Sisa Kejayaan Bioskop-bioskop Bandung
Gedung heritage eks Bioskop Dian di jantung Kota Bandung nasibnya menghawatirkan, kumuh dan telantar. Nasib serupa dialami eks-eks bioskop Bandung lainnya.
Gedung heritage eks Bioskop Dian di jantung Kota Bandung nasibnya menghawatirkan, kumuh dan telantar. Nasib serupa dialami eks-eks bioskop Bandung lainnya.
BandungBergerak.id - Ember air dan gayung milik pedagang bakso tersimpan persis di depan monumen cagar budaya di gedung heritage eks Bioskop Dian, Jalan Dalem Kaum, Bandung, Jumat (18/3/2022). Gedung yang dibangun tahun 1923 karya Ir. Charles Prosper Wolff Schoemaker itu dulunya bernama bioskop Radio City.
Gedung bersejarah yang kini terbengkalai tak terawat ini sudah dua kali dijadikan tempat perhelatan pameran seni. Pertama di akhir tahun 2020, perupa Tisna Sanjaya menggelar pameran tunggal di sana. Salah satu tujuannya adalah untuk menyentil para pemangku kebijakan betapa gedung cagar budaya ini dibiarkan kumuh tak terawat. Keberadaan ember dan gayung yang menutupi monumen menjadi bukti kecil tentang betapa tak terawatnya gedung heritage tersebut.
Saat ini, Tisna Sanjaya dan Erik Pauhrizi kembali menggelar pameran di bekas Bioskop Dian. Pameran bertajuk “Ajeg Melampaui Diri” hasil kerja sama dengan Goethe Institut Bandung ini juga mengajak pentingnya merawat heritage di eks bioskop Dian yang lama telantar.
Berangkat dari gedung kumuh di jantung kota tersebut, BandungBergerak.id menelusuri jejak sejarah bioskop-bioskop di Bandung. Bioskop Dian jadi persinggahan pertama. Bangunan simetris penuh ornamen yang mewakili langgam arsitektur art deco ini satu-satunya bioskop tua yang tersisa di kawasan alun-Alun Bandung.
Jarak Bioskop Dian hanya beberapa langkah saja dari Pendopo Kota Bandung, tepatnya di sekitar Jalan Dalem Kaum dan Palestine Walk. Di sinilah tempat di mana bioskop pertama kali ada di Bandung sekitar tahun 1910.
Di kawasan Alun-alun Bandung dulunya ada tiga bioskop yang berdiri berderet: Elita, Varia dan Oriental. Bioskop-bioskop itu dirancang oleh arsitek F.W.Brinkman dengan gaya art-nouveau. Film Loetoeng Kasaroeng pernah diputar tahun 1926 di bioskop Elita.
Sayang, gedung-gedung ini dibongkar untuk dijadikan pusat perbelanjaan dan bioskop baru bernama Palaguna dan Nusantara. Hingga akhirnya tahun 2014 gedung ini diruntuhkan dan jadi lahan kosong yang ditumbuhi ilalang.
Berbekal panduan dari laman komunitasaleut.com, napak tilas bekas-bekas bioskop di Bandung akan dimulai dari arah barat menuju ke timur. Dari Alun-Alun Bandung, ke Braga, Kosambi, kawasan eks Pasar Cihaurgeulis di dekat Pusdai Bandung, dan berakhir di Cicadas.
Di Jalan Braga, ada eks bioskop Majestic. Sama seperti Bioskop Dian, Gedung Majestic dirancang Wolff Schoemaker tahun 1920. Semula gedung ini bernama Bioskop Concordia, bioskop paling elit kala itu. Bioskop ini terkenal dengan aturan berbau rasis: verbodden voor honder en inlander (dilarang masuk bagi anjing dan pribumi).
Masih di Braga, pernah ada bioskop bernama Helios. Saat ini gedungnya difungsikan sebagai rumah makan ayam geprek. Persis di belokan Jalan Braga dan Kejaksaan. Di ujung Jalan Braga, beberapa gedung eks bioskop masih berdiri. Braga Sky di simpang Braga Center Point, bekas bioskop President di sisi rel kereta api, dan bekas bioskop Pop di gedung Landmark Braga.
Rute selanjutnya ke Jalan Merdeka. Di seberang Mapolrestabes Bandung, pernah berdiri bioskop Vanda, kini lokasinya sudah berubah jadi Taman Vanda. Dari Taman Vanda perjalanan dilanjut ke kawasan Kosambi. Ada dua bioskop di sini. Yang pertama adalah eks bioskop Rivoli. Bangunan heritage ini sekarang berfungsi jadi Gedung Kesenian Rumentang Siang. Bioskop kedua adalah Bandung Theater yang kini sudah berubah jadi gedung Pasar Kosambi.
Dari Kosambi, perjalanan dilanjutkan ke kawasan Pusdai Bandung. Di sekitar permukiman yang dulunya jadi bagian dari area Pasar Cihaurgeulis, ada sebuah bioskop rakyat bernama Taman Warga. Bioskop ini mengusung konsep nonton film di area terbuka yang populer dengan istilah Misbar atau gerimis bubar. Bangku-bangkunya terbuat dari tembok berderet-deret. Film diproyeksikan ke dinding putih besar. Kini bangunan bioskop sudah dirobohkan dan berganti menjadi sebuah akademi pendidikan.
Penelusuran berakhir di kawasan Cicadas. Kawasan padat penduduk ini terkenal sejak dulu sebagai pusat perdagangan dan pusat keramaian ke-2 setelah alun-alun. Ada 4 bioskop di Cicadas, yaitu Taman Hiburan, Ramayana, Cahaya, dan Nirwana. Tiga bioskop ini mengusung konsep Misbar, hanya Nirwana yang berkonsep bioskop tertutup. Nirwana jadi bioskop terakhir yang punah tergerus perubahan zaman.
Cahaya jadi bioskop pertama yang gulung tikar dan dirobohkan. Lahan eks bioskop tersebut jadi supermarket Matahari. Saat ini pusat perbelanjaan tersbut bangkrut dan terbengkalai. Eks bioskop Ramayana dan Taman Hiburan masih ada lahannya. Ramayana jadi lahan kosong dan dibiarkan begitu saja. Sedangkan Taman Hiburan berubah jadi area parkir dan lapang futsal. Bekas-bekas keberaadaan bioskop masih bisa dilihat di Taman Hiburan.
Bidang-bidang tempat menggantung spanduk film di bagian depan gerbang masih ada, termasuk dinding raksasa putih melengkung sebagai bidang proyeksi dari film yang diputar. Sedangkan area Misbarnya sudah ditumbuhi alang-alang cukup rapat dan sebagian jadi lapang futsal. Taman Hiburan di masanya jadi bioskop Misbar paling populer di Cicadas. Areanya luas sekali, konon bisa menampung lebih dari 1.000 orang.
"Saya dulu lebih suka ke Ramayana daripada ke Taman Hiburan. Di Taman Hiburan waktu itu rawan sekali aksi kriminal, entah itu pemalakan atau perkelahian antarpenonton karena saling ejek. Di Ramayana lebih kecil tapi tidak terlalu ramai, seminggu sekalilah ke sana, atau ke Taman Warga yang lebih dekat rumah, tiketnya juga murah, lebih mahal semangkuk bakso dibanding harga tiket, hahaha,” ujar Latief (55 tahun), warga Muararajeun Lama, menceritakan pengalamannya merasakan atmosfer nonton di bioskop Misbar di akhir tahun 1980-an.
Bioskop juga seperti jadi penanda muncul atau berakhirnya sebuah era. Juga seolah jadi penentu "strata sosial masyarakat", terlihat dari lokasi, harga tiket, dan fasilitas. Juga ada seperti mewakili kultur tertentu. Industri film saat itu didominasi oleh produk film barat, India, Cina, dan lokal atau Indonesia. Masyarakat sudah paham ke bioskop mana harus pergi jika ingin nonton fim sesuai 4 kriteria tadi.
Masih banyak sebenarnya bioskop-bioskop di Bandung di masa lalu. Ada Apollo di Banceuy, Alhambra di Suniaraja, Orion di Kebonjati, Luxor di Sudirman, atau bioskop Rex di Jalan Merdeka yang kini jadi bagian dari Universitas Katolik Parahyangan.
Sebagian besar sudah punah alias dirobohkan atau beralih fungsi jadi unit usaha lain karena usaha bioskop tak lagi menguntungkan. Sebagian kecil lainnya masih berdiri megah karena status cagar budaya. Sebagian lagi berstatus cagar budaya tapi merana dan tak terawat.
Teks dan Foto: Prima Mulia
COMMENTS