• Kolom
  • TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Orang Afrika Selatan di Lembang #1: Dari Koloni Boer hingga Peternakan General De Wet

TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Orang Afrika Selatan di Lembang #1: Dari Koloni Boer hingga Peternakan General De Wet

Bangsa Boer dari Afrika Selatan didatangkan ke Lembang. Mengembangkan pertanian dan peternakan sapi di Lembang.

Malia Nur Alifa

Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian

Artikel Mayat Orang Afrika Selatan di Lembang di koran Pikiran Rakyat, 27 Mei 1990. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)

23 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Tulisan saya kali ini diambil dari sebuah artikel koran Pikiran Rakyat, 27 Mei 1990. Artikel ini ditulis oleh sang kuncen Bandung bapak Haryoto Kunto dalam kumpulan tulisan yang berjudul “Luka di Ujung Senja”. Artikel ini saya temukan di Toko Buku Bandung milik salah satu rekan saya, Kang Deni Rahman pada tahun 2023.

Sebelum memasuki pembahasan, saya akan ulas tentang masuknya bangsa Boer (Afrika Selatan) ke Lembang. Bangsa Boer adalah para petani dan peternak yang sangat andal. Selain itu mereka juga terkenal sebagai pemburu dan pasukan yang tangguh. Di Afrika Selatan, mereka bertempur melawan tentara Inggris, dan berhasil membunuh banyak pasukan Inggris. Saat itu banyak warga Belanda yang menaruh simpati kepada bangsa Boer ini, bahkan seorang Douwes Dekker yang terkenal dengan nama Danudirja Setiabudi ikut membela bangsa Boer di Afrika Selatan .

Singkat cerita, belasan pejuang Boer tersebut dikirim ke Hindia Belanda untuk membantu mengembangkan pertanian dan peternakan di Lembang. 15 April 1903, mereka semua tiba di Tanjung Priok, Batavia. Mereka adalah belasan pria berusia sekitar 25 hingga 30 tahun yang berperawakan tegap. Di Lembang mereka ditempatkan di wilayah dekat Alun-alun hingga kawasan barat (Cisarua dan Parongpong).

Mereka menggarap lahan yang tak terurus yang sangat luas yang hanya dipenuhi oleh ilalang. Tanah-tanah luas tersebut dipinjamkan kepada mereka selama beberapa tahun (kurang dari 10 tahun). Mereka pun wajib membayar sewa lahan tersebut, setelah mereka memperoleh laba dari usaha pertanian dan peternakan yang akan mereka jalannkan.

Koloni mereka di Lembang bernama “Vrijheidslust“ yang artinya kebebasan sebebas-bebasnya. Bagian terluas kawasan koloni tersebut sekarang ini menjadi RSJ Cisarua, Polsek Cisarua hingga Universitas Advent.

Tahun 1904, koloni “Vrijheidslust“ tersebut bubar, belasan pria tersebut terlibat perselisihan paham. Memang tabiat mereka ini agak sedikit keras, hingga mereka seperti pecah kongsi. Hanya mereka yang tekun dan berhati baja yang tetap bertahan dalam usaha peternakan dan pertanian yang dirintis di Lembang tersebut.

Akhirnya dari semua prahara tersebut lahirnya peternakan besar (apabila dihitung dari jumlah ternak, luas wilayah dan literan susu yang dihasilkan, merupakan peternakan kedua terbesar setelah Baroe Adjak) yang bernama “General DeWet “.

Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Menjelajahi Lembang Bersama Walking with Nurul
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Menjelajahi Lembang Bersama Walking With Nurul dan Disgiovery
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Kamsuy dan Djarkasih

Peternakan General De Wet

General De Wet didirikan oleh tiga orang pemuda Boer yang mampu bertahan adalah Louis Hirschland serta si kembar Willem Gerhardus Van Zyl dan Christoffel Van Zyl. Hirschland lahir di Heimheim, Westphalia, Jerman 6 Juli 1873, ia bertugas pada dinas Pasukan Komando Pegunungan Kruger selama perang Boer berlangsung di Afrika Selatan. Adapun  si kembar Van Zyl lahir di Cape Colony pada tanggal 18 Juli 1880 dan bergabung dalam kesatuan artileri dari Orange Frijstaat (maka dari itu mereka ini adalah kesayangan dari John Henrij van Blommensetin, karena merupakan petinggi militer artileri kerajaan Belanda).

Hirschland bertindak sebagai Administrator dan pimpinan usaha dari peternakan General De Wet, sedangkan si kembang Van Zyl sebagai pemelihara ternak dan dokter hewan. Pada awal tahun 1905 Christoffel Van Zyl kembali ke Afrika Selatan, sedangkan Willem Van Zyl tetap berada di Cisarua dan Parongpong, karena ia tidak memiliki uang untuk ongkos perjalanan jauh ke Afrika Selatan tersebut.

Christoffel Van Zyl menikah dengan Magdalena Maria Venter di Bloemenfontein pada tahun 1912. Christoffel Van Zyl saat itu bekerja sebagai tukang kayu di sebuah pertambangan. Namun pada 1922 terjadi pemogokan besar-besaran pada pertambangan tersebut sehingga pada tahun 1923, Christoffel dan keluarganya harus meninggalkan Afrika Selatan kembali ke Cisarua dan Parongpong melanjutkan tugasnya sebagai dokter hewan di peternakan General De Wet.

Christoffel memiliki dua orang anak perempuan cantik buah cintanya bersama Magdalena yang juga diboyong ke General De Wet.  Tahun berganti tahun Christoffel kemudian memiliki dua orang anak lainnya dari Magdalena yang lahir di Lembang ( satu laki – laki dan satu perempuan ). Sang anak lelaki satu – satunya ia beri nama Christoffel juga , namun sering dipanggil Hertzog, untuk mengenang sang Jendral dalam pertempuran Boer yang bernama jendral J.B.M. Hertzog.

Berbeda dengan Hirschland dan Willem Van Zyl yang memilih menikah dengn wanita cantik pribumi asli Cisarua yang juga keturunan menak dan berpendidikan. Hirschland memiliki dua orang anak, yang lelaki bernama Joop dan yang perempuan bernama Lize.

Para Afrikaners di peternakan General De Wet mengawali usaha dengan hanya beberapa ekor sapi saja. Mereka menggunakan sapi perah lokal dan satu sapi jantan pilihan yang diperoleh dari peternakan Baroe Adjak. Begitu mereka telah mampu mengumpulkan uang barulah mereka membeli sapi-sapi impor dari Friesland, Belanda. Selain itu mereka juga membeli sapi- sapi pemacek, tujuannya agar keturunan sapi-sapi di peternakan General De wet lebih murni untuk meningkatkan mutu dan untuk meningkatkan hasil perahan susu dari setiap ekor sapinya.

Ternyata sapi-sapi impor itu berkembang dengan sangat baik ditangan mereka bertiga, karena udara di Lembang sejuk dan dingin sehingga sangat cocok dengan sapi-sapi impor tersebut.

Peternakan General De Wet mampu menghasilkan 4.000 liter susu di setiap tahunnya, sebanyak susu yang dihasilkan di negeri Belanda. Mereka kemudian berhasil mengembangbiakan sapi-sapi impor dari Friesland, Belanda tersebut yang asalnya mereka membeli awal hanya beberapa buah sapi, hingga berhasil menjadi 2000 ekor sapi perah berkualitas baik. Sapi-sapi impor tersebut adalah sapi-sapi Friesland terbesar di pulau Jawa, yang juga dapat ditemui di peternakan Baroe Adjak.

Yang membedakan peternakan Baroe Adjak dan General De Wet dengan sapi-sapi lain di peternakan lainnya yang tersebar juga di utara Bandung dan Lembang adalah ukurannya. Sapi-sapi milik Baroe Adjak dan General De Wet adalah yang paling besar, bahkan paling besar di pulau Jawa, sehingga menobatkan kedua peternakan tersebut menjadi dua peternakan terbaik di Asia Tenggara pada saat itu (1930-an).

Lalu intrik dan tragedi kelam apa yang terjadi dibalik hingar binarnya peternakan General De wet, hingga menimbulkan istilah “Luka di Ujung Senja“, nantikan kelanjutan kisahnya minggu depan ya.  

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//