TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Orang Afrika Selatan di Lembang #2: Bandoengsche Melk Centrale
Semua peternakan, terutama yang berada di utara Bandung, memutuskan untuk mendirikan koperasi susu dengan nama Bandoengsche Melk Centrale (BMC).

Malia Nur Alifa
Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian
6 September 2025
BandungBergerak.id – “Vergeer U neit dat er ingeheel Nederlandsch Oost Indie slechts een Melk centrale is, en is de Bandoengsche Melk Centrale (Anda jangan lupa bahwa di seantero nusantara ini Cuma ada satu pusat pengolahan susu, dan itu adalah Bandoengsche Melk Centrale)” - Direktur BMC 1938
Penggalan kalimat Direktur BMC tersebut dikutip dari artikel yang dituliskan sang kuncen Bandung, Bapak Haryoto Kunto berjudul “Mayat Orang Afrika di Lembang, Luka di Ujung Senja” yang terbit di Harian Umum Pikiran Rakyat, pada Minggu, 27 Mei 1990. Dalam artikel tersebut, menceritakan mengenai kiprah Peternakan General de Wet di Lembang. Peternakan yang dikelola Louis Hirschland dan si kembar Willem Gerhardus Van Zyl dan Christoffel Van Zyl berkembang menjadi peternakan percontohan, sebuah peternakan yang sehat dan tergolong pionir dalam industri susu di Hindia Belanda.
Untuk kesuksesan tersebut, Louis Hirschland dan Willem Van Zyl, masing-masing diangkat menjadi Kesatria dari Order Van Orange Nassau di tahun 1922 dan di tahun 1924. Sementara Christoffel tidak mendapatkan penghargaan tersebut karena ia tidak berada di Pulau Jawa selama periode 1905-1923, karena pulang kampung ke Afrika Selatan.
Peternakan General de Wet di Cisarua dipilih sebagai pusat perlengkapan tentara Kerajaan Belanda di Nusantara. Pihak militer mendatangkan kuda-kuda usia muda dari Sumbawa dan Australia dan kuda-kuda itu dititipkan untuk dikembangbiakkan dan merumput di peternakan tersebut. Setelah umurnya mencapai usia 3 tahun, barulah kuda-kuda tersebut dimanfaatkan oleh pihak militer Hindia Belanda yang terdekat yaitu di kawasan Garnisun Cimahi.
Jumlah kuda-kuda yang merumput di peternakan General de Wet mencapai 2 ribu ekor. Pemeliharaan kuda-kuda tersebut berakhir di tahun 1930-an, ketika pasukan militer tentara Kerajaan Belanda mulai beralih menggunakan kendaraan bermotor. Kini, di zaman kemerdekaan, kawasan Cisarua dan Parongpong masih dipakai sebagai markas kavaleri militer Indonesia.

Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Menjelajahi Lembang Bersama Walking With Nurul dan Disgiovery
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Kamsuy dan Djarkasih
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Orang Afrika Selatan di Lembang #1: Dari Koloni Boer hingga Peternakan General De Wet
Masa Keemasan Peternakan General de Wet
Sejak tahun 1920-an pangsa pasar kalangan masyarakat Eropa di Jawa makin luas untuk penjualan susu segar dan produk sampingannya seperti krim, yoghurt, mentega, butter, rum yang dihasilkan oleh peternakan General de Wet. Tak hanya itu, peternakan General de Wet juga menghasilkan berbagai sayur mayur asal Eropa seperti kentang, kol, bit dan wortel.
Sejak tahun 1920-an itu pula peternakan sapi lainnya bermunculan di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Peternakan terbesar dipegang oleh Baroe Adjak yang dikelola Ursone bersaudara yang lahir dan besar di kota Naples, Italia. Lalu peternakan kedua dipegang oleh peternakan General de Wet dan peternakan ketiga dipegang oleh peternakan Negel Mayer dan Sipko Mayer yang berada tidak jauh dari kawasan Alun-alun Lembang. Peternakan Negel Mayer ini nantinya yang bertransformasi menjadi KPSBU (Koperasi Pengolahan Susu Bandung Utara) Lembang.
Pada tahun 1930-an produksi susu segar di Tatar Bandung begitu melimpah, sehingga harga susu cenderung turun. Maka semua peternakan terutama yang berada di utara Bandung memutuskan untuk mendirikan koperasi susu dengan nama Bandoengsche Melk Centrale (BMC). Keterangan ini pun selaras dengan buku Bandoengsche Melk Centrale yang ditulis oleh sejarawan Sudarsono Katam.

Koperasi tersebut mendistribusikan susu segar pada para pelanggan dan memproses susu yang tersisa menjadi produksi sampingan seperti yoghurt, keju dan mentega. Serta membayar harga susu kepada para peternak dengan harga yang sangat pantas. Usaha mereka berkembang sangat baik, kendati masa depresi dunia menimpa di tahun 1930-1936.
Para Afrikaners di peternakan General de Wet, umumnya dianggap sebagai pahlawan perang, karena perjuangan mereka melawan tentara Inggris Raya. Mereka juga dinobatkan sebagai perintis usaha peternakan yang paling berhasil di pulau Jawa. Mereka juga dikenal sebagai keluarga baik yang selalu menolong orang yang kesusahan, sehingga orang-orang pribumi setempat yang bekerja pada mereka di peternakan General de Wet sangat sejahtera, tak tanggung-tanggung jumlah pekerja di peternakan tersebut mencapai 450 orang.
Para pekerja peternakan memanggil para Afrikaners tersebut dengan sebutan Tuan Boer. Para Tuan Boer ini pandai berbahasa Sunda, bahkan tak jarang berbaur dengan warga untuk membetulkan sarana dan prasarana umum, seperti jembatan dan jalanan yang rusak.
Willem Van Zyl meninggal tahun 1940, akhirnya Hirschland dan Joop Hischland yang meneruskan perusahaan peternakan tersebut dibantu anak lelaki Willem yang sering dipanggil Hertzog. Saat pamannya meninggal, Hertzog sedang bersekolah di MULO Bandung (sekarang SMP Negri 5 Bandung ). Hertzog sangat giat meneruskan usaha sang paman. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di Cisarua, Parongpongm dan Lembang ketimbang di Bandung. Lalu sang kembaran Willem Van Zyl, yaitu Christoffel (ayah Hertzog) meninggal akibat kanker perut pada tahun 1946.

Kemalangan datang Menjelang
Kemakmuran para peternak dari Eropa di Tatar Bandung berakhir setelah pecah Perang Dunia II. Kawasan Hindia Belanda tunduk pada Jepang pada bulan Maret 1942. Tentara Jepang saat itu menahan hampir 90 ribu orang kulit putih ke dalam kamp konsentrasi, di mana kurang lebih 13 persen dari para tawanan tersebut meninggal dunia di dalam kamp.
Pihak militer Jepang memperkenankan para peternak kulit putih dan para petani kulit putih untuk tetap meneruskan usahanya yang menghasilkan susu, daging dan aneka sayuran. Namun mereka semua dikenakan wajib lapor dan menyetorkan hasil usaha mereka dengan pajak tinggi pada para pembesar militer Jepang yang pada saat itu sedang berkedudukan di bekas hotel Tangkuban Prau di kawasan Cikole, Lembang.
Selama pendudukan Jepang itu para peternak dan petani kulit putih banyak yang kekurangan sandang bahkan pakan ternak yang layak. Selain itu mereka pun sangat kesulitan untuk memperoleh alat pengangkutan hasil peternakan dan pertanian mereka. Namun semasa pendudukan Jepang itu mereka berhasil bertahan dan hidup mereka lebih baik dari pada para kulit putih lainnya yang dimasukkan ke kamp konsentrasi.
Lalu bagaimanakah nasib peternakan kedua terbesar di Asia Tenggara ini? Apakah peternakan ini mampu terus bertahan hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan? Ataukah peternakan besar ini hancur oleh ego dari para mantan pekerjanya sendiri yang notabene warga pribumi? Lalu mengapa kisah ini disebut sebagai “Luka di Ujung Senja“ oleh sang Kuncen Bandung ?
Kita simak kelanjutan kisahnya minggu depan ya....
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang