CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #11: Menyusuri Jejak Harian Suara Merdeka, Media Perekat Warga Jawa Tengah
Harian Suara Merdeka terus beradaptasi dengan perubahan dunia tanpa kehilangan akar sejarah dan misi awalnya: menjadi suara masyarakat Jawa Tengah.

Kin Sanubary
Kolektor Koran dan Media Lawas
13 September 2025
BandungBergerak.id – Membuka kembali halaman-halaman koran lawas ibarat menelusuri lorong waktu. Setiap edisi menyimpan denyut zaman, dari berita besar yang mengguncang dunia hingga iklan kecil yang merekam keseharian masyarakat. Kali ini, kita menengok jejak Harian Suara Merdeka, surat kabar yang sejak 1950 hadir sebagai perekat komunitas Jawa Tengah.
Suara Merdeka merupakan surat kabar harian yang lahir di tengah dinamika pasca-kemerdekaan Indonesia. Didirikan oleh H. Hetami pada 11 Februari 1950, sejak awal harian ini berperan sebagai media yang akrab dengan denyut kehidupan masyarakat Jawa Tengah.
Edisi perdana terbit di Surakarta dengan oplah sekitar 5.000 eksemplar, angka yang tergolong besar untuk masa itu. Hetami tidak bekerja sendirian, ia didampingi tiga wartawan, yakni H. R. Wahjoedi, Soelaiman, dan Retno Koestiyah. Dari Surakarta, distribusi koran ini perlahan melebar ke Kudus dan Semarang, hingga berhadapan langsung dengan kompetitor kuat seperti Sin Min.
Pada awalnya, Suara Merdeka belum memiliki percetakan sendiri. Mereka menumpang cetak di NV Handelsdrukkerij, penerbit koran Belanda De Locomotief di Jalan Kepondang, Semarang. Baru pada 1956 Hetami berhasil menghadirkan mesin cetak sendiri. Sejak itu pula Suara Merdeka beralih menjadi koran pagi, memperkuat eksistensinya di tengah masyarakat Jawa Tengah. Tonggak penting berikutnya terjadi pada Maret 1963, ketika Suara Merdeka menempati kantor baru di bekas gedung koran Belanda Het Noorden. Kehadiran kantor tetap ini menandai babak baru profesionalisme dan kemandirian.
Memasuki usia 32 tahun, pada 11 Februari 1982, tongkat estafet kepemimpinan beralih dari Hetami kepada menantunya, Budi Santoso. Serah terima itu bertepatan dengan peresmian gedung baru serta percetakan modern PT Masscom Graphy di Semarang.
Di era abad ke-21, Suara Merdeka tetap memegang identitas sebagai “Perekat Komunitas Jawa Tengah”. Sejak 2010, harian ini dipimpin oleh Kukrit Suryo Wicaksono, putra sulung Budi Santoso. Di bawah kepemimpinan generasi ketiga, Suara Merdeka terus beradaptasi dengan dunia digital tanpa kehilangan akar sejarah dan misi awalnya: menjadi suara masyarakat Jawa Tengah.

Baca Juga: CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #8: Harian Empat Lima, Jejak Nasionalisme di Era Orde Baru
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #9: Harian Abadi, Dua Kali Dibredel di Era Orde Lama dan Orde Baru
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #10: Jejak Koran Salemba, Suara Kritis dari Kampus Universitas Indonesia
Mengenang Harian Suara Merdeka Edisi 15 September 1975
Lima puluh tahun silam, halaman muka Suara Merdeka edisi 15 September 1975 menyajikan rentetan berita yang kini terasa seperti mozaik sejarah. Kabar duka datang dari Palembang, akibat jatuhnya pesawat Garuda, hingga Port Moresby yang merayakan kemerdekaan Papua Nugini. Dari Istana Negara Jakarta, suara Presiden Soeharto tentang Timor Portugis, hingga kabar dari Dallas, Amerika Serikat, mengenai ditutupnya kembali kasus pembunuhan Presiden John F. Kennedy.
Duka di Palembang: Jatuhnya F-28 “Mahakam”
Rabu pagi, 10 September 1975, kabar duka menyebar dari Palembang. Pesawat jet Fokker F-28 Mahakam milik Garuda Indonesia jatuh hanya dua menit sebelum mendarat di Bandara Talang Betutu. Cuaca berkabut dan jarak pandang terbatas membuat pesawat menabrak kebun karet di Desa Sukajadi, Gasing.
Dari 61 orang di dalam pesawat, 23 tewas, 36 luka-luka, dan 2 orang dinyatakan hilang. Seorang petani, Ny. Sulami (50 tahun), yang tengah bekerja di kebun pun turut menjadi korban ketika pesawat terbakar.
Berita ini menempati posisi utama di halaman depan Suara Merdeka. Presiden Soeharto, melalui pernyataannya di Bina Graha, menyampaikan belasungkawa sekaligus menekankan pentingnya keselamatan penerbangan. “Meski tingkat kecelakaan di Indonesia relatif rendah,” tulis koran itu, “Presiden meminta agar keselamatan penerbangan tetap menjadi perhatian.”
Timor Portugis dan Diplomasi Soeharto
Masih di halaman yang sama, Suara Merdeka menyoroti perkembangan Timor Portugis yang tengah berada di pusaran dekolonisasi. Presiden Soeharto meminta Portugal menepati kesepakatan yang telah dicapai, agar transisi berlangsung tertib. Indonesia, ditegaskan Soeharto, berhak menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara dan Pasifik.
Momentum ini berbarengan dengan pelantikan Brigjen TNI Roedjito sebagai Duta Besar RI pertama untuk Papua Nugini, negara tetangga baru Indonesia di Pasifik.
Papua Nugini: Dari Perang Panah ke Upacara Kemerdekaan
Kabar gembira datang dari Port Moresby. Suara Merdeka menulis Papua Nugini yang kerap digambarkan masih “terbelakang” dengan perang panah dan ratusan bahasa daerah, akhirnya merdeka dari Australia pada 16 September 1975.
Di Bukit Cenderawasih Emas, upacara pengibaran bendera pertama berlangsung sederhana namun penuh makna. “Mungkin sebagian besar rakyat belum sepenuhnya mengerti arti kemerdekaan,” tulis harian itu, “namun sejarah baru telah dimulai bagi bangsa Papua Nugini.”
Dari Dallas: Kasus Kennedy Ditutup Selamanya
Dari belahan dunia lain, Suara Merdeka menurunkan kabar dari Amerika Serikat. Presiden Gerald Ford menegaskan tidak ada alasan untuk membuka kembali penyelidikan pembunuhan Presiden John F. Kennedy, meski muncul tuduhan baru tentang keterlibatan FBI.
Ford, yang pernah menjadi anggota Komisi Warren, menegaskan tidak ada bukti tambahan yang dapat mengubah kesimpulan resmi: Kennedy ditembak oleh Lee Harvey Oswald, sendirian. Bagi pembaca Indonesia saat itu, berita ini seolah menjadi epilog panjang tragedi Dallas 1963.
Bioskop di Semarang, September 1975
Iklan-iklan koran menjadi jendela untuk mengintip hiburan populer masa lalu. Dari halaman Suara Merdeka, kita dapat mengetahui film-film yang diputar di bioskop-bioskop Semarang pada September 1975:
Tarsan Kota (1974): Film komedi Indonesia arahan Nawi Ismail. Dibintangi Benyamin S. sebagai Tarzan, pemuda desa yang mencoba peruntungan di kota besar. Diputar di Manggala Theatre dan Gajahmada Theatre.
99% Dead (1975): Film laga-petualangan yang disutradarai Philip Crown, dibintangi Harry Crown dan Chuck Connors. Diputar di New Bahari Theatre dan Semarang Theatre.
Love in Paris (1975): Film drama romantis karya Philip Crown, dibintangi Harry Crown dan Daisy Crown diputar di Sri Indah dan Rahayu Theatre.
Iklan-iklan ini bukan sekadar promosi film. Ia juga merekam dinamika sosial-budaya masyarakat Semarang di masa itu, membuat koran lawas bukan hanya medium berita, melainkan artefak sejarah yang hidup.

Membaca ulang Suara Merdeka edisi 15 September 1975 ibarat membuka album kenangan. Ada duka dari langit Palembang, diplomasi Indonesia di tengah arus dekolonisasi, lahirnya sebuah negara tetangga di Pasifik, hingga gema peristiwa besar dari Amerika. Setengah abad berlalu, berita-berita itu kini menjelma potret perjalanan sejarah, bukan hanya bagi Indonesia, melainkan juga dunia.
Potongan berita dan iklan dari Suara Merdeka tahun 1975 bukan hanya catatan masa lalu, melainkan juga cermin perjalanan bangsa dalam menghadapi duka, merayakan kemerdekaan, hingga menyaksikan peristiwa global. Dengan begitu, Suara Merdeka tidak sekadar menjadi koran, melainkan album ingatan kolektif yang menautkan sejarah, budaya, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Tengah.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB