• Kolom
  • CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #12: Berita Yudha, Jejak Surat Kabar Militer di Tengah Krisis Nasional

CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #12: Berita Yudha, Jejak Surat Kabar Militer di Tengah Krisis Nasional

Berita Yudha edisi 30 Oktober 1965 bukan sekadar arsip berita, melainkan cermin bagaimana media pada masa itu diarahkan untuk memperkuat narasi negara.

Kin Sanubary

Kolektor Koran dan Media Lawas

Wajah surat kabar Berita Yudha pasca peristiwa G30S PKI. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

20 September 2025


BandungBergerak.id – Menelusuri lembaran media cetak lawas selalu membawa kita pada denyut zaman yang sarat makna. Di balik huruf-huruf yang tercetak, tersimpan jejak sejarah, pergulatan ideologi, serta suara resmi yang mewarnai perjalanan bangsa. Salah satunya hadir melalui Berita Yudha, surat kabar militer yang terbit di tengah pusaran krisis nasional pasca 1965.

Dalam pusaran sejarah, surat kabar tidak hanya merekam peristiwa, tetapi juga menjadi saksi sekaligus alat pembentuk opini. Begitu pula dengan Berita Yudha, surat kabar militer yang tampil menonjol di tengah krisis nasional pasca-Gerakan 30 September 1965.

“Nasakom, Pancasila, Manipol, Trisakti, Berdikari, Untuk Mempertinggi Ketahanan Revolusi Indonesia.” Semboyan yang tercetak di kepala halaman depan Harian Umum Berita Yudha, salah satu surat kabar yang berpengaruh pada masa genting pasca Gerakan 30 September 1965.

Berita Yudha edisi 30 Oktober 1965 memberikan gambaran jelas tentang bagaimana media cetak berfungsi sebagai alat politik sekaligus sumber informasi resmi bagi masyarakat.

Box Redaksi Berita Yudha terbitan Oktober 1965. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Box Redaksi Berita Yudha terbitan Oktober 1965. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Baca Juga: CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #9: Harian Abadi, Dua Kali Dibredel di Era Orde Lama dan Orde Baru
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #10: Jejak Koran Salemba, Suara Kritis dari Kampus Universitas Indonesia
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #11: Menyusuri Jejak Harian Suara Merdeka, Media Perekat Warga Jawa Tengah

Berita Yudha Edisi 30 Oktober 1965

Instruksi Bung Karno: Pemulihan Keamanan Dipercepat

Berita utama menyoroti arahan Presiden sekaligus Panglima Tertinggi ABRI, Sukarno, agar penyelesaian keamanan segera dipercepat. Seusai menerima laporan dari Staf KOTI, Bung Karno menginstruksikan pejabat sipil dan militer untuk menertibkan keadaan sehingga keputusan politik terakhir dapat dijalankan.

Sidang terbatas KOTI (Komando Operasi Tertinggi) di Paviliun Istana Negara berlangsung hingga larut malam, dihadiri jajaran kabinet, para panglima empat angkatan, serta tokoh penting seperti Ruslan Abdulgani, Jusuf Muda Dalam, dan Brigjen Sabur dari Resimen Cakrabirawa. Menteri Penerangan Mayjen Achmadi menyebut situasi di Jakarta dan Jawa Tengah mulai menunjukkan tanda stabil.

Komando Operasi Tertinggi, yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Soekarno, merupakan sebuah lembaga yang memiliki wewenang komando tertinggi di Indonesia pada masa itu.

Tujuh Partai Politik: “Bubarkan PKI, Itu Fakta”

Sorotan penting lainnya adalah pernyataan tujuh partai politik : PNI, NU, Katolik, Parkindo, Perti, PSII, dan IPKI yang menyatakan kesetiaan penuh kepada Presiden Sukarno sekaligus mendesak pembubaran PKI.

Frans Seda, Ketua Umum Partai Katolik, menegaskan bahwa keterlibatan PKI dalam G30S adalah fakta yang tak perlu diperdebatkan. Dukungan politik ini menjadi pijakan bagi pemerintah dalam menata langkah selanjutnya.

Fakta, Dokumen, dan Pengakuan

Berita Yudha juga menurunkan laporan tentang ditemukannya dokumen PKI oleh Kostrad, pengakuan tahanan mengenai pelatihan di Lubang Buaya, hingga kisah mata-mata yang menyamar sebagai penjual mi goreng. Rangkaian detail tersebut memperkuat framing media bahwa PKI adalah dalang G30S.

Tak hanya itu, berita mengenai “Gerakan Nasi Bungkus” dan “gelandangan gadungan” di Malang menunjukkan bagaimana aktivitas sehari-hari pun dikaitkan dengan jaringan kontra-revolusi.

Ucapan duka cita atas gugurnya Pahlawan Revolusi. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Ucapan duka cita atas gugurnya Pahlawan Revolusi. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Duka dan Instruksi Jam Malam

Di halaman lain tercatat laporan duka: 51 anggota GP Ansor di Banyuwangi gugur akibat bentrokan dengan kelompok yang disebut sebagai “teror merah kontra-revolusioner.”

Pemerintah juga mempertegas aturan jam malam untuk Jakarta dan sekitarnya, berlaku pukul 21.00-04.30 WIB. Informasi ini menjadi panduan praktis masyarakat di tengah situasi mencekam.

Ucapan Duka Cita

Bagian khusus menampilkan ucapan belasungkawa atas gugurnya tujuh Pahlawan Revolusi:

Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Letjen Anumerta Soeprapto, Letjen Anumerta M.T. Haryono, Letjen Anumerta S. Parman, Mayjen Anumerta D.I. Panjaitan,

Mayjen Anumerta Soetojo, Kapten Anumerta Pierre Tendean serta Ade Irma Suryani Nasution, putri dari Jenderal A.H. Nasution.

Ucapan duka datang dari berbagai lembaga, di antaranya: ITB, Pindad, Komando Pertahanan Udara, Corps Akmil Tangerang, Komando Proyek Industri Penerbangan, Perusahaan Pelayaran Pantai Sriwijaya Raya, PN Tambang Mas Cikotok, PN Permata Nusantara, DPP Tata Sastra, PP IKAPI, PB Gerakan Ahmadiyah Indonesia Aliran Lahore, Essence Indonesia, hingga PT Soetan Ltd.

Gugur Bunga di Taman Pahlawan

Pada Jumat pagi, 29 Oktober 1965, pemuda Indonesia yang progresif-revolusioner menggelar apel suci di Taman Pahlawan Kalibata. Dengan khidmat, mereka mengikrarkan Panca Tekad Pemuda Indonesia bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-37.

Upacara dipimpin Inspektur Upacara Brigjen Subarto, Asisten V Men/Pangad, mewakili Menteri/Panglima Angkatan Darat. Dalam pidatonya, ia menegaskan: “Perjuangan saudara adalah perjuangan kami. Jalan yang saudara tempuh adalah jalan yang akan kami tempuh.”

Setelah pembacaan Panca Tekad, upacara ditutup dengan lagu “Gugur Bunga”. Brigjen Subarto, didampingi Menteri Perindustrian Maritim Mardanus serta pejabat tinggi negara lainnya, menaburkan bunga di pusara para Pahlawan Revolusi sebagai tanda penghormatan dan duka mendalam.

Penulis memegang Berita Yudha terbitan 60  tahun silam. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)
Penulis memegang Berita Yudha terbitan 60 tahun silam. (Foto: Dokumentasi Kin Sanubary)

Membaca kembali Berita Yudha edisi 30 Oktober 1965 menghadirkan kembali suasana Indonesia enam dekade lalu: politik yang penuh ketegangan, narasi resmi negara yang dominan, serta peran media cetak sebagai corong militer dan pembentuk opini publik.

Edisi 30 Oktober 1965 dari Berita Yudha bukan sekadar arsip berita, melainkan cermin bagaimana media pada masa itu diarahkan untuk memperkuat narasi negara. Dari setiap halaman, kita dapat melihat bagaimana pers menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika politik, sekaligus jejak berharga bagi pemahaman sejarah Indonesia.

Pada akhirnya, Berita Yudha bukan hanya menyajikan berita, melainkan turut membentuk persepsi publik di masa genting itu. Membacanya kembali hari ini memberi kita kesempatan untuk memahami bagaimana media berperan sebagai saksi sejarah sekaligus instrumen kekuasaan, serta menyadarkan bahwa setiap lembar koran adalah fragmen penting dari perjalanan bangsa.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//