• Kolom
  • MALIPIR #28: Belajar Membaca kepada Penulis Esai

MALIPIR #28: Belajar Membaca kepada Penulis Esai

Esai seperti yang ditulis oleh Montaigne bertolak dari pengalaman membaca.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Menulis bertolak dari pengalaman membaca. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

10 Agustus 2025


BandungBergerak - Beberapa kali, dalam beberapa kesempatan, saya membaca esai Michel de Montaigne (1553-1592), "Tentang Buku". Teks yang saya baca, sayang sekali, bukan dalam bahasa aslinya, melainkan dalam terjemahan Inggrisnya dari J.M. Cohen, yang terhimpun dalam Montaigne's Essays (Penguin, 1979). Saya pun membaca tulisan yang sama dalam koleksi esai terbitan Penguin belakangan, yakni Michel de Montaigne: The Complete Essays (2003) terjemahan M.A. Screech.  

Buat saya, itulah salah satu tulisan yang diperlukan buat belajar kepada para penulis masa silam seputar hidup dengan buku dan cara membaca buku. 

Namun, bukan topiknya melulu yang membuat saya tertarik. Komposisinya pun tak kurang menariknya. Inilah salah satu tulisan Montaigne yang di dalamnya dia memakai istilah essai, yakni istilah yang konon ditemukan olehnya. Dalam terjemahannya, istilah itu jadi trail (percobaan, uji coba, upaya). Pada hemat saya, tulisan Montaigne dapat dilihat sebagai contoh esai itu sendiri.

Buku hanya merupakan salah satu di antara beragam topik yang dibicarakan dalam tulisannya. Sekadar gambaran mengenai keluasan topiknya, dapat kita ingat, misalnya, topik persahabatan hingga kejahatan, pendusta hingga kanibal. Dikatakan bahwa topik tulisannya niscaya sepatutnya dibicarakan oleh ahlinya dengan mutu pembahasan yang niscaya lebih baik. 

Sang penulis sendiri mengangkat topik (menyangkut buku) itu "sekadar menjajal kesanggupan alamiah saya, bukan menjajal keterampilan hasil belajar (simply a trial of my natural faculty, and not of my acquired ones)". Tulisannya tidak dimaksudkan buat menyuguhkan informasi atau pengetahuan, melainkan dimaksudkan buat menghadirkan diri dengan mengajak pembaca berbicara tentang hal-ihwal yang melekat pada hidup sehari-hari sang penulis. 

Dengan kata lain, perspektifnya bersifat personal sehingga tulisannya dapat dikatakan sebagai biografi tematis atau, dalam kata-kata Cohen, "autobiografi yang diperluas" (extended autobiography). Sosoknya dapat dibayangkan melalui apa yang dia pikirkan. 

Baca Juga: MALIPIR #27: Bacaan Tak Ada Ujung
MALIPIR #26: Membaca Drama

Rumpun Bacaan

Kiranya selaras dengan karakteristik tulisannya, yang pada dasarnya bersifat personal, kegiatan membaca buku yang tergambar dalam esai itu ditujukan semata-mata untuk menikmati "hiburan sejati" (honest entertainment) dan melakukan refleksi: "untuk mengenal diri sendiri" (to know myself) dan mengetahui "bagaimana caranya hidup dan mati secara patut" (how to die well and to  live well).

Adapun buku yang dibacanya terbagi dua berdasarkan zamannya: buku-buku "kuna" (ancient), yakni karya para penulis zaman Romawi dan Yunani, dan buku-buku "modern" -- kiranya sekarang kita cenderung menyebutnya zaman modern awal --, misalnya karya para penulis zaman Renaissance. Pilihannya cenderung terarah ke rumpun yang disebutkan lebih dulu karena buku-buku kuna dianggap "lebih penuh dan lebih tangguh (fuller and more virile)". 

Seperti yang dikemukakan dalam catatan Screech, Montaigne menimbang buku dengan memakai kerangka penilaian dari pujangga Horace, sang penulis Arz Poetica. Pujangga zaman Romawi itu membedakan dua golongan pengarang: ada pengarang yang "sekadar menyenangkan" di satu pihak dan ada pula pengarang yang "mensenyawakan yang bermanfaat dan yang menyenangkan" (qui miscuit utile dulci) di pihak lain. Lagi pula, di samping Virgil, Lucretius, dan Catullus, Horace adalah penyair yang menduduki "peringkat pertama" dalam wawasan sang esais. 

Kebetulan prinsip "dulce et utile" sering saya temukan dalam buku-buku teks kesusastraan. Di negeri kita prinsip itu tercermin dalam semboyan majalah Tempo yang dirintis oleh jurnalis berlatar sastra: "enak dibaca dan perlu". Dengan kata lain, tulisan yang dianggap baik, setidaknya sejak zaman Romawi, adalah tulisan yang bukan hanya menyenangkan, melainkan juga bermanfaat. 

Pada abad ke-16, yakni zaman Montaigne, bahasa Prancis dan Latin merupakan bahasa yang diandalkan dalam kesusastraan dan keilmuan. Saya menduga buku-buku yang dibaca oleh sang esais adalah karya yang ditulis terutama dalam kedua bahasa itu. Dikatakan bahwa buku-buku berbahasa Yunani tidak begitu menarik perhatiannya karena masalah bahasa, kecuali barangkali karya Plutarch yang dia kagumi dan pada zamannya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Selain penulis tersebut, Seneca yang menulis dalam bahasa Latin tampaknya menduduki tempat tersendiri dalam perhatian Montaigne.  

Plutarch dan Seneca, yang hidup lebih kurang sezaman dan sama-sama jadi tutor bagi para kaisar Romawi, rupanya sangat berarti bagi Montaigne. Dari tulisan mereka berdua, sang esais "belajar menata suasana hati dan kepribadian saya" (to order my moods and character). 

Sayang, memang, bahasa Prancis dan Latin benar-benar merupakan bahasa asing dalam hidup saya, tidak seperti bahasa Inggris. Akibatnya, setiap kali Montaigne merasa perlu memetik ungkapan Latin, gerak baca saya terhenti karena saya harus melihat terjemahannya dalam catatan kaki. Itu seperti menyimak wicara orang yang bacaannya luas dan pikirannya mendalam, tapi sebentar-sebentar saya mesti memotong uraiannya dengan menanyakan arti ungkapan yang terlontar. Namun, secara umum, membaca esainya sangat menyenangkan dan rasanya bermanfaat buat saya.  

Pengalaman Membaca

Esai seperti yang ditulis oleh Montaigne bertolak dari pengalaman membaca. Terbayang oleh saya, panorama bacaannya terbentang dalam cakrawala nan luas, mulai dari Plato hingga Giovanni Boccaccio. Sang pembaca niscaya bergerak dari satu ke lain buku seperti yang tercermin dari judul-judul buku dan nama-nama pengarang yang disinggung-singgung, diulas, atau dikritik dalam esainya. 

Tentu, tidak semua buku menyenangkan. Dikatakan bahwa jika ada kesulitan dalam upaya membaca sebuah buku, dia tidak pernah membiarkan diri dan menghabiskan waktu berkutat dengan buku itu. Dia segera beralih ke dalam buku lain yang lebih cocok baginya. Pikir saya, patut juga hal ini dicatat. 

Sejumlah esai yang tergolong pendek dalam koleksi ini, kiranya dapat juga dijadikan contoh catatan dari bacaan. Isinya mencakup jalinan petikan dari karya sejumlah pengarang. Dengan kata lain, sang esais membaca sambil mencatat, dan catatannya bisa menjadi tulisan tersendiri. Membaca dan menulis terlihat saling memperkuat.

"Jika dia (Montaigne) mengutip sebuah buku, itu karena buku tersebut mengandung kesejajaran yang menarik dengan pengalamannya sendiri," ulas Cohen.  

Kalau dipikir-pikir, sedikit-banyak, sosok pribadi yang tercermin dalam perenungan Montaigne bukan hanya mengacu pada individu tertentu, yakni dirinya, melainkan juga terpaut pada manusia umumnya. Itulah, setidaknya, manusia yang membaca buku dari waktu ke waktu.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//