TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Orang Afrika Selatan di Lembang #3: Luka di Ujung Senja
Kejayaan peternakan General De Wet berakhir tak lama setelah Indonesia merdeka. Dua pendiri peternakan itu terbunuh di tengah gejolak Masa Bersiap.

Malia Nur Alifa
Pegiat sejarah, penulis buku, aktif di Telusur Pedestrian
13 September 2025
BandungBergerak.id – Kisah ini masih dari sumber yang sama dengan tulisan sebelumnya, yaitu dari sebuah tulisan di Harian Umum Pikiran Rakyat tanggal 27 Mei 1990, yang ditulis oleh sang kuncen Bandung, Bapak Haryoto Kunto.
Menurut salah satu narasumber, ketika menuliskan kisah ini untuk dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Bapak Kunto sedang tidak enak badan, namun ia terus menulis agar kisah ini dapat dipetik hikmahnya oleh semua. Begitu pula saya, ketika akan menuliskan lanjutan kisah ini (bagian 3), badan saya sedang sangat tidak baik-baik saja, namun saya harus meneruskan niat Bapak untuk menyebarkan kisah ini, agar hikmahnya dapat dipetik para pembaca semuanya.
Tatkala bala tentara Jepang menduduki kepulauan Nusantara di tahun 1942, semangat kemerdekaan di kalangan bangsa Indonesia sangat berkobar, terutama para pemudanya. Kehadiran tentara Jepang membuka peluang kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.
Para penguasa tentara Jepang mencari dukungan bangsa Indonesia dalam perang Asia Timur Raya dengan menjanjikan kemerdekaan setelah Jepang mendapatkan kemenangannya. Kemudian para tentara Jepang melatih para pemuda dengan keterampilan militer, dan “mengobarkan semangat anti penjajah”.
Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang bertekuk lutut pada sekutu, dan pada tanggal 17 Agustus 1945, pemimpin bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan. Itu terjadi tatkala vakum kekuasaan. Bala tentara Inggris yang mewakili pihak Sekutu untuk melucuti pasukan Jepang, baru datang sekitar bulan Oktober 1945. Tatkala pasukan Inggris yang disertai pasukan NICA (Belanda) mendarat, para pejuang kita memberikan banyak perlawanan terhadap pasukan itu.
Ketika Masa Bersiap atau pak Kunto sering menyebutnya dengan Masa Siap- siapan, sering sekali terjadi bentrokan bersenjata dan pada gilirannya banyak sekali para warga sipil Eropa yang jadi korban. Hingga para warga Eropa yang masih berada di dalam Kamp interniran pun tak jarang menjadi amukan dan keganasan para pemuda. Dejavu dengan keadaan bangsa akhir-akhir ini.
Beberapa orang petani dan peternak Eropa di Lembang pun merasakan hal yang sama. Kisah ini saya dapat dari beberapa narasumber yang ikut menyelamatkan para pengusaha peternakan dan pertanian Eropa tersebut, mereka membantu keluarga Ursone dan Negel menyelamatkan diri dari kepungan para warga yang didominasi para pemuda yang membawa banyak senjata tajam. Keluarga Ursone dan Negel akhirnya diamankan melalui jalur bawah tanah yang terhubung di Lembang hingga mereka berhasil diselamatkan ke Bandung bahkan ke Batavia.
Adapun para Afrikaners yang mengelola General De Wet, tetap tinggal di tempat, mereka memegang teguh kepercayaan dari para pekerja yang telah puluhan tahun bekerja pada mereka. Bahkan para pekerja itu telah mereka anggap seperti saudara.
Baca Juga: TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Kamsuy dan Djarkasih
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Orang Afrika Selatan di Lembang #1: Dari Koloni Boer hingga Peternakan General De Wet
TELUSUR SEJARAH LEMBANG: Kisah Orang Afrika Selatan di Lembang #2: Bandoengsche Melk Centrale
Nasib Memilukan
Salah satu narasumber saya Ibu Warsih, yang saat itu berusia 19 tahun. Nama Warsih sendiri adalah nama pemberian Pietro Antonio Ursone, karena kakek, ayah, serta ibunya bekerja pada Tuan John Henrij van Blommenstein di kawasan Cimahi Utara. Ibu Warsih bercerita bahwa para pemimpin perusahaan General de Wet adalah orang-orang yang sangat membumi, mereka bahkan membantu para pekerja hingga dapat hidup layak. Kurang lebih 1.000 orang penduduk lokal di Cisarua dan Parongpong pada masa itu sangat terbantu perekonomiannya berkat peternakan dan perkebunan sayur General De Wet.
Namun, nasib berkata lain. Ini merupakan kisah yang paling mengguncang bagi para kaum Boer yang tersisa di Lembang bahkan untuk bangsa Boer yang ada di tanah Jawa dan kalau boleh saya tambahkan, ini adalah kisah yang paling memilukan di barat Lembang.
Para pejuang yang didominasi para pemuda yang notabenenya adalah kebanyakan adalah pegawai dan anak dari pegawai peternakan dan perkebunan General De Wet itu sendirilah yang membantai para Afrikaners. Mereka para pemuda itu membunuh dengan biadab Louise, Joop Hirsland dan Hertrog Van Zyl pada bulan Oktober dan November 1945. Kepala tiga pemimpin peternakan dan perkebunan General De Wet ini dipenggal dan dihanyutkan ke Curug Cimahi dan Curug Anom. Anak-anak perempuan mereka yang saat itu tengah mengunjungi kapel Deetje di Baroe Adjak pun ditarik paksa dan dirudapksa hingga meninggal di sebuah tempat yang maaf tidak dapat saya ungkapkan (karena satu dan lain hal). Para warga enggan menolong dan enggan memindahkan mayatnya karena takut. Barulah pihak tentara Sekutu dibantu para Afrikaners yang tersisa (Willem Negel dan istrinya) pada saat itu menguburkan mereka semua dengan layak di kuburan Pandu, Bandung.
Upaya untuk melacak kembali sejarah kaum Boer yang terdampar di tatar Bandung sangat sulit. Di Afrika Selatan, kisah mereka pun telah dilupakan, bahkan lembaga ilmiah negeri Belanda dan kedutaan besar Belanda pun tidak banyak memperoleh data tentang peternakan dan pertanian para Boer di tatar Bandung ini.
Kisah ini adalah salah satu dari kisah terberat dalam masa meriset saya dari tahun 2009 hingga 2022, namun, dari kisah ini saya belajar banyak hal, kisah tentang menggapai impian di tanah yang jauh dari tanah kelahiran, membangun keberhasilan, welas asih dan kekerabatan, namun semua sirna oleh ego dan keserakahan semata.
Luka di ujung senja, begitulah saya dan alm Pak Haryoto Kunto menyebutnya.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Malia Nur Alifa, atau tulisan-tulisan lain tentang Sejarah Lembang