• Kolom
  • MALIPIR #33: Buku yang Disita Polisi

MALIPIR #33: Buku yang Disita Polisi

Saya hanya tahu bahwa jalan terbaik menghadapi buku adalah membacanya, dan kalau sempat, berbagi pengalaman membaca dengan sesama pembaca.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Cara terbaik menghadapi buku adalah membacanya. (Iustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

14 September 2025


BandungBergerak - Saya baru memesan buku Negeri Pelangi karya Ras Muhamad. Pedagangnya di luar kota. Pemesanan dilakukan secara daring. Mudah-mudahan stok aman -- tapi kalau persediaan buku habis, saya patut bergembira dong. Beragam jalan menuju buku pasti ketemu.

Kasip, memang. Buku 188 halaman itu terbit pada 2013. Saya baru sempat membaca beberapa halaman di antaranya yang dicuplik dalam Google Books. Saya kira, buku ini adalah catatan perjalanan yang layak baca dari musisi reggae Indonesia yang melawat ke Etiopia, negeri tempat tinggal ayah Bob Marley.

Saya mencari buku itu gara-gara polisi. Kata si empunya berita, setelah menuding dan menangkap Delpredo Marhaen, Direktur Yayasan Lokataru, sehubungan dengan kerusuhan September, polisi menggeledah kediaman Delpredo dan menyita sejumlah barang, di antaranya tiga buku. Dari esai Ika Ardina, "Tatkala Buku dianggap Lebih Berbahaya dari Senjata", dalam situs web Merdika.id, saya mendapat info bahwa salah satu buku yang disita itu adalah Negeri Pelangi. Segera saya cari info lebih lanjut mengenai buku itu. Dari beberapa halaman contohnya, kesan pertama saya mengatakan bahwa buku itu bagus. Itulah sebabnya saya cepat-cepat memesannya.

Karena termasuk barang yang disita oleh polisi, buku niscaya akan dijadikan "barang bukti". Namun, saya tidak tahu, apa yang mau dibuktikan oleh polisi dengan buku? Saya hanya tahu bahwa jalan terbaik menghadapi buku adalah membacanya, dan kalau sempat, berbagi pengalaman membaca dengan sesama pembaca. Apakah polisi mau membuat resensi atau bagaimana? Entahlah.

Baca Juga: MALIPIR #32: Jalan Pustaka
MALIPIR #31: Hagiografi di tengah Amuk

Zaman Gelap

Kadang timbul kesan dalam benak saya bahwa polisi di Indonesia punya kegiatan ajaib. Bayangkan, pada dasawarsa 1970-an salah satu kesibukan aparat kepolisian di Jakarta adalah menelisik naskah komik sebelum menyetujui atau melarang penerbitannya. Dengan kata lain, pada masa itu polisi jadi sejenis juru sensor bersenjata. Itu sebabnya di halaman komik terbitan kala itu, mau komik silat ataukah komik asmara, selalu tertera cap polisi, yang menunjukkan bahwa penerbitannya telah lulus sensor.

Berita tentang penyitaan buku mengingatkan saya kepada salah satu insiden dalam novel Manusia Bebas karya Suwarsih Djojopuspito. Dalam novel itu, suami istri guru dan aktivis kebangsaan Sudarmo dan Sulastri suatu hari didatangi oleh aparat PID – sejenis intel politik pada zaman kolonial – dan kaki tangannya. Di antara barang-barang yang dicurigai di rumah mereka kemudian disita adalah buku-buku. Ketika menggambarkan akhir insiden penggeledahan rumah, sang pencerita menggambarkan: "Begitulah mereka pergi, dalam dua dokar, buku-buku seperti senjata sitaan, bagaikan dalam ekspedisi ini telah direbut benteng pertahanan."

Berita semacam itu kadang membuat saya bertanya-tanya, apakah Indonesia sedang kembali ke zaman Orde Suharto, yakni zaman ketika saya masih muda dan harus sembunyi-sembunyi untuk sekadar ikut membaca Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer? Apakah Indonesia tidak mampu memerdekakan diri dari siasat represi politik zaman kolonial ketika kegiatan edukasi yang diprakarsai oleh para aktivis di luar jalur penguasa – dalam istilah Suwarsih, buiten het gareel – diledek sebagai "sekolah liar" (wilde schoolen)?

Semestinya sih Indonesia tidak kembali ke zaman gelap itu. Generasi baru, juga sikap dan pikiran baru, terus tumbuh. Medium komunikasi, juga cara berekspresi, terus berubah. Kenapa pula aparat kekuasaan di Indonesia abad ke-21 sepertinya masih mengandalkan manual kuno yang sudah terbukti sia-sia buat mengendalikan pikiran orang banyak: penangkapan dan penahanan aktivis, penggeledahan lingkungan sehari-hari mereka, dan penyitaan buku. Pikiran orang kan tidak bisa dikendalikan. Kekacauan politik di Nepal akhir-akhir ini kiranya dapat dijadikan pelajaran tersendiri: saya dengar, salah satu gejala yang melatarbelakanginya adalah pengekangan oleh penguasa atas pemakaian sejumlah platform media sosial.

Sampai sekarang saya masih terkekeh-kekeh setiap kali membaca Don Quixote [baca: Don Kihoté] karya Cervantes. Salah satu adegan lucu dalam novel abad ke-17 itu terdapat dalam bab yang dikasih tajuk "Penggeledahan Perpustakaan". Di situ Pak Pendeta, Pak Cukur, dan Neng Pengurus Rumah, yang beranggapan bahwa Sang Don jadi gila akibat banyak membaca buku, menggasak perpustakaan pribadi tuan rumah. Dalam bab yang pada dasarnya mengandung semacam resensi atas sejumlah buku itu, trio polisi pikiran tersebut memeriksa buku satu demi satu, menyisihkan sebagian, melempar ke luar jendela sebagian lainnya bahkan membakarnya di halaman. Namun, kita tahu, kegiatan sia-sia itu tidak dapat merintangi Don Quixote, beserta kawan setianya Sancho Panza, mengadakan petualangan demi petualangan yang tak terperikan.  

Begitu pula dalam novel Suwarsih yang kita singgung-singgung tadi, ada adegan yang bagi saya lucu. Salah satu buku yang dibolak-balik oleh sang polisi politik adalah sebuah cerita anak-anak tentang kehidupan para pahlawan. Kata "pahlawan" yang dipakai dalam judul rupanya cukup membuat aparat PID curiga jangan-jangan buku itu berbahaya. Lucunya, Sudarmo yang tentu saja sedang dicurigai oleh sang intel, masih sempat memberi tahu tamunya. "Buku yang dipegang itu lebih baik dikembalikan saja. Buku itu seratus persen reaksioner," ujar sang aktivis revolusioner, seakan-akan dia sedang membantu meringankan tugas sang intel dalam memilih buku.

Kalau benar salah satu buku yang disita oleh polisi dari rumah Delpredo Marhaen adalah Negeri Pelangi, saya berharap terjadi diskusi di antara para petugas seputar rincian perjalanan Ras Muhamad menelusuri sanad musik reggae hingga ke Etiopia. Format diskusinya mungkin bisa seperti diskusi di antara Pak Pendeta, Pak Cukur, dan Neng Pengurus Rumah dalam novel Cervantes. Biar tambah sedap, putarlah cakram musik yang mengabadikan lagu-lagu puitis gubahan Bob Marley. Dalam suasana musikal, barangkali Pak Polisi tergerak hatinya untuk segera membebaskan Delpredo.

 

 

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//