hanya perlu membuat berita acara satu kali terhadap 2 orang karena mengambil Edelweisz di Cagar Alam)” (Mooi Bandoeng).

*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//