NGABUBURIT MENYIGI BUMI #30: Manusia Gua Pawon itu Seperti Kita, Hanya Lahir 12.000 Tahun Lebih Awal
Menjelajahi bumi Priangan sejak 12 ribu tahun lalu, manusia Gua Pawon menggunakan perkakas kecil-kecil dari batu obsidian. Diperoleh dari Gunung Kendan di Nagreg.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
21 April 2023
BandungBergerak.id - Manusia yang bersemayam di Gua Pawon, atau Guha Pawon, di Kampung Cibukur, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, adalah manusia modern seperti kita saat ini. Perbedaannya, mereka lahir lebih dahulu dari pada kita. Menurut Lutfi Yondri, arkeolog, peneliti ahli utama di Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah – BRIN, dari tujuh kerangka manusia di Guaa Pawon, ada yang berusia sekitar 12.000 tahun sampai 5.600 tahun yang lalu. Ini artinya, manusia Gua Pawon sudah menjelajah di bumi Priangan sejak 12.000 tahun yang lalu dengan budaya yang tercermin dari artefak yang ditinggalkannya.
Walaupun 12.000 tahun lebih awal, manusia Gua Pawon sudah memakai perhiasan seperti kalung dari gigi hiu dan taring binatang, yang keduanya sudah diberi lubang untuk memasukkan tali. Sangat mungkin, gigi hiu dan taring itu menjadi perhiasan berupa kalung. Manusia Gua Pawon sudah menggunakan perkakas dalam berburu, meramu, menggali umbi-umbian, serta memetik buah-buahan. Perkakas dari tulang, bentuknya sudah seperti pisau belati saat ini, dan ketika dipegang sudah ergonomis. Bedanya hanyalah material yang dijadikan perkakasnya.
Pisau belati tulang itu fungsional, digunakan untuk menggali umbi-umbian dalam tanah dan memotong bahan makanan. Kemiri menjadi bagian dari makanan yang disantap manusia Gua Pawon. Ditemukan juga perkakas yang terbuat dari batu.
Manusia Gua Pawon juga menggunakan perkakas kecil-kecil dari batu obsidian atau batu kendan. Sumber bahannya terdapat di Kampung Kendan. Penggunaan batu kendan sudah sangat populer di Cekungan Bandung. Temuan perkakasnya hampir merata di sekeliling Cekungan Bandung di atas ketinggian +725 meter di atas permukaan laut (mdpl). Ditemukan berbagai bentuk, yang diduga sebagai mata anak panah, pengerat, penusuk, dan banyak bentuk lainnya, dengan kegunaan yang berbeda. Perintis penelitian perkakas obsidian di Cekungan Bandung adalah Dr. GHR von Koeningswald (1935) dan Hans-Georg Bandi (1951). Perkakas ini pun sudah digunakan oleh manusia Gua Pawon, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Batu obsidian atau batu kaca menjadi pilihan sebagai perkakas karena ketajamannya. Obsidian itu batuan vulkanis yang terdiri dari massa gelas yang amorf. Batu kendan terbentuk karena lava mengalami kontak langsung dengan udara, dan membeku dengan seketika dalam tempo yang sangat cepat. Bentuk dan warna obsidian seperti kaca, licin, dan pecahan-pecahannya yang tipis dapat ditembus cahaya, dan umumnya berwarna hitam.
Sisi batu kaca yang tipis itu sangat tajam, sehingga dapat digunakan untuk menguliti binatang atau mengerat daging. Obsidian yang dibentuk lancip, kecil, dan runcing dapat dijadikan mata anak panah untuk menangkap berbagai jenis burung atau binatang buruan lainnya. Bentuk yang lebih besar dapat digunakan sebagai mata tombak. Perkakas yang berupa mata anak panah, mata tombak, atau berbentuk menyerupai pisau pengerat, banyak dibutuhkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga perkakas itu laku dipertukarkan.
Karena kegunaannya yang sangat vital pada zamannya, oleh nenek moyang masyarakat Bandung batu itu disebut batu kendan. Kendan itu kependekan dari ka-indra-an, atau ke-dewa-an. Tempat atau sumber batu obsidian disebut Gunung Kendan (+900 meter), berlokasi di Nagreg, Kabupaten Bandung. Jaraknya 60 kilometer dari Gua Pawon.
Manusia Gua Pawon pun sudah menggunakan api. Di dalam kotak penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung, sekarang BRIN, menemukan arang, yang menandakan api sudah digunakan di sana.
Baca Juga: NGABUBURIT MENYIGI BUMI #11: Jejak Bunga Karang di Perbukitan Citatah
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #2: Harmoni Hidup di Atas Endapan Danau Bandung Purb
Lokasi Kelas Lapangan
Kawasan karst Citatah itu berupa batu karang yang terbentuk 27 juta tahun yang lalu. Setelah terangkat ke permukaan bumi, batu karang ini terkena panas dan dingin malam, diguyur hujan, lalu ditumbuhi beragam pepohonan dan tumbuhan. Air meteorik akan meresap melalui akar, lalu masuk meresap hingga di kedalaman batu karang. Melalui akar-akar itulah air akan meresap ke dalam sambil melarutkan kalsium karbonat yang dilaluinya. Batu kapur yang larut akan membentuk rekah, yang berkembang menjadi rongga, yang terus membesar menjadi gua yang terus membesar. Itulah ceruk dan gua yang dapat ditinggali oleh manusia, dan menjadi rumah bagi binatang yang tinggal di langit-langit gua.
Kalsium karbonat yang menempel di langit-langit gua kemudian membentuk stalaktit selama jutaan tahun. Tetesannya yang jatuh ke lantai goa, membentuk stalagmit. Stalaktit diserap dari bahasa Yunani, stalaktos, yang bermakna tetesan keringat. Demikian juga stalagmit, diserap dari bahasa Yunani, stalagmos, yang bermakna tetesan.
Kawasan Gua Pawon atau Guha Pawon dan sekitarnya, dengan bentukan batu karang yang menarik, sangat baik menjadi lokasi penjelajahan. Kita akan menyaksikan rona bumi khas kawasan karst, baik yang ada di luar gua, di permukaan (eksokars), maupun di bawah permukaan (endokars).
Kawasan karst Rajamandala di Citatah sangat baik dijadikan kelas lapangan, karena kawasan ini mengandung sekaligus tiga nilai utama yang tinggi, yaitu nilai estetis, nilai ilmu pengetahuan, dan nilai budaya.