• Berita
  • Bandung Darurat Sampah, Desentralisasi Pengelolaannya Jadi Kunci

Bandung Darurat Sampah, Desentralisasi Pengelolaannya Jadi Kunci

Kota Bandung disarankan lebih serius lagi memprioritaskan kebijakan desentrasalisasi pengelolaan sampah. Kuncinya ada di pemilahan sejak dari sumber.

Petugas di atas gerobak sampah Pasar Gedebage Bandung, Jawa Barat, Selasa (16/11/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul30 Maret 2022


BandungBergerak.id - Sampah masih menjadi masalah serius di Kota Bandung. Memperkuat desentralisasi pengelolaannya diyakini bakal menghasilkan perbaikan yang lebih signifikan.   

Diketahui, Kota Bandung mengirimkan sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti rata-rata 1.324 ton per hari. Selain dana besar bersumber APBD yang harus digelontorkan untuk membayar biaya pengangkutan dan biaya tipping fee, volume sampah harian yang relatif besar itu berdampak juga ke masalah sosial dan lingkungan.

Ria Ismaria, koordinator forum Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS) menyebutkan, Kota Bandung perlu segera mengubah tata kelola sampahnya. Dari sekarang sistem kumpul-angkut-buang dari hulu ke hilir menjadi sistem yang lebih ringan di tingkat hilir, yaitu melakukan penanganan sampah yang lebih ekstra dari sumbernya.

Pola desentraslisasi bukan hal baru. Sudah banyak upaya pendauran sampah yang dilakukan oleh berbagai pihak nonpemerintah, dan ini yang akan dikuatkan. Upaya ini juga dilakukan untuk mengedukasi masyarakat agar dapat membuang sampah sesuai aturan.  

“Harapannya adalah pemilahan sampah di kota Bandung lebih berbudaya. Tidak hanya kumpul-angkut-buang, tapi dengan konsep seperti ini masyarakat kota Bandung lebih memiliki budaya,” ungkap Ria Ismaria dalam konferensi pers “Menjajaki Transisi: Perjalanan Kota Bandung Menuju Zero Waste Cities” yang diselenggarakan YPBB Bandung, Selasa (29/3/2022), melalui Zoom Meeting.

BJBS sendiri adalah forum pelaku persampahan sebagai wadah kolaborasi dan komunikasi lintas sektor yang mendukung perubahan sistem pengelolaan sampah Kota Bandung. Forum ini bertujuan mewujudkan Bandung bebas sampah, sesuai dengan Rencana Induk Pengelolaan Sampah (RIPS). Salah satunya dengan menggulirkan program Kawasan Bebas Sampah (KBS).

Ria membeberkan, sejak dimulai pada tahun 2015, program KBS sudah dilaksanakan di seluruh kecamatan di Kota Bandung. Hanya saja, baru 94 kelurahan dari 151 kelurahan yang baru menjadi cikal bakal program ini. Ria menyebutkan, dari data DLHK, dari 1858 RW, baru 180 RW yang disentuh program KBS.

“Ketika melihat kecamatan kita merasa, wah udah semuanya. Tapi ketika kita melihat jumlah RW, masih jauh. Jadi effort yang harus didorong dan dilakukan oleh pemerintah kota Bandung itu memang masih diperlukan kekuatan yang besar, dan tentu saja ini perlu kolaborasi dari berbagai pihak,” jelas Ria.

Ria menambahkan, prinsip program KBS adalah desentralisasi sistem pengelolan sampah, pengubahan sistem tercampur jadi terpilah, pengurangan timbulan, kebiasaan memilah, mengolah dan memanfaatkan hasil, serta penegakan aturan-pembiayaan-lembaga partisipatif.

Baca Juga: Tiga Tahun Oded-Yana, Berkutat dengan Bom Waktu Sampah
Data 15 Permasalahan Utama di Kota Bandung 2019, Kemacetan dan Sampah Jadi Yang Paling Berat
Apa saja yang Bisa Ditabung di Bank Sampah Kota Bandung?

Studi Komparatif

Kawasan Bebas Sampah yang diinisiasi oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bandung sudah dimulai sejak tahun 2015. Pengembangan model Kota Nol Sampah (Zero Waste Cities) ini berfokus kepada is pengembangan sistem pengumpulan terpilah dan pengolaha sampahbsecara holistik (edukasi, operasional, kelembagaan, regulasi, dan pembiayaan).

Ratna Ayu Wulandari, Zero Waste Cities YPBB Kota Bandung menyampaikan, pihaknya tidak hanya melakukan edukasi kepada warga dari rumah ke rumah, tapi juga mengedukasi dan melalukan pelatihan kepada Petugas Pengumpul Sampah. Selain itu, pengembangan model ini membutuhkan infrastruktur Pengolahan Sampah, dukungan Masterplan Kelurahan dan regulasi skala kota, serta penegakan hukum.

Ratna membeberkan studi kompratif mengenai pelaksanaan Model Kangpisman di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Cihaurgeulis, Kelurahan Sukamiskin, dan Kelurahan Neglasari. Kelurahan Cihaurgeulis dan Kelurahan Sukamiskin merupakan Flagship City Model 2020-2021 dan mendapatkan intervensi dari DLH kota Bandung secara menyeluruh, dari aspek finansial dan operasional.

Sedangkan Kelurahan Neglasari memiliki insiatif sendiri  dari aspek operasional dalam pengembangan Pengolahan Sampah. “Jadi tiga kelurahan ini menjalankan rencana teknis pengolahan sampah (RTPS) yang memang sudah disusun oleh DLH untuk KBS. Jadi semua RW di kawasan kelurahan ini menjalankan pengumpulan sampah secara terpilah,” beber Ratna Ayu.

Ratna membeberkan data tingkat ketaatan rata-rata dan waste diversion. Cihaurgeulis memiliki tingkat ketaatan rata-rata mencapai 62 persen. Sedangkan dua kelurahan yang mendapatkan intervensi penuh dari DLH, Neglasari 33,96 persen dan Sukamiskin 58,42 persen. Dari waste diversion, Kelurahan Cihaurgeulis masih unggul, dengan 87,16 persen warga yang memilah sampah. Sedangkan Neglasari 43,73 persen dan Sukamiskin 50,84 persen warganya yang memilah sampah.

Ratna berefleksi dari pengembangan Kawasan Model. Menurutnya, upaya replikasi Model Operasional Pengumpulan Terpilah dan Terdesentralisasi telah dijalankan secara maksimal walaupun dampaknya belum signifikan. Dari hasil komparasi tiga kelurahan, pemerintah turut terlibat dalam inovasi pengembangan, meliputi dukungan sarana-prasarana, bantuan pendanaan operasional pengumpulan (skala kecil), pelayanan khusus untuk pengumpulan, serta menurunkan SDM khusus untuk edukasi, pengangkutan dan pengolahan. Selain itu, keunggulannya terdapat pada produk kebijakan hang selaras dengan visi Zero Waste dan pembentukan UPT Pengelolaan Sampah Kota Bandung.

Namun, menurut Ratna, inovasi pengembangan masih terlalu fokus di aspek operasional dan rentang jangka pendek. Kemudian, intervensi yang dilalukan oleh pemerintah kota Bandung di aspek operasional dan pendanaan berdampak pasa kebergantungan masyarakat terhadap insentif, ketokohan, dan pendamping. Menurutnya, jika hanya mengandalkan tenaga pendampingan dan tenaga edukasi akan sampai kapan.

Selain itu, penegakan hukum sesuai dengan Perda dan Perwal yang belum diperkuat. Dari hal tersebut, Ratna memberikan solusi bagi Kota Bandung untuk perbaikan tata kelola pengelolaan sampah secara menyeluruh, yaitu dari aspek kelembagaan, operasional, pendanaan, regulasi, hingga peran publik.

“Jadi itu yang terus kita dorong. Selain itu, tidak hanya menitikberat tanggung jawab kepada pemkot, tapi ada pelibatan atau pembagian peran dari tingkat pemkot sampai ke level kelurahan. Pemberian kewenangan kepada kelurahan sampai adanya penguatan regulasi dan penegakan aturan,” jelas Ratna.

Retno percaya, bahwa penerapan Zero Waste Cities sangat memungkinkan. Namun, menurutnya, dibutuhkan aksi bersama-sama untuk mewujudkan kota Bandung menjadi kota Bebas Sampah.

Tumpukan sampah di salah satu titik di Bandung, Jawa Barat, Selasa (9/11/2021). Setiap hari Kota Bandung menghasilkan lebih dari 1.000 ton sampah per hari. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Tumpukan sampah di salah satu titik di Bandung, Jawa Barat, Selasa (9/11/2021). Setiap hari Kota Bandung menghasilkan lebih dari 1.000 ton sampah per hari. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Pekerjaan Rumah Kota Bandung Bebas Sampah

Percepatan pengurangan sampah di kota Bandung harus dilakukan segera, sebab di tahun 2024 kota Bandung akan pindah TPA, dari Sarimukti ke Legok Nangka. Deti Yulianti dari DLH Kota Bandung menyampaikan bahwa dalam perjanjian kerjasama, Kota Bandung dibatasi pembolehan pembuangan sampah di angka 800-1.025 ton perhari. Sementara, di tahun 2024 diprediksi, jika masyarakat kota Bandung perilaku terhadap sampahnya masih seperti biasa, potensi sampah yang dihasilan mencapai 1.750 ton perhari.

“Artinya memang kota Bandung harus bersiap untuk bisa mengurangi sampah maksimum 750 ton perhari di tahun 2024. Sekarang tahun 2022, hanya dua tahun saja. Jadi kita harus bersiap diri, masyarakat dan pemerintah, serta dukungan sumber daya yang ada untuk mengurangi sampah hingga 750 ton. Posisi kita sekarang ada di 1.050 ton perhari,” beber Deti.

Selain itu, masih ada sampah-sampah kota Bandung yang belum masuk ke sistem layanan pengolahan kota. Masih ada beberapa kalangan yang lebih suka membuang sampah di lahan-lahan kosong, sehingga tidak mau membayar. Hal ini menurut Deti masih sekitar 10 persen. Sehingga, ia menyimpulkan, pr terbesar pemkot Bandung adalah membuat sistem pengumpulan sampah terintergrasi hingga ke TPA.

Di samping itu, pemerintah harus menyiapkan infrastruktur pengolahan sampah yang dapat mengolah sampah minimal 400 ton perhari. Sebab jika tidak siap, maka pada akhirnya sampah-sampah akan berakhir lagi di TPA. Namun, kondisi masyarakat yang sudah melakukan pemilahan sampah juga harus digalakkan. Karena, pengolahan sampah yang tercampur juga memakan banyak biaya.

“Intinya pemerintah tetap harus siap membangun keseimbangan. Tapi semua harus didorong. Karena jika tidak didorong, potensi Bandung lautan sampah akan terjadi di 2024 itu. Kita akan bingunh sisa sampah akan kita kemanakan. Jika itu tidak berhasil dikurangi oleh kita,” jelas Deti.

Deti juga mengakui, tantangan lainnya adalah penegakan hukum yang masih lemah. Selain itu, urusan kelembagaan yang seharusnya tidak dilakukan sentralisasi, urusan sampah dibebankan kepada DLH kota Bandung. Sehingga, pengorganisasian peran di masyarakat dan pemerintah harus dilakukan untuk menjalankan rencana dan strategi pengurangan sampah di Kota Bandung. Tantangan terakhir adalah kontinuitas program sampah yang terus belanjut. 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//