Harapan Terciptanya Ruang Publik yang Ramah Disabilitas dari Bioskop Harewos
Bioskop Harewos sebagai acara langka bagi teman-teman netra, di saat fasilitas-fasilitas publik di Bandung yang belum ramah pada penyandang disabilitas.
Penulis Reza Khoerul Iman31 Maret 2022
BandungBergerak.id – Suara para pembisik memenuhi ruangan bioskop Museum Gedung Sate, Bandung, Rabu (30/3/2022). Tidak seperti suasana bioskop pada umumnya yang sunyi dan tenang selama pemutaran film, di bioskop berkapasitas 35 orang itu ada 10 pasangan penonton yang sibuk berbisik satu sama lain, membicarakan alur penceritaan dalam film.
Mereka yang saling berbisik selama dua jam tersebut adalah teman netra dan teman bisik, fasilitator yang bertugas memberikan gambaran tentang film yang mereka tonton kepada teman netra.
Tak jarang perbincangan mereka menuai gelak tawa dan senda gurau yang memecahkan kecanggungan. Kemudian di saat film berada pada momen yang menyedihkan, mereka turut bersedu, merasakan kesedihan yang terjadi di dalam film. Para teman netra seakan melihat bagaimana setiap detik kejadian yang terjadi dalam film saat didampingi oleh teman bisik. Bahkan kebanyakan orang yang turut hadir pada acara itu merasakan bahwa para teman netra seakan melihat adegan demi adegan di dalam film.
Sepuluh pasang teman netra dan teman baik tersebut bagian dari acara yang digelar Museum Penerangan (Muspen) terkait Hari Film Nasional: Festival Film Muspen, yaitu nonton bareng bersama Bioskop Harewos (bioskop berbisik). Film yang disuguhkan kepada para teman netra berjudul “Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan”.
“Acara ini merupakan event yang digelar oleh Muspen berkolaborasi dengan Bioskop Harewos dan Museum Gedung Sate sebagai penyedia tempat,” ucap Dika, Direktur Bioskop Harewos kepada BandungBergerak.id.
Acara kali ini juga menjadi kegiatan pemutaran Bioskop Harewos yang perdana pada tahun pagebluk, setelah sebelumnya sempat vakum akibat wabah global. Sebagai langkah awal menggalakkan kembali acara, Bioskop Harewos X Museum Penerangan mengajak 10 teman netra untuk mendapatkan pengalaman baru menonton film sekaligus berwisata Museum Gedung Sate.
Teman netra yang mengikuti kegiatan Bioskop Harewos berada pada rentang usia remaja dewasa dan berdomisili di Bandung. Kegiatan ini melibatkan 10 relawan teman bisik yang berasal dari berbagai wilayah. Sebelumnya teman bisik ini telah melalui proses penyaringan yang cukup ketat.
Dalam pelaksanaan Bioskop Harewos, seorang teman netra dipasangkan dengan seorang teman bisik yang berperan sebagai pendamping kegiatan sekaligus narator visualisasi tayangan dari film. Teman bisik juga mesti memandu teman netra saat bertamasya ke Museum Gedung Sate.
Salah satu pasangan pada kegiatan tersebut, Pandu (33) dan Adika (22), turut merasakan keseruan acara nonton film dan tur di Museum Gedung Sate. Bagi Pandu ini menjadi yang ketiga kalinya ia mengikuti acara Bioskop Harewos. Sementara bagi Adika kegiatan ini merupakan pengalaman kedua kalinya menjadi teman bisik.
“Kegiatan ini membantu kami sebagai teman netra dalam menonton film. Jadi kami tidak hanya mendengar suara dari filmnya saja, akan tetapi kami juga mendapat narator visualisasi dari teman bisik yang membantu kita selama proses film dan pemanduan berlangung. Itu membantu banget, karena menurut kami (menonton film) mengandalkan suara saja tidak cukup,” ucap Pandu.
Pandu dan Adika mengaku sama-sama menikmati jalannya film Imperfect yang didirektori oleh Ernest Prakasa dan Meira Anastasia itu. Beberapa kali Pandu memejamkan matanya, berusaha untuk memahami deskripsi yang dijelaskan oleh Adika.
Film yang dirilis pada 2019 tersebut mengusung tema tentang ketidaksempurnaan melalui tokoh Rara yang memiliki tubuh gendut dan wajah yang dinilai tidak cantik. Dika menjelaskan, film ini sengaja diputar karena Bioskop Harewos berharap mampu memberikan pengalaman mengenai pesan moral yang positif pada para peserta yang terlibat, terutama para sahabat netra bahwa dengan menghargai diri sendiri, siapa saja akan dapat mengenali diri dan menunjukkan potensi terbaik versi dirinya sendiri, termasuk teman-teman difabel.
“Film ini dilatarbelakangi oleh seorang yang tidak mampu menghargai dirinya sendiri karena memiliki tubuh yang gendut dan tidak cantik. Nah, besar harapannya film ini mampu memberikan pesan moral yang positif, bahwa kita semua masih memiliki kelebihan yang lainnya,” tutur Dika.
Hal ini juga sejalan dengan misi Museum Penerangan yang ingin mengedukasi masyarakat luas bahwa film juga dapat dinikmati berbagai kalangan, tak terkecuali bagi orang yang memiliki keterbatasan penglihatan seperti yang dialami teman netra. Selain itu, kegiatan ini bertujuan untuk mempererat komunikasi bersama komunitas dan juga insan permuseuman.
Baca Juga: Titik Chaos: Resurrection, Kebangkitan Seni Ilustrasi Hitam Putih Bandung setelah Dua Tahun Pandemi
Poin-poin PPKM Level 3 Kota Bandung selama Ramadan, Mengatur Tarawih hingga Tempat Hiburan
Bandung Darurat Sampah, Desentralisasi Pengelolaannya Jadi Kunci
Menciptakan Ruang Ramah Disabilitas
Hingga hari ini beberapa fasilitas publik di Kota Bandung masih belum ramah terhadap penyandang disabilitas. Tidak sedikit orang yang masih belum memiliki kesadaran dan simpati terhadap para difabel.
Hal ini dirasakan Pandu ketika ia hendak pergi dari Cimahi menuju GOR Pajajaran untuk latihan atletik. Ia berangkat sendirian menggunakan angkot dari Cimahi, namun ia mengaku cukup kesulitan karena tidak tahu angkot mana dan jurusan apa yang ia berhentikan. Oleh karenanya ia berharap kesadaran orang terhadap orang difabel mesti ditanamkam.
“Kegiatan saya sekarang menjadi atlet lempar dan itu sudah saya jalani sejak tahun 2018. Biasanya saya latihan di GOR Pajajaran. Nah, kendala yang didapat itu ketika saya mau cari angkot, kadang suka sulit. Waktu naik angkotnya pun kalau tidak minta tolong orang mungkin tempat yang saya tuju bisa kelewat,” tutur Pandu.
Namun Pandu juga cukup mengapresiasi pada beberapa daerah di Kota Bandung yang sudah ramah terhadap disabilitas, seperti guide block di trotoar, meski kadang di tengahnya masih ada ada tiang listrik atau sesuatu yang menghalanginya.
Kebutuhan terhadap ruang ramah disabilitas akhirnya perlu menjadi perhatian banyak orang, terlebih pemerintah setempat. Oleh karenanya hadirnya komunitas yang konsen pada isu disabilitas dan membantu kebutuhan para difabel memang diperlukan.
Hadirnya Bioskop Harewos sejak 2017 juga memberikan dampak yang cukup baik. Hal tersebut dirasakan oleh Adika yang wawasan dan simpatinya terhadap orang difabel menjadi lebih meningkat lagi. Ia berharap orang lain juga semakin lebih peka dan turut menciptakan ruang yang lebih ramah disabilitas.
Melalui kegiatan tur Museum Gedung Sate dan nonton bareng ini juga muncul asa bahwa setiap ruang dan fasilitas publik menjadi ramah disabilitas. Sehingga ruang-ruang publik bisa dinikmati bersama oleh teman difabel maupun masyarakat umum. Lebih dari itu, ruang publik yang ramah disabilitas akan membantu mereka dalam berinovasi dan berkreasi tanpa terhambat oleh keterbatasan.