• Kolom
  • MALIPIR #34: Esai di Jalan

MALIPIR #34: Esai di Jalan

Memang sebaiknya begitu dong: karyamu harus lebih besar daripada sosokmu.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Patung Multatuli membaca buku karya Dolorosa Sinaga di halaman Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, Banten. (Foto: Hawe Setiawan)

22 September 2025


BandungBergerak - Sambil menunggu kedatangan bus ulang-alik yang akan mengangkut saya dari Bandung ke Rangkasbitung, saya membaca esai Isaiah Berlin, "Tolstoy and History". Tulisan itu dicetak dalam bentuk buku saku paperback setipis 61 halaman terbitan Phoenix tahun 1978. Buku semungil ini enak sekali dibawa dalam perjalanan. Isinya sih berat: semacam refleksi filsafat sejarah yang tercermin dalam karya sastra Leo Tolstoy, khususnya Perang dan Damai.

Mobil tiba, saya terus membaca sambil bergerak. Namun, buku seperti ini ternyata tidak bisa dicerna sekaligus kayak kita melahap mi rebus. Tiap satu dua halaman saya berhenti buat mikir-mikir lagi, atau malah terus mengantuk diayun-ayun roda bus. Tak mengapa, daripada bengong teu paruguh.

Ketika mengawali esainya, seraya memetik puisi Latin, sang begawan sejarah mengatakan bahwa ada dua tipe pengarang: tipe rubah dan tipe landak. Sang rubah tahu banyak hal, sedangkan sang landak tahu hal penting. Dirimu masuk ke dalam golongan mana, lur?

Membaca Maryanah

Sesampai di Rangkasbitung, saya kontak panitia Festival Seni Multatuli. Acara baru akan dibuka petang hari di samping alun-alun. Masih banyak waktu. Saya dikasih tempat menginap di Hotel Rahaya di Jalan Leuwidamar. Di situ saya ketemu sesama pengisi materi sesi simposium: novelis Iksaka Banu, akademisi UI pensiun Sunu Wasono, akademisi dan penerjemah dari UGM Rhomadya Alfa Aimah, akademisi dari Universitas Andalas Sudarmoko, peneliti BRIN Sastri Sunarti, juga novelis Anindita S. Thayf bersama suaminya. Simposium "Sastra Hindia Belanda dan Kita" akan digelar keesokan harinya. Pada hari pertama kami dapat menyaksikan pembacaan puisi balada Rendra, "Orang-orang Rangkasbitung", oleh Butet Kertaredjasa nan hédéd pisan. Sukma Multatuli, napas Rendra, dan penghayatan Butet terasa menyatu malam itu.

Ketua Yayasan Festival Seni Multatuli Ubaidilah Muchtar, yang saya kenal sejak ia masih kuliah di UPI, juga direktur festival Niduparas Erlang, yang tidak asing buat saya, beserta kerabat kerjanya mendapat sokongan dari Bonnie Triyana, sejarawan dan anggota parlemen yang juga duduk di jajaran dewan pembina yayasan tersebut. Kali ini festival tahunan sejak 2018 ini dimeriahkan pula dengan pawai ngaréngkong, yakni menanggung ikatan padi yang menimbulkan suara ritmis, musik calung rénténg, pentas tari koromong Baduy, serta paduan suara anak-anak bersama bintang rock dan anggota parlemen Once Mekel, pertunjukan teater “Sekali Peristiwa di Banten Selatan", dan pemutaran film dokumenter "Setelah Multatuli Pergi". Selain simposium tadi, dalam featival dari 19 hingga 21 September ini ada pula diskusi bertema "Orang-orang Baru dari Banten" yang diisi oleh Hendri F. Isnaeni, pengasuh situs web sejarah historia.id, Dhianita Kusuma Pertiwi, pegiat Ruang Perempuan dan Tulisan, dan Mashuri, peneliti BRIN. Ada pula ceramah budaya filolog Aditia Gunawan dari Perpusnas RI.

Tugas saya dalam kegiatan ini adalh berbagi pembacaan atas karya sastra dalam bahasa Sunda yang terpaut pada latar kesejarahan Hindia Belanda. Saya pilih karya Suwarsih Djojopuspito (1912-1977), Maryanah (1959). Menurut hemat saya, Suwarsih adalah fenomena unik dalam sejarah sastra Sunda. Novel yang pertama kali dia tulis adalah novel berbahasa Sunda, yakni Maryanah, tapi karyanya itu tidak serta merta mendapat kesempatan untuk dipublikasikan. Novelnya yang pertama kali terbit adalah novel berbahasa Belanda, yakni Buiten Het Gareel (1940). Novel Sundanya baru bisa terbit hampir dua dasawarsa setelah publikasi novel Belandanya. Dengan kata lain, jalan yang bisa ditempuh oleh Suwarsih ke dalam sastra Hindia Belanda tampaknya lebih terbuka ketimbang jalan yang bisa dia tempuh ke dalam sastra yang mengandalkan bahasa ibunya sendiri. Uraian lengkapnya ada dalam draf makalah yang saya kirimkan kepada panitia festival.

Baca Juga: MALIPIR #33: Buku yang Disita Polisi
MALIPIR #32: Jalan Pustaka

Arca Pembaca Buku

Sayang, tidak semua acara dapat saya ikuti. Waktu yang terbatas saya manfaatkan buat melihat patung Multatuli, Saijah, dan Adinda karya Dolorosa Sinaga yang pemajangannya di ruang publik diresmikan oleh Hilmar Farid Setiadi sewaktu dia jadi Dirjen Kebudayaan. Bukan main: figurnya Multatuli, pematungnya Dolo, pejabatnya Fay. Cocok betul!

Yang paling saya senangi, di tangan Dolo, Multatuli adalah sosok yang sedang duduk bertumpang kaki sambil membaca buku. Di Indonesia, setahu saya, patung orang yang lagi membaca buku terbilang jarang, tidak sebanyak patung orang yang memanggul bedil, menghunus golok, mengepalkan tangan atau menemani macan. Buku dalam patung Dolo tampak lebih besar ketimbang tubuh Multatuli. Memang sebaiknya begitu dong: karyamu harus lebih besar daripada sosokmu.

Patung itu terletak di halaman Museum Multatuli. Tentu, saya dan beberapa teman peserta simposium masuk pula ke dalam museum, melihat-lihat citraan visual sejarah yang terdapat di situ, dari patung dada Multatuli hingga replika jejak Tarimanagara, dari buku-buku hingga film.

Pemandu kami istimewa dong: Kang Ubai, sang kepala museum. Teman yang satu ini, kalau dipikir-pikir, terbilang manusia langka. Ia guru sekolah yang suka mengayuh sepeda tapi tidak seperti Umar Bakri rekaan Iwan Fals yang terkentut-kentut sewaktu murid-muridnya rusuh. Pak Guru Ubai sanggup menghadapi beragam ujian, mulai dari pendemo yang kurang baca hingga intel negara yang kelewat curiga. Ia merintis komunitas baca di desa seraya membangun jejaring hingga terwujudnya museum. Di halaman museum dia ajak anak-anak muda membaca Max Havelaar dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, hingga tamat.

"Tuh, Kang, itu lampu merah satu-satunya di kota Rangkasbitung. Satu-satunya!" ujar Kang Ubai kepada saya sambil menunjuk ke lampu lalu-lintas di persimpangan jalan seusai menjamu kami makan sate dan sup kambing di warung nasi Ramayana.

"Oh, kota kecil yang bahagia," timpal saya sambil menyeringai.

Saya berpamitan selepas magrib. Mobil membawa saya dan tiga penumpang lainnya kembali ke Bandung dengan kecepatan tinggi. Begitu cepat, tidak seperti esai ini yang saya tulis – dengan ponsel, sambil duduk di atas jok tengah – begitu lambat.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//