• Kolom
  • MALIPIR #29: Cerita Proklamasi dari Sebelah Kiri

MALIPIR #29: Cerita Proklamasi dari Sebelah Kiri

Ketimbang disebut kenangan, buku ini kiranya lebih tepat disebut catatan kesaksian yang di dalamnya terkandung pula semacam evaluasi gerakan.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, buku karya Sidik Kertapati sedang dicetak kembali oleh Penerbit Ultimus Bandung. Akan dirilis menjelang 17 Agustus 2023. (Foto: Bilven)

17 Agustus 2025


BandungBergerak - Sosok yang mengemuka dalam foto hitam putih, kemudian ajeg jadi tugu di Pegangsaan, erat melekat pada ingatan bersama: Soekarno dan Hatta pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada 1945 keduanya sama-sama telah melewati usia 40. Dengan safari dan peci pada yang satu, jas dan kaca mata pada yang satu lagi, keduanya tampak seperti dua sosok bapak bagi republik yang baru berdiri. Di manakah para pemuda: mereka yang menggulung lengan baju, gampang naik darah, dan tak kenal kompromi? Di manakah the angry young men?

Kaum muda berderap di latar belakang peristiwa. Merekalah pencetus kata putus juga pendorong kejadian yang tak bisa ditawar-tawar lagi ketika momentumnya telah tiba, apapun risikonya. Jika kaum tua cenderung ogah-ogahan, banyak pertimbangan, sukanya berunding, atau malah bimbang, kaum mudalah yang jadi jaminan terpenuhinya tuntutan sejarah. Proklamasi kemerdekaan Indonesia, di tengah kecamuk Perang Dunia II, terjadi berkat "revolusi pemuda" -- kalau boleh saya punjam istilah yang digunakan oleh seorang Indonesianis terkemuka.

Kesan demikian timbul di benak saya ketika membaca buku Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 karya Sidik Kertapati. Buku ini terbit pertama kali pada 1957 oleh Yayasan Pembaruan, penerbit "buku-buku progresif" -- sebutan yang dipakai dalam katalognya -- di Kramat, Jakarta. Buku ini terakhir dicetak ulang pada 1964 sebelum menghilang karena terlarang. Baru pada tahun 2000 pembaca bisa memegang buku ini lagi. Terbitan yang saya baca adalah keluaran Ultimus di Bandung pada 2023.

Sebagaimana bukunya yang sempat menghilang, begitu pula penulisnya. Pak Sidik adalah salah seorang eksil. Anggota parlemen dari PKI ini pergi ke Tiongkok, kemudian ke Belanda, dan baru bisa pulang ke Indonesia setelah Jenderal Soeharto tidak lagi berkuasa. Istrinya, Bu Siti Rukiah, adalah sastrawati yang karya-karyanya, berupa novel, koleksi cerita pendek dan puisi, belakangan diterbitkan lagi, juga oleh Ultimus. Salah seorang anaknya, almarhum Kang Aga, adalah senior saya sewaktu bekerja di sebuah penerbitan buku di Jakarta. Dengan cara yang aneh, buku-buku dari kedua penulis itu jadi pengingat tersendiri akan lingkungan sehari-hari saya dulu: itulah jejak langkah ayah dan ibu rekan sekerja saya.

Catatan Kesaksian

Ketika revolusi terjadi, Pak Sidik masih muda: 25 tahun. Sebagaimana D.N. Aidit, Wikana, Chaerul Saleh, Soekarni, dan masih banyak lagi, ia turut jadi pelaku sejarah yang merentang jaringan, menggalang kekuatan, menyelenggarakan pertemuan -- singkatnya, merealisasikan "gerakan kemerdekaan". Ia adalah bagian dari "pemuda revolusioner" atau kaum "patriotik dan revolusioner" yang berpendirian bahwa "saatnya sudah tiba bagi Rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan dengan kekuatan sendiri". Ketika bukunya terbit untuk kali pertama, proklamasi kemerdekaan Indonesia baru berselang 12 tahun, masih segar dalam ingatan bersama.

Di situlah, saya kira, salah satu daya tarik buku ini: ditulis oleh pelaku sejarah dalam jarak masa yang tidak begitu lama. Ketimbang disebut kenangan, buku ini kiranya lebih tepat disebut catatan kesaksian yang di dalamnya terkandung pula semacam evaluasi gerakan. Narasinya meliputi tiga babakan: menjelang, ketika, dan setelah revolusi.

"Sejarah proklamasi perlu ditinjaun dan dikaji ulang dan perlu dilakukan penilaian mendalam terhadap siapa-siapa yang benar-benar pants disebut pejuang karena kedekatannya dengan Rakyat dan kemampuannya dalam memperjuangkan pikiran dan perasaan Rakyat," tulis Pak Sidik.

Banyak di antara rincian datanya yang tidak saya dapatkan dari buku teks di sekolah. Saya baru tahu, misalnya, bahwa dalang wayang golek terkemuka Pak Partasuanda berserta istrinya, sinden Bu Arnesah, dihina oleh penguasa gara-gara kreasi seni yang kritis terhadap fasisme Jepang. Saya pun baru tahu bahwa Angkatan Muda Bandung menyelenggarakan koferensi para ptriot dari seluruh Jawa pada Mei 1945 di Villa Isola, yang dekat dengan rumah saya. Ini juga: di malam yang genting ketika para pemuda hendak membawa Soekarno dan Hatta pergi ke luar kota buat menyiapkan proklamasi, Pak Hatta pulang dulu buat mengambil jas yang tertinggal. Tak kalah menariknya: dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada 1946 yang agendanya membicarakan masalah Indonesia, Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo duduk di pihak Belanda.

Caranya bercerita enak juga. Di bagian-bagian tertentu, tekniknya malah hampir-hampir mendekati sastra. Lihat, misalnya, rekonstruksinya atas percakapan rahasia di antara patriot dari Peta yang legendaris, Soeprijadi, dan beberapa kawan seperjuangannya pada malam menjelang pemberontakan Blitar yang dilihatnya sebagai "satu epos besar yang sangat mengagumkan dan mengharukan".

Pandangan kesejarahannya ditegaskan: "bukannya pahlawan yang membuat sejarah, tetapi sejarahlah yang menciptakan pahlawan-pahlawannya". Adapun "kondisi sejarah" dalam pandangan Pak Sidik, tidak dapat dilepaskan dari, atau bahkan identik dengan, "massa Rakyat" -- yang selalu dia tulis dengan "R" besar.

Pendirian ideologis dan politisnya ditandaskan pula. Berhadapan dengan "Imperialisme" dan "fasisme" yang mau ditentangnya, ia berdiri di barisan kaum muda yang "progresif", "revolusioner", dan "antifasis". Ada semacam garis diametral yang dia tarik hingga kubu tersebut jadi tegas bedanya dari rekan sezaman yang berpendirian atau bersikap lain lagi, terutama mereka yang berhimpun di lingkaran Sjahrir yang disebutnya "soska" (sosialis kanan).

Pada garis besarnya saya mencatat tiga uraian. Pada babakan sebelum proklamasi, tergambar resistensi kaum revolusioner terhadap fasisme Jepang, dari Rengasdengklok hingga Blitar, dari Bandung hingga Semarang. Pada babakan realisasi tekad proklamasi, tergambar dinamika kaum pergerakan untuk segera mewujudkan kemerdekaan politik berkat tenaga dan kesanggupan sendiri, bahu-membahu antara pelajar, mahasiswa, seniman, buruh, tani, dan prajurit. Akhirnya, pada babakan setelah proklamasi ada nada kecewa terhadap kecenderungan terseretnya agenda kemerdekaan ke dalam jerat "kompromi".

Baca Juga: MALIPIR #28: Belajar Membaca kepada Penulis Esai
MALIPIR #27: Bacaan Tak Ada Ujung

Buku, Gerakan, dan Perenungan

Kaum muda yang segenerasi dengan Sidik Kertapati dikatakan "cepat menjadi dewasa di bidang politik". Hal itu dimungkinkan oleh gemblengan keadaan, tuntutan zaman, dan kesanggupan menentukan nasib sendiri. Mereka sanggup menempuh berbagai jalan, mulai dari pencetakan poster hingga penyebarluasan maklumat stensilan, mulai dari kursus politik hingga perlawanan bersenjata.

Dengan membayangkan situasi para aktivis muda dalam gerakan kemerdekaan pada dasawarsa 1940-an, saya takjub betapa aktivis muda segiat Pak Sidik waktu itu masih sempat cermat mencatat dan tajam menulis. Saya beranggapan bahwa hal itu niscaya terpaut pula dengan literasi, kebiasaan baca-tulis dan tukar pikiran yang baik.

Dalam potret adegan proklamasi yang ikonik itu, misalnya, tampak dua anasir penting: lembaran teks yang dipegang dan dibacakan oleh Bung Karno dan sebuah mikrofon -- satu-satunya mikrofon, catat Pak Sidik -- yang pasti tersambung ke jaringan radio. Di bagian tertentu dalm buku ini -- saya lupa di halaman berapa -- ada disinggung-singgung kebiasaan para intelektual aktivis seperti Pak Sidik untuk membaca buku-buku yang terpaut pada gerakan sosial dan politik serta kebiasaan menganalisis perkembangan situasi geopolitik dari siaran-siaran radio gelap.

Dengan sendirinya, kedewasaan berpolitik yang ditopang literasi yang baik itu sampai ke tingkat perenungan yang mendorong semangat. Betapapun ada nada murung dalam narasi mengenai keadaan pascaproklamasi, buku Pak Sidik tetap menyurakan harapan. "Di puncak-puncak pasangnya revolusi," pungkasnya, "semakin nyata gambaran hari depan yang gemilang dan memesonakan."

Itu pun, saya kira, suara khas kaum muda.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//