• Kolom
  • TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Kamsuy dan Djarkasih

TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Kamsuy dan Djarkasih

Kisah Kamsuy, orang Jepang satu-satunya yang tertinggal di Lembang pasca Jepang hengkang. Ada juga kisah Djarkasih, manusia sakti yang luntang-lantung di Lembang.

Malia Nur Alifa

Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian

Lanskap Lembang tahun 1920-an (Foto: Dokumentasi KITLV)

16 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Dalam riset lapangan terkadang saya menemukan banyak kisah yang di luar dugaan, salah satunya adalah dua kisah yang akan saya ceritakan. Kedua kisah ini memang tidak ada dalam data tertulis baik itu dalam situs Delpher atau dalam keterangan buku-buku penunjang lainnya. Namun, hampir sebagian besar narasumber inti saya (tempat saya “make sure“ data ), mengisahkan dua orang ini. Kisah yang pertama ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan para tentara Jepang yang tinggal di kawasan Lembang pada 1942 hingga1945.

Salah satu penggalan berita tentang keberadaan kamp Jepang di Cikole Lembang di koran Algemene Koerier tanggal 19 M aret 1946. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)
Salah satu penggalan berita tentang keberadaan kamp Jepang di Cikole Lembang di koran Algemene Koerier tanggal 19 M aret 1946. (Foto: Dokumentasi Malia Nur Alifa)

Kisah Kamsuy

Kawasan terfavorit untuk ditinggali oleh para prajurit Jepang adalah kawasan Utara Lembang, yaitu eks Hotel Tangkuban Prau dengan rumah pribadi tuan Elman yang indah dengan halaman luas, sekarang kedua objek ini telah menjadi Dodik Bela Negara dan resto Sindangreret.

Ribuan tentara Jepang tinggal di Lembang dan salah satu dari mereka adalah seorang pria yang baru berumur 20 tahunan yang merupakan salah satu dari staf, bukan tentara untuk berperang. Pria muda ini bertugas di bagian dapur umum yang berada di kawasan Pasar Ahad, Cikole, Lembang.

Orangnya gagap, kurang sigap, bahkan sering menjadi bahan lelucon sesama pasukan, sehingga warga pribumi menyebut pria tersebut dengan sebutan “ Kamsuy”, dalam bahasa slang Tionghoa saat itu artinya kampungan.

Menurut beberapa narasumber yang masih mengingat sosok Kamsuy ini menyebutkan bahwa dia adalah lelaki yang sering menyendiri, apabila berbicara tak pernah memandang mata lawan bicaranya. Terlihat paling berbeda dengan prajurit Jepang lainnya yang terkenal garang dan bengis. Entah siapa nama aslinya, namun ia pun seperti tidak dapat menolak apabila banyak warga dan kalangan prajurit Jepang lainnya yang memanggilnya Kamsuy.

Kamsuy menghabiskan hari-harinya di dapur umum, tanpa ia sadari hampir semua pasukan Jepang telah menyerah pada 1945 dan akan diberangkatkan menuju Bandung.” Entah bagaimana ia bisa sampai tertinggal”, ucap Abah Ayi, narasumber terakhir yang saya wawancarai terkait kisah si Kamsuy ini. Ada pula narasumber yang mengatakan, Kamsuy sengaja tidak mengikuti para prajurit lainnya untuk dibawa ke Bandung dan lebih memilih tinggal di Lembang karena telah memiliki istri warga lokal yang sering disebut para pekerja Baru Ajak dengan sebutan Bi Ai.

Singkat cerita Kamsuy ini tertinggal dan menjadi satu-satunya orang Jepang yang berada di Lembang saat itu. Hingga akhirnya warga membawa Kamsuy ke Kantor Dinas Sosial yang berada di Jalan Kayu Ambon, Lembang. Setelah cukup lama tinggal di Dinas Sosial, Kamsuy kabarnya telah bercerai dengan Bi Ai lalu hidup luntang-lantung hingga akhirnya pihak peternakan Baru Ajak mengambil Kamsuy sebagai salah satu pekerja kandang.

Kamsuy hidup hingga tahun 1970-an, dan meninggal di kawasan peternakan Baru ajak. Makam beliau terdapat di pemakaman umum di kawasan Pangjebolan, sebuah bukit indah tepat di barat Observatorium Bosscha.

Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Perkebunan Baroe Adjak, para Pegawai dan Permukimannya #3
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Menjelajahi Lembang Bersama Walking with Nurul
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Menjelajahi Lembang Bersama Walking With Nurul dan Disgiovery

Kisah Djarkasih

Kisah ini adalah kisah fenomenal, karena hampir semua narasumber saya mengetahui kisah ini, dari mulai sopir angkot, kusir andong, hingga penjual kue keliling tahu kisah ini. Terakhir saya mencoba bertanya kembali untuk make sure data ini pada salah satu narasumber yang telah berjualan bakso di Lembang sejak 1978, dan betul saja ia pun mengetahui informasi ini dengan keterangan yang sama dengan para narasumber lain.

Awalnya saat saya melakukan riset ditahun 2013, ketika itu kedua anak saya tengah bersekolah di salah satu sekolah dasar negeri di dalam kawasan militer Brimob Detasemen B. Sambil menunggu menjemput anak-anak sekolah, saya dan seorang teman melakukan riset hingga ke Cikole atas dan kami bertemu (almarhum) Pak Maman yang merupakan ketua Osis pertama SMP 1 Lembang yang pada saat itu masih bergabung dengan SMP PGRI Lembang dan menempati gedung sekolah yang awalnya disebut Gedong Luhur.

Kisah Djarkasih ini pertama kali saya dengar dari Pak Maman. Kisah Djarkasih pun akhirnya saya dapat secara lebih rinci dari keluarga Billy Janzs di kediaman mereka di utara Jayagiri. Secara bertahap saya mendapatkan informasi kisah Djarkasih ini, dari mulai para mantan pegawai Baru Ajak, hingga seorang Tionghoa penjual obat-obatan yang sejak lama berjualan di kawasan Pecinan.

Djarkasih adalah seorang lelaki dari kawasan Subang,  yang kemungkinan lahir tahun 1870-an. Ia  ikut membangun kawasan infrastruktur  jalan-jalan perkebunan teh hingga ke kawasan Sumedang. Karena pada saat itu kondisi keamanan kurang baik dan bisa saja mengancam nyawanya kapan pun, maka Djarkasih mempelajari ilmu Rawarontek.

Entah di mana ia mempelajari ilmu terebut, namun karena ilmu tersebut membuatnya menjadi semacam manusia sakti. Ia kebal sabetan senjata tajam dan bahkan apabila terkena tembakan pun ia tidak mati.

Hingga pada tahun 1965, di mana usia Djarkasih mencapai 100 tahun lebih, di mana masa telah merdeka, Djarkasih tua yang tak kunjung tutup usia hidup layaknya seperti orang kurang waras. Ia selalu berkeliling pecinan hingga Alun-alun dengan baju kumalnya, rambut gimbal, dan kuku yang tidak pernah dipotong sama sekali. Beberapa narasumber di lapangan pada saat itu memberikan perumpamaan wujud Djarkasih itu seperti “ jenglot dalam badan manusia”.

Lama kelamaan keberadaan Djarkasih ini sangat meresahkan, mengganggu keamanan hingga mengganggu para warga yang sedang membuka toko dan usaha di kawasan pasar dan pecinan. Karena Djarkasih ini masih menyangka bahwa negara masih dijajah dan dalam kondisi perang, hingga terkadang ia memiliki serangan panik dan menimbulkan keresahan.

Entah di mana keluarganya, namun ada sumber yang mengatakan bahwa keluarganya pun seperti angkat tangan. Hingga akhirnya pemerintah setempat dengan para pemuka agama berkumpul di Masjid Agung Lembang untuk membahas penanganan Djarkasih ini.

Hingga di satu hari di tahun 1965, sebuah keputusan pun diumumkan bahwa Djarkasih akan dieksekusi melalui serangkaian ritual adat untuk  penganut ilmu Rawarontek.

Hingga akhirnya dipenggallah kepala Djarkasih. Kepalanya ditaruh di kawasan Alun-alun Lembang (Taman Skate, sekarang) dan badannya direbus di teras SMP 1 Lembang, yang kebetulan sang Ketua Osis pertama tersebut (narasumber saya, alm. Pak Maman yang menyiapkan segala kebutuhan untuk perebusan jasad).

Hal ini dilakukan untuk menghilangkan ilmu rawarontek karena apabila badan yang bersangkutan kembali menyentuh tanah maka Djarkasih akan hidup kembali. Setelah rangkaian ritual tersebut selesai, akhirnya Djarkasih pun dimakamkan secara layak di kawasan pemakaman Cijeruk. 

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//