• Berita
  • Apakah Ekosistem Media Sudah Menjadi Ruang Aman bagi Kelompok Marginal?

Apakah Ekosistem Media Sudah Menjadi Ruang Aman bagi Kelompok Marginal?

Kelompok marginal menjadi kelompok rentan dalam pemberitaan media. Mereka berharap pemberitaan yang memberikan narasi damai, berimbang, dan tidak provokatif.

Para perwailan media di Bandung Raya tengah mengikuti lokakarya Voice for Peace and Justice yang diselenggarakan Jaringan Kerja Antar Umat Bergama (Jakatarub), Pusat Studi Pengembangan Perdamaian (PPSP) Nawang Wulan, dan BandungBergerak.id, serta Common Ground Indonesia di di Grand Tjokro, Bandung, Minggu (16/4/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya18 April 2023


BandungBergerak.id – Kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Jawa Barat berada dalam kondisi mengkhawatirkan. Merujuk data Setara Institute, Jawa Barat menempati posisi kedua sebagai provinsi dengan peristiwa KBB tertinggi di Indonesia. Dari total 175 peristiwa, 25 di antaranya terjadi di provinsi berjuluk Tatar Sunda ini. Angka tersebut bisa jadi lebih banyak lagi di lapangan.

Buruknya rapor KBB di Jawa Barat diperparah dengan kondisi media hari ini. Dalam riset Remotivi, ruang yang diberikan media untuk pemberitaan kelompok agama marginal masih sangat kecil. Dalam Komunitas Agama Marginal dalam Media di Indonesia: Sebuah Kajian Awal (2021), Muhamad Heychael, dkk, menyebut bahwa penggambaran kelompok agama marginal masih mengarah sebagai “korban”. Media cenderung menempatkan agama-agama marginal sebagai objek daripada subjek yang dapat menceritakan sudut pandangnya sendiri.

“Masih banyak diksi-diksi yang dipakai mendiskriminasi yah, bahkan kami tak segan menyebutnya sebagai kekerasan bahasa,” terang Arfi Pandu Dinata, Koordinator Jakararub, ketika dihubungi melalui telepon, “Framing media itu tidak menunjukkan watak keunikkan dari agama-agama.”

Merespons kedua kondisi tersebut, Jaringan Kerja Antar Umat Bergama (Jakatarub), Pusat Studi Pengembangan Perdamaian (PPSP) Nawang Wulan, dan BandungBergerak.id, didukung Common Ground Indonesia, menggelar lokakarya bersama para pemimpin redaksi dari berbagai media di Bandung Raya pada Minggu (16/4/2023). Dengan tajuk “Voice for Peace and Justice”, gelaran ini mencoba mengajak media arus utama, media alternatif, dan pers mahasiswa untuk peka dalam pemberitaan terkait agama-agama marginal.

Bertempat di Grand Tjokro Premiere Bandung, perwakilan media dari Pikiran Rakyat, Tribunjabar.id, Ayo Bandung, Kutub.id, digitalMamaID, Koran Gala, BeritaBaik.id, BandungBergerak.id, LPM Suaka UIN Sunan Gunung Djati, dan LPM Media Parahyangan duduk memenuhi undangan. Dalam lokakarya yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB sampai 15.00 WIB ini, semua media sepakat harus ada kerja bersama yang dilakukan antara media, komunitas, dan agama-agama marginal untuk mengimplementasikan konsep KBB dalam produk jurnalistik.

“Untuk menjembatani perjumpaan publik dengan agama keyakinan itu ya membaca media, tapi kalau medianya tadi luput tidak meliput kelompok agama tertentu, kalaupun meliput belum meliput dengan perspektif yang sebagaimana penganutnya mendeskripsikan dirinya sendiri, nah itu jadi PR untuk media hari ini,” lanjut Arfi.

Baca Juga: OTT KPK Yana Mulyana Menjadi Bukti Mentalitas Korup di Pemkot Bandung masih Ada
Aksi Hamparkan Bendera Israel di Jalan Asia Afrika dalam Peringatan Hari Al Quds Internasional
Geliat Mudik di Terminal Cicaheum Pascacovid-19

Keharusan Media untuk Berpihak

“Sudahkah kita memberi cukup ruang untuk kelompok rentan? Sudahkah kita menaruh cukup usaha untuk menjangkau mereka? Sudahkah kita bersungguh-sungguh memihak mereka?“ Tanya Tri Joko Her Riadi mencoba menggugat narasi netralitas yang kerap digaungkan hari ini.

Mengacu pada Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, Joko, begitu pria ini akrab disapa, menjelaskan bahwa prinsip media harus independen dan pemberitaan harus berimbang tidak sama dengan jargon “media harus netral”. Bagi Joko, netralitas tidak cukup untuk memberitakan diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami agama-agama marginal selama ini. Bagaimanapun, media harus berpihak.

Argumentasi dari Joko diamini oleh perwakilan dari media lain. Hanya saja, terkadang orang-orang di balik meja redaksi tidak bisa berbuat banyak ketika pemilik media sudah bersikap. Berita-berita bernada sensitif tidak menjadi fokus sorotan karena media tidak ingin berkonflik. Sekalipun ada yang meliput, biasanya berita-berita yang hadir diubah, bahkan tidak tayang, karena berseberangan dengan kepentingan media.

Selain masalah kepentingan media, masalah lain yang hadir adalah keterampilan dari jurnalis dalam meliput isu KBB. Salah satu yang merasakan masalah ini adalah pers mahasiswa. Sebagai mahasiswa yang baru mulai menyelami dunia jurnalistik, perwakilan dari pers mahasiswa mengaku kesulitan ketika mencoba meliput isu KBB yang terjadi di masyarakat.

“Kritik, tapi tetap empati. Mempertimbangkan dampak. Teliti dengan diksi. Akurat dan berimbang. Hindari judul sensasional dan provokatif,” terang Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id menanggapi persoalan pedoman yang harus dipatuhi jurnalis ketika meliput isu keberagaman.

Untuk memulai dan mengusahakan kerja peliputan yang berpihak bagi agama-agama marginal, Joko memberikan tawaran ide bagi perwakilan media-media yang hadir, yakni media harus mampu memperkokoh kapasitas internal dan memperluas jejaring eksternal.

Joko meyakini bahwa sebuah liputan yang baik dimulai dengan perencanaan yang baik. Dalam level internal media dapat perumusan kerangka peliputan sebelum terjun ke lapangan. Kerangka liputan tersebut meliputi angle yang tajam, narasumber yang relevan, data yang kuat, dan pemahaman wawancara yang simpatik. Joko menambahkan bahwa perencanaan tersebut dapat maksimal apabila dilakukan dalam ekosistem redaksi yang suportif: telaten meningkatkan kapasitas dari jurnalisnya, berdisiplin dengan rapat redaksi, dan terbuka pada usul dan kritik audiens.

Sementara di level eksternal, Joko menyarankan agar media dapat lebih banyak merangkul dan mendengarkan keresahan dari agama-agama marginal. Untuk menuju ke sana, media perlu juga merangkul organisasi atau komunitas yang memiliki visi sama KBB.

“Berita bukan melulu kejadian yang besar, heboh, menyedihkan, memilukan. Bisa juga yang hangat, yang menginspirasi, yang positif. Menceritakan bahwa kelompok rentan bisa berdaya,” pungkas Joko.

Para perwakilan media di Bandung Raya tengah mengikuti loka karya Voice for Peace and Justice yang diadakan oleh Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) di Grand Tjokro, Bandung, Minggu (16/4/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Para perwakilan media di Bandung Raya tengah mengikuti loka karya Voice for Peace and Justice yang diadakan oleh Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB) di Grand Tjokro, Bandung, Minggu (16/4/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Kelompok Rentan dalam Bingkai Media

Tiga hari sebelum gelaran lokakarya bersama pemimpin redaksi di Bandung Raya, sempat ada pertemuan bersama kelompok masyarakat lintas iman untuk membahas pemberitaan terhadap kelompok marginal hari ini. Ada delapan perwakilan komunitas yang hadir, yakni Ahmadiyya Muslim Students Association for Woman (AMSAW), Fathimiyyah, Sorot Budi Daya, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Gereja Kristen Pasundan (GKP), Iteung Menggugat, dan Puzzle Indonesia.

Dalam pertemuan ini, ada empat pertanyaan yang diajukan untuk memantik diskusi. Pertama, adakah pemberitaan media yang narasinya memojokkan dan merugikan komunitas atau agamamu. Kedua, adakah hal penting terkait komunitas atau agamamu yang belum disorot dalam pemberitaan hari ini. Ketiga, apakah komunitasmu punya akses untuk menyalurkan informasi ke media. Terakhir, apa harapan untuk pemberitaan media ke depannya.

Sebagai kelompok penghayat, Sorot Budi Daya merasa bahwa pemberitaan media hari ini masih mengotak-ngotakkan antara agama dan kepercayaan. Akibatnya, meski sudah diakui secara peraturan, label “bukan agama” dan “klenik” membuat kelompok penghayat sering mendapatkan diskriminasi, baik itu oleh negara maupun masyarakat . Selain itu, kelompok penghayat ini juga mengatakan bahwa pemberitaan terkait perayaan hari-hari besar dan esensi beribadah masih sangat minim.

"Tetap ada permasalahan-permasalahan pendidikan, dan itu tuh kayak harus diberitakan, karena untuk orang tahu bahwa kami tuh masih mendapat perlakuan seperti itu biarpun sudah ada kebijakan yang melindungi kami," keluh perwakilan Sorot Budi Daya.

Serupa tapi tak sama, Fathimayyah juga merasa bahwa label “sesat”, “berbeda”, dan “bukan bagian dari Islam” masih sering dilekatkan pada Islam Syiah. Bagi Fathimayyah label tersebut memberikan stigma dan dampak buruk. Contohnya, negatifnya pandangan publik dalam setiap aktivitas Islam Syiah.

Ketidakpuasan akan pemberitaan media juga disampaikan oleh perwakilan dari AMSAW. Sebagai Islam Ahmadiyyah, kelompok ini masih merasa pemberitaan media memojokkan mereka. Secara sengaja ataupun tidak sengaja, banyak media masih menggiring opini publik untuk mewajarkan kejadian buruk yang menimpa Islam Ahmadiyyah. Bagi kelompok ini, pemberitaan terkait Islam Ahmadiyyah masih berfokus pada kasus persekusi. Padahal selain kasus persekusi, banyak hal lain yang dapat disoroti dari kelompok ini, misalnya aktivitas sosial organisasi seperti menjadi pendonor mata terbesar dan pemberian layanan kesehatan di daerah yang kesulitan akses.

Selanjutnya, giliran GKP yang memberikan tanggapan. Bagi kelompok ini, masih sangat jarang ada wartawan yang meliput langsung aktivitas dari Jemaat Kristen. Padahal bagi GKP, aktivitas dari Jemaat Kristen, khususnya aktivitas komunitas dan gereja-gereja kecil, penting untuk diketahui publik untuk memupuk pesan toleransi.

“Misalnya dalam kasus IMB (izin mendirikan bangunan), jadi media tuh hanya memberitakan bahwa umat kristen itu dapat bergereja di mana saja. Padahal, kristen terbagi dalam beberapa denominasi,” terang perwakilan GKP ini.

Tak hanya menyoroti pemberitaan di media arus utama, ada pula yang menyoroti komentar dari media sosial, perwakilan dari PHDI misalnya. Baginya, tidak ada masalah berarti dalam pemberitaan terkait agama Hindu. Justru, perwakilan dari PHDI ini menyayangkan masih banyak komentar negatif dari warganet terkait aktivitas mereka. Dia memberi contoh perayaan Ogoh-ogoh yang dilangsung di beberapa wilayah kemarin.

Selain masalah diskriminasi pemberitaan yang dialami agama-agama marginal, ada pula tanggapan seputar pemberitaan yang menyoroti kelompok minoritas gender. Iteung Menggugat, menyayangkan banyak peliputan menyoal kekerasan seksual hanya menyasar kronologi dan identitas yang dapat memicu trauma bagi korban. Lalu, Puzzle Indonesia, yang berfokus pada isu kesehatan HIV/AIDS, mengatakan bahwa pemberitaan yang provokatif terkait LQBTQ justru menjauhkan mereka dari layanan kesehatan yang seharusnya menjadi hak semua warga negara.

Terkait akses terhadap media, komunitas-komunitas yang hadir mengaku belum banyak membangun jejaring dengan jurnalis. Baru Puzzle Indonesia yang sudah berjejaring dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Sisanya, masih mengandalkan media komunitas dan media sosial untuk memberitakan aktivitas dari agama dan komunitasnya.

“Pengalaman saya sih, entah saya tidak menemukan beritanya atau gimana, tapi kayak biarpun misalnya kami nih ada kegiatan atau gimana, terus ada yang meliput, itu kayak beritanya gak ada,” ucap salah satu kelompok termarginalkan yang diiringi tawa dari kawan-kawan yang lain

Harapan teriring dari kelompok masyarakat termaginalkan ini bagi media. Sebagian besar ingin berjejaring dengan media, ingin aktivitas dari kelompok rentan ini diketahui publik. Mereka berharap media dapat lebih suportif lagi menyokong kelompok masyarakat termarginalkan.

Harapan juga disampaikan untuk produk-produk jurnalistik di media. Mereka berharap media selalu mampu memberikan narasi damai, berimbang, dapat menentukan narasumber yang tepat, dana tidak provokatif dalam memilih judul. Khusus dalam permasalahan gender, mereka berharap perspektif budaya lokal dalam isu perempuan dapat lebih digaungkan lagi.

“Pada dasarnya kita mengacu pada konstitusi kita yah, bahwa setiap warga negara punya hak untuk beragama, berkeyakinan, dan beribadah,” jelas Alfi, “Bhineka Tunggal Ika itu bagian dari jantung kehidupan masyarakat kita.”

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//