MALIPIR #31: Hagiografi di tengah Amuk
Jika biografi ditulis apa adanya, hagiografi ditulis ada apanya. Dengan kata lain, hagiografi adalah sejenis biografi yang diidealisasi.

Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
1 September 2025
BandungBergerak - Tadinya saya mau pergi ke Jakarta. Mas Erros Djarot, yang pada akhir 1990-an adalah pemimpin redaksi mingguan berita politik tempat saya bekerja kala itu, mau meluncurkan autobiografinya. Namun, acara yang sedianya diadakan pada 31 Agustus ini terpaksa dibatalkan.
"Kami yang turut merasakan dan berada dalam suasana batin seluruh rakyat Indonesia yang tengah berduka atas meninggalnya saudara kita Affan Kurniawan..., ... merasa perlu ... menunda (acara peluncuran buku)," bunyi surat pemberitahuan dari panitia yang diteken oleh Mas Erros dan Cak M. Anis.
Saya adalah bagian dari puluhan juta orang yang menyaksikan adegan keji itu: kurir muda Affan Kurniawan bin Zulkifli (2004-2025) dilindas mobil polisi. Ketika video beberapa detik yang merekam suasana demonstrasi 28 Agustus di Jakarta itu beredar saya sedang berada di perpustakaan peninggalan almarhum Kang Ajip Rosidi di Pabelan, Magelang. Dada saya terasa sesak, amarah tak tertahan. Nurustunjung!
Terlihat lagi rangkaian adegan menjengkelkan yang memantik demonstrasi menjelang gugurnya Affan: pesta pora para pembesar negara yang cicirihilan dalam perayaan Agustusan, joget-joget para anggota parlemen yang dimabuk tunjangan perumahan. Wakil Menteri Ebenezer dicokok komisi anti rasuah, dan publik melihat koleksi mobil mewah dan motor gedenya. Pada saat yang sama, nun di pelosok Sukabumi, gadis kecil Raya yang baru berumur 3 tahun digerogoti cacing pita dan tak tertolong. Pada kesan saya, tingkah polah para pembesar itu seperti kawanan cacing pita yang menggerogoti tubuh Raya. Pemerintahan Jenderal Prabowo sungguh kehilangan wibawa.
Simpati kepada Affan menyatukan semangat perlawanan. Dulur-dulur, mari kita bergerak! Semua satu suara: hayu! Dan api pun berkobar, menyampaikan amarah kolektif, menghanguskan simbol-simbol arogansi kekuasaan. Markas polisi dan gedung parlemen jadi sasaran amuk massa. Pidato presiden tak ada gunanya. Permintaan maaf Ketua DPR RI Puan Maharani dan beberapa anggota parlemen yang dikecam rakyat tak ada efeknya. Rumah Ahmad Sahroni, Eko Patrio, dan Uya Kuya dijarah massa. Tak seorang pun menyatakan mau mundur sesuai tuntutan publik atau kepatutan politik. Amuk merebak di berbagai kota, di dalam dan luar Jawa.
Indonesia sepertinya sedang memasuki bab tersendiri dalam proses penyusunan biografinya.
"Buku Proyekan"
Pembatalan acara peluncuran buku menyadarkan diri saya akan semacam momentum jeda membaca. Saya menghardik diri sendiri: marah tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Saat-saat seperti ini, ketika rakyat kembali bangkit melawan arogansi dan dekadensi penguasa, harusnya jadi saat-saat melaksanakan apa yang ditulis dan dibaca. Saya bercermin: melihat-lihat lagi, adakah yang patut dikoreksi dalam dunia baca tulis.
Lambat-laun terlintas dalam benak bahwa para pembesar yang tindak-tanduk dan tutur katanya menyinggung perasaan orang banyak, tidak muncul begitu saja. Mereka main banyak siasat, tak terkecuali dengan memanfaatkan kegiatan baca tulis. Cerita mereka masuk ke halaman buku.
Saya sependapat dengan postingan Ronny Agustinus, pencinta sastra Amerika Latin dan pendiri penerbitan Marjin Kiri, dalam Instagram. Ia mengingatkan penerbit besar seperti Kompas agar berhenti menerbitkan "buku proyekan" yang memoles wajah politisi buruk jadi seelok rembulan, seperti buku Ahmad Sahroni: Anak Priok meraih Mimpi (2013), Jokowi anti Mager, Indonesia Maju, Jalan Perubahan (2021), dan Lucunya Prabowo: Tegas, Santuy, Ikhlas, dan Senyumin aja (2023). Katanya, buku-buku seperti itu ikut "menjerumuskan Indonesia ke kondisi saat ini".
Saya tidak tahu, apakah buku-buku seperti itu mendapat sambutan yang baik dari khalayak ramai? Saya pun tidak tahu, siapa pula yang suka membacanya? Yang pasti, tidak satu pun dari buku-buku yang disebutkan tadi sempat saya baca. Masih banyak buku lain yang lebih penting buat saya.
Baca Juga: MALIPIR #30: Sebelum Dipenggal Waktu
MALIPIR #29: Cerita Proklamasi dari Sebelah Kiri
Polesan Gincu
Kisah hidup para pembesar yang sedang berkuasa, apalagi yang ditulis atas pesanan orang yang bersangkutan, sangat mungkin merosot dari biografi ke hagiografi. Biografi menampilkan manusia biasa, hagiografi mengedepankan manusia setengah dewa. Jika biografi ditulis apa adanya, hagiografi ditulis ada apanya. Dengan kata lain, hagiografi adalah sejenis biografi yang diidealisasi.
Di tengah amuk yang merebak hari ini, tatkala orang banyak tersinggung oleh para pembesar yang bertindak congkak dan berucap sembarangan sambil memamerkan kelimpahan di tengah kesulitan ekonomi orang senegeri, hagiografi para pembesar niscaya terasa palsu, berlebihan kayak gincu. Para pembesar mau dipandang dan dikenang sebagai orang baik, tapi tindak-tanduk dan ucapan mereka seperti menganulir narasinya sendiri.
Dalam demokrasi, hagiografi orang penting bisa menjebak orang banyak: ketika mencari pemimpin dan wakil rakyat, pilihan justru jatuh pada orang yang sesungguhnya tidak layak. Ketika kemudian timbul beragam kebijakan ajaib yang menyusahkan, dan orang-orang pilihan itu tindak-tanduk dan ucapannya malah menyinggung perasaan, barulah orang merasa tertipu, kecele, mangkel. Kekecewaan yang menumpuk bukan tidak mungkin jadi amuk.
Pernahkah teman-teman membanting buku yang mengecewakan? Cerita tentang crazy rich ini dan itu, yang konon bisa memotivasi orang banyak buat menggapai harapan, kisah tentang jenderal ini dan itu, yang konon sigap bertindak dan tegas berprinsip, ternyata mitos belaka. Saya merasa sedang berada di tengah para pembaca impulsif yang sama-sama mangkel ketika buku yang mereka baca ternyata tidak sekeren cover-nya.
Saya tidak tahu kapan badai berlalu. Saya hanya tahu bahwa yang saya perlukan adalah membaca biografi, bukan mengunyah hagiografi. Saya harap, pada saatnya nanti Mas Erros dan Cak Anis akan berkirim undangan lagi biar saya bisa menyimak cerita tentang manusia biasa, bukan dongeng tentang manusia setengah dewa.***
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB