KISAH SANGKURIANG #1: Mitos atau Fakta?
Ada banyak tokoh yang telah menulis dan mengulas berbagai versi cerita Sangkuriang yang sangat lekat dengan peradaban tatar Bandung dan Lembang.

Malia Nur Alifa
Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian
20 September 2025
BandungBergerak.id – Sejak kecil saya sudah familier dengan kisah Sangkuriang, dulu itu adalah salah satu kisah sebelum tidur yang kakek ceritakan. Beranjak dewasa saya semakin penasaran, apakah kisah ini hanya mitos? Saya berasumsi mungkin karena dahulu di masa kerajaan bercorak Hindu, terdapat beberapa kasta dalam lingkup masyarakat, ada kasta Brahmana, Ksatria, dan Sudra. Kasta Sudra inilah yang “biasanya“ disamakan derajatnya dengan hewan. Jadi, ibu dari Dayang Sumbi yang merupakan babi hutan betina dan anjing hitam, suami Dayang Sumbi yang bernama si Tumang itu sebetulnya adalah manusia, hanya kasta mereka adalah Sudra yang menjadikan derajat mereka sama dengan hewan.
Dalam buku Semerbak Bunga di Bandung Raya karya sang kuncen Bandung, Bapak Haryoto Kunto, di halaman 59 hingga halaman 83 diterangkan dengan sangat terperinci satu per satu kisah Sangkuriang ini dari berbagai narasumber dan literatur yang disajikan dengan sangat apik sehingga kita akan mengerti kisah Sangkuriang sebagai mitos atau fakta. Saya akan mencoba menjabarkannya untuk para pembaca.
Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Orang Afrika Selatan di Lembang #1: Dari Koloni Boer hingga Peternakan General De Wet
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Orang Afrika Selatan di Lembang #2: Bandoengsche Melk Centrale
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Orang Afrika Selatan di Lembang #3: Luka di Ujung Senja
Bandung, Tanah Bumi Sangkuriang
Seorang budayawan yang bernama almarhum R. Machjar Angga Kusumadinata, menceritakan perihal sosok Sangkuriang kepada Pak Haryoto Kunto (dalam halaman 59). Sang budayawan mengatakan bahwa “Sangku” artinya wadah, semacam mangkok wadah nasi, sedangkan “Riyang” mengandung makna sesuatu yang indah atau tempat yang indah permai. Jadi disimpulkan Sangku Riyang ini adalah dataran tinggi Bandung.
Meskipun interpretasi PMachjar ini terasa sangat sederhana, namun tak bisa dipungkiri bahwa cerita Sangkuriang selalu dikaitkan dengan lahirnya Telaga Bandung atau Situ Hyang. Lewat untaian jaman dan abad, telaga dan situ itu kemudian susut airnya kering menjadi sebuah “wadah“ subur nan cantik yaitu Kota Bandung.
Sangkuriang dalam Polemik
Cerita Sangkuriang memang sudah sangat lekat pada kisah sejarah awal peradaban tatar Bandung dan Lembang pastinya. Tak perlu disangsikan lagi cerita ini akan terus hidup sepanjang masa, tergores dalam sukma hati sanubari dan alam pikir masyarakat tatar Sunda.
Hal ini terbukti dengan banyaknya orang yang menulis dan mengulas cerita Sangkuriang ini. Beberapa orang itu antara lain adalah T. J. Bezemer (1904), C. M. Pleyte (1913), Darmawidjaja (1942), Djajasupena (1959), Utuy T. Sontani (1959), R. M. A. Koesoemadinata (1961), Ajip Rosidi (1961), Neumann Van Padang (1971), Karwapi (1974), Richard and Sheila Bennett (1980), Misbah el Munir (1984), dan hampir semua buku panduan wisata Bandung yang tidak pernah luput untuk mencantumkan kisah Sangkuriang ini.
Kisah tentang kejadian anak lelaki jatuh cinta dan menikahi ibu kandungnya sendiri seperti kisah Sangkuriang sebetulnya bukan satu-satunya kisah yang ada. Ada kisah mitologi Yunani mengisahkan bahwa, anak dari perkawinan raja Thebe dan ratu Yocasta diramalkan kelak akan menjadi pembunuh ayahnya dan bakal mengawini ibunya sendiri, anak itu bernama Oedipus.
Kisah Sangkuriang bermula dari Maharaja Sungging Perbangkara dari kerajaan Galuh pergi berburu ke hutan Tutupan (Hutan Larangan), berserta para pengikutnya. Konon dalam pemburuannya sang raja sempat buang air kecil dalam tempurung yang tergolek di tanah.
Celeng Wayungyang, seekor babi hutan betina yang lari kepayahan, kehausan dikejar-kejar para pemburu, akibat meminum air seni sang raja, celeng Wayungyang mengandung kemudian melahirkan bayi manusia. Selang beberapa waktu kemudian raja Sungging Perbangkara datang kembali ke Hutan Larangan dan mendengar tangisan seorang bayi perempuan yang terbaring di semak belukar. Kemudian bayi perempuan itu dibawa ke istana dan diurus dengan baik, bayi perempuan itulah Dayang Sumbi.
Sejak kehadiran Dayang Sumbi, istana Galuh terus menerus ditimpa malapetaka, karena sang putri terus menerus menolak lamaran pangeran-pangeran dari pelosok negeri, lalu diputuskanlah bahwa Dayang Sumbi diasingkan ke hutan kembali sambil ditemani anjing hitam (jenis herder) yang bernama Si Tumang sambil dibekali alat menenun (kisah ini sama dengan kisah Putri Rengganis dalam novel “Cantik Itu Luka“ karya Eka Kurniawan).
Pada satu hari saat sedang asyik Dayang Sumbi menenun, jatuhlah alat tenun tersebut dan ia berkata, siapa saja yang membantunnya mengambilkan alat tenun tersebut akan dia jadikan suami. Namun apa daya ternyata yang mengambilkan alat tenun tersebut adalah Si Tumang, seekor anjing hitam.
Dari perkawinan tersebut lahirlah Sangkuriang, yang suatu hari Sangkuriang mengemban tugas dari sang ibu untuk mencarikannya hati rusa. Namun setelah mencari rusa ke mana pun ia tak menemukannya, hingga akhirnya ia membunuh Si Tumang dan menyerahkan hatinya pada sang ibu.
Betapa murkanya Dayang Sumbi ketika tahu bahwa hati yang ia bawa adalah hati Si Tumang, lalu dipukullah kepala Sangkuriang hingga berdarah keningnya. Bekas pukulan tersebut membekas menjadi tanda di kening Sangkuriang.
Sangkuriang yang marah pergi menuju matahari terbit di timur, mengembara mengelilingi dunia (versi Dr. C. W. Womser, jurnalis Belanda, pengarang buku Deie en Dertig jaren Op Java, 1944).
Berjalan di dunia yang bulat bak buah semangka membuat Sangkuriang datang kembali ke tempat semula, di mana ia melihat wanita yang sangat cantik yang ternyata itu adalah Dayang Sumbi. Singkat cerita akhirnya mereka memadu kasih dan terbelalak mata Dayang Sumbi ketika tahu dari bekas luka di kening Sangkuriang yang ternyata adalah anak kandungnya sendiri.
Sebagai siasat, diajukanlah mas kawin kepada Sangkuriang untuk membendung Sungai Citarum dalam waktu satu malam dan menyiapkan sebuah perahu. Syarat pun diterima Sangkuriang. Dengan bala bantuan dari siluman “Guriang Tujuh”, Sangkuriang kemudian membangun semuanya dalam satu malam.
Sekejap waktu yang diperlukan sehingga jadilah Situ Hiang atau Telaga Bandung dengan membendung aliran Sungai Citarum di Sanghiang Tikoro. Namun Dayang Sumbi mengambil boeh rangrang atau selandang mayang, hasil tenunannya sendiri, dikibar-kibarkan di ufuk timur seolah fajar telah tiba. Selain itu, Dayang Sumbi menyuruh para pengikutnya untuk menyalakan obor untuk menggugah ayam agar berkokok, sedangkan kaum wanitanya disuruh bersenandung gondang yang riuh sambil menumbuk padi.
Sangkuriang wirang kesiangan, gagallah cita angkara murka, lalu ia menendang perahu buatannya hingga menjadi Gunung Tangkuban Parahu. Sedangkan sisa batang pohon yang ditebang untuk membuat perahu jadilah Bukit Tunggul, adapun rangrang atau dedaunan sisa batang kayu pembuatan perahu jadilah Gunung Burangrang.
Berbagai peralatan untuk hajat perkawinan, salin rupa menjadi beberapa gunung seperti Gunung Bukit Cagak, Kukusan, Ciantalegi, Kujang, Wangi, dan Cipangasahan. Tumpukan tanah sisa bendungan berganti wujud menjadi Bukit Pasirhayam, Canung, dan Singan. Begitu pun tungku api untuk pesta perkawinan, berubah menjadi hembusan solfatara di sepanjang tepian kawah ratu.
Lalu bagaimana nasib Sangkuriang dan Dayang Sumbi? Sangkuriang mati tenggelam ditelan ombak badai. Dan Dayang Sumbi yang tak tega melihat nasib anaknya terjun ke dalam pusaran Situ Hyang yang kini menjadi Kawah Ratu.
Pertanyaan saya selalu sama, apakah kisah ini nyata, atau hanya mitos? Namun menurut Hein Buitenweg, sampai tahun 1930-an di tepi jalan Cigereleng (sekarang Jalan Moch. Toha) pada Kilometer 8 dari nol Kilometer Bandung masih dikenal sebuah kampung yang bernama Kampung Sangkuriang dengan sebuah situ tempat warga zaman itu bermain sampan. Tentang Kampung Sangkuriang ini pula telah disinggung alam buku S. A. Reitsma dan W. H. Hoogland, di buku Gids van Bandoeng en omsteken terbitan tahun 1921.
Kisah Sangkuriang memang banyak sekali mengandung “bumbu penyedap”, lalu bagaimanakah kisah lainnya yang lebih berlogika dan apakah kaitan kisah Sangkuriang yang kita kenal tadi dengan sebuah kitab yang bernama Pustakaraja Purwa? Apakah kitab ini akan memperkenalkan kita pada kisah asli dari Sangkuriang, kita simak kelanjutannya minggu depan ya.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang