Nonton di Kebun, Membicarakan Respons Gerak dan Relasi Toksik di Hari Tari Sedunia
Dalam suasana akrab Nonton di Kebun, warga menonton dan mendiskusikan video art "Di Balik Bola Mata Hitammu". Sebuah ruang publik hasil kerja kolektif.
Penulis Tofan Aditya1 Mei 2023
BandungBergerak.id - Layar terpasang. Orang-orang dari berbagai usia dan latar belakang tampak asyik berkumpul dan berbincang di depan jongko-jongko yang ada. Di antara udara dingin, deru kendaraan, dan cahaya remang-remang, mereka menanti acara dimulai.
Sabtu (29/4/2023) malam itu, bertepatan dengan perayaan Hari Tari Sedunia, acara “Nonton di Kebun” kembali digelar di Jalan Tamansari No. 69 Kota Bandung. Tidak kurang dari 30 orang berkumpul untuk menyaksikan dan mendiskusikan video “Di Balik Bola Mata Hitammu” karya Teater Awal, UIN Sunan Gunung Djati.
Penampilan tari Chytra Harisbaya membuka rangkaian acara kolektif malam itu, disusul penayangan video art “Di Balik Bola Mata Hitammu” berdurasi 6 menit 35 detik. Diskusi menghadirkan Ilyas Mate sebagai sutradara dan Hany Sulistia sebagai penari dan koreografer. Seniman pantomim Wanggi Hoed sebagai moderatornya.
"Karya ini dibuat dengan bentuk penggambaran simbolik dari aktivitas gerak, emosi, dan tubuh manusia yang bisa menafsirkan pada setiap peristiwanya," kata Ilyas Mate tentang video art “Di Balik Bola Mata Hitammu”.
Respons Gerak atas Fenomena Relasi Hubungan Toksik
Euis adalah korban relasi hubungan toksik (toxic). Sebelumnya, Euis membayangkan semua hal indah bersama si calon pasangan. Lagu Panon Hideung karya Ismail Marzuki selalu Euis putar sambil mengingat rupa dari laki-laki pujaannya, sampai dia akhirnya mendapatkan pasangan yang inginkannya tersebut.
Namun bayangan tidak melulu seindah kenyataan. Setelah menjalin hubungan, Euis mendapat perlakuan kasar, baik secara verbal maupun fisik. Cekikan dan tamparan membuatnya tak bisa menahan perasaan sakit hati, amarah, dan dendam kepada pasangannya. Euis tertekan, Euis gelap mata. Berbekal pisau dapur, dia memilih melawan dan menikam pasangannya. Kisah yang bermula romantis berakhir dengan tragis.
“Beberapa hubungan pacaran banyak yang tidak sehat, yang merugikan perempuan. Jadi saya bikin bahasa geraknya,” ungkap Ilyas Mate.
Selain merespons fenomena di lingkungannya, Ilyas juga ingin mencoba mengeksplorasi sudut pandang lain dari lagu Panon Hideung karya Ismail Marzuki. Sementara itu, suasana gloomy atau dark yang dipilih sebagai penceritaan ia sebut sebagai pengaruh dari buku yang sedang dibacanya: Edgar Allan Poe.
Ilyas mengakui bahwa fokus dari video art ini adalah bagaimana cara menginterupsi dan mereduksi sebuah gerakan. Melalui video “Di Balik Bola Mata Hitammu”, ia ingin mencoba mengubah gerak realistik menjadi gerak artistik.
“Bagaimana caranya seseorang, dia bergerak lumrah, naluriah, dan alamiah selama setiap harinya, kemudian peran seni menambah satu impresi yang besar,” terang Ilyas.
Respons terhadap video tersebut disampaikan oleh Hany selaku penari dan koreografer. Perempuan berpendidikan magister di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung tersebut menyebut bahwa video tersebut memiliki banyak sekali unsur tari. Dan ketika berbicara tari, orang bukan hanya berbicara sesuatu hal yang estetis, tetapi juga kepaduannya dengan unsur-unsur lain. Gerakan-gerakan yang simpel justru memberikan kesan lebih bagi penontonnya.
Menurut Hany, tarian dapat menjadi cara seseorang untuk merespon apa yang dirasakannya. Baik itu perasaan positif, seperti sedang jatuh cinta, maupun negatif, seperti perasaan marah dan kecewa.
“Tarian itu bukan hanya sekadar si tokoh Euis ini menari kok, nggak. Tapi ada apa sih di baliknya? Kenapa dia harus menari?” tuturnya.
Menyinggung Hari Tari Sedunia, Hany berpendapat bahwa seni tari sekarang sedang berkembang pesat. Di Bandung, sanggar-sanggar seni mulai banyak bermunculan. Pengaruh media sosial mendorong semakin banyak masyarakat mulai tertarik dengan seni gerak ini.
“Bereskpresilah lewat tari, bereskpresilah lewat gerak, menurut kata hati kamu,” katanya.
Baca Juga: Nonton Film di Gang: Upaya Warga Braga Menghidupkan Gang Apandi
Harapan Terciptanya Ruang Publik yang Ramah Disabilitas dari Bioskop Harewos
Sisa Kejayaan Bioskop-bioskop Bandung
Sekilas tentang Nonton di Kebun
Berawal dari keresahan minimnya apresiasi terhadap film dan sempitnya ruang-ruang berkumpul para sineas, Dadan Hamdani dan Wanggi Hoed menggulirkan acara bertajuk “Nonton di Kebun”. Konsep yang diusung sederhana: menonton lewat layar tancap.
Bermodalkan proyektor, kain, dan sound system seadanya, teman-teman dari berbagai latar belakang berkumpul di Kebun Seni setiap dua minggu sekali, menyaksikan cuplikan film zaman dulu maupun film buatan komunitas. Dalam kesederhanaan itu, justru kehangatan menebal.
“Kita membuka ruang bagi temen-temen. Silakan mau dipakai, gow. Asalkan memang jadwalnya di-arrange dari awal agar waktunya enakeun, tidak bentrok dengan yang lain,” ucap Dadan Hamdani, ditemui selepas kegiatan oleh BandungBergerak.id.
Dadan bukan orang pertama yang membuat acara di Kebun Seni. Dulu sempat ada beberapa kegiatan, hanya saja intensitasnya menyurut seiring waktu. Apalagi setelah pagebluk datang. Tidak ada kegiatan sama sekali di tempat ini.
“Karena konsepnya, namanya dari dulu Kebun Seni, tapi asa nggak ada kesenian, asa teu pararuguh. Ga ada kegiatan gitu,” ujarnya.
Selain membuka ruang apresiasi dan berkumpul, Nonton di Kebun adalah salah satu bentuk kritik terhadap pemerintah daerah yang membuat ruang-ruang publik sulit untuk diakses. Ruang yang diciptakan secara kolektif diharapkan mampu menjadi tempat kegiatan bagi berbagai bidang seni, mulai dari tari, musik, sastra, teater, hingga bahkan film.
“Istilahnya, memberikan kontribusi apapun lah ke masyarakatnya, ke warganya. Memberikan hiburan lah intinya, yang gratis,” pungkas Dadan.