• Kolom
  • MALIPIR #26: Membaca Drama

MALIPIR #26: Membaca Drama

Kalaupun produksi teater di kota saya masih mahal dan langka, membaca drama saya butuhkan buat melihat dua jurang dalam hidup manusia: tragedi dan komedi.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Adegan dalam teater dengan lakon Bedol Desa Ode Tanah II garapan komunitas Celah-Celah Langit (CCL) di Gedung Taman Budaya Jawa Barat, Bandung, Rabu (5/10/2022) sore. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

26 Juli 2025


BandungBergerak - Naskah drama tersedia bukan untuk dibaca melainkan untuk dipentaskan. Saya tidak begitu anteng membaca jenis tulisan yang satu ini, seperti terombang-ambing dalam rekaman percakapan, yang lazimnya dipilah-pilah ke dalam sekian babak dan adegan. 

Waktu saya jadi penyunting, sering saya bertanya-tanya, bagaimana akalnya supaya buku drama bisa lebih menarik minat baca. Selagi main kamoceng membersihkan rak buku di rumah kami, saya merasa diingatkan bahwa jumlah buku drama dalam koleksi saya jauh lebih kecil ketimbang karangan fiksi lainnya, yakni novel, antologi cerpen, dan kumpulan puisi. 

Celakanya, di kota saya tidak saban bulan ada pementasan drama, untuk tidak mengatakan jarang sekali. Gedung kesenian sih lebih dari satu, tapi sokongan buat seni panggung rupanya kurang mantap. Walhasil, drama lebih sering saya simak di ruang baca ketimbang di gedung teater. Dengan kata lain, sayang sekali, saya tidak menonton drama, melainkan membaca drama.

Saya tidak tahu apa yang melandasi perbedaan keputusan di antara Mohamad Ambri pada 1930-an dan Asrul Sani pada 1970-an dalam kaitannya dengan drama Moliere, Le Médecin malgré lui. Mohamad Ambri mengadaptasinya ke dalam bentuk novel, yakni Si Kabayan jadi Dukun, sedangkan Asrul Sani menerjemahkan drama itu ke dalam bentuk drama juga dengan judul, Dokter Gadungan

Buat penikmat sastra, sudah pasti, novel lebih enak dibaca ketimbang drama. Uniknya, novel Ambri itu tadi sering dijadikan bahan naskah buat pementasan teater, misalnya dalam sekian kali festival drama bahasa Sunda di Bandung yang diselenggarakan oleh Teater Sunda Kiwari. Dengan kata lain, karya Ambri melayani dua keperluan: mengisi ruang baca dan menghidupkan panggung drama. 

Baca Juga: MALIPIR #25: Dari Pintu ke Pintu
MALIPIR #24: Tambah Jauh dari Tanah Rendah dan Awan

Tokoh Lakon dan Suaranya

Buat saya, membaca buku drama bukan perkara mudah. Satu-satunya pintu masuk buat mengenal kepribadian setiap tokoh lakon hanyalah dialog di antara mereka. Dialog di situ tak ubahnya dengan kutipan langsung dalam cerpen atau novel. Dari situ saya berupaya merekonstruksi emosi tiap tokoh lakon yang tercermin dari pilihan katanya, susunan ujarannya, tegangan antarkalimatnya --- pendeknya, dari suaranya. 

Kalaupun tersedia pintu lain, misalnya menyangkut latar waktu, tempat, dan peristiwa serta tindak-tanduk tokoh lakon, biasanya hal itu dideskripsikan singkat saja, tidak berkepanjangan. Sekadar contoh: di sela-sela ujaran tokoh Edmund dalam babak kedua, adegan pertama, drama King Lear terselip keterangan di antara dua tanda kurung: "[Dia mengerat tangannya]".

Walhasil, sejauh yang saya alami, membaca buku drama sering terasa seperti mendapatkan diri sedang berada di tengah-tengah percekcokan orang lain. Rasanya, tidak ada tulisan yang begitu kuat membetot perhatian pembaca ke dalam percakapan selain buku drama. Dalam situasi seperti itu saya harus mengerahkan kesanggupan berimajinasi buat merekonstruksi hal-ihwal yang terpaut pada interaksi tokoh-tokoh lakon.

Dilihat dari situ, kesanggupan sutradara memang luar biasa. Berdasarkan bahan bacaan, mereka dapat melangsungkan peristiwa di atas panggung. Adapun pembaca awam seperti saya hanya sanggup membayangkannya. Jika di gedung pertunjukan saya menyaksikan peristiwa dalam kegelapan, di ruang baca saya membayangkan rangkaian adegan dalam sinar terang. Dari naskah drama yang baik, sering terasa seakan saya sedang mendengar suara dan cara berbicara yang berlainan dari tokoh-tokoh yang terlibat dalam lakon.

Kisah dan Puisi

Kiranya tidak banyak penulis drama seperti Utuy Tatang Sontani. Naskah drama karya penulis yang satu ini dapat dibilang enak dibaca seperti halnya cerita pendek atau novel karangannya. Dalam drama Utuy, keterangan sebelum dialog antartokoh lakon bukan sekadar instruksi pementasan, melainkan juga merupakan deskripsi latar seperti yang lazim kita dapatkan dalam cerpen atau novel. 

Ambil contoh drama Sang Kuriang: Opera Dua Babak (Bhratara, 1962). Babak pertama, adegan pertama, misalnya, diawali dengan deskripsi yang kalau boleh saya Indonesiakan berbunyi demikian: "di pelataran rumah Dayang Sumbi, nun di pegunungan, yang terpencil jauh di pelosok. Selagi Dayang Sumbi asyik duduk-duduk sambil menenun dengan ditemani oleh pembantunya, tiba-tiba pekerjaannya terhenti, lantas ia melamun seperti ada sesuatu yang melintas di benaknya." 

Enak juga. Lagi pula, buku 72 halaman ini diperkaya dengan gambar ilustrasi. Tambah sedaplah membacanya. 

Dari "Kanon Barat" -- untuk meminjam istilah Harold Bloom-- saya ikut-ikutan membaca drama Shakespeare. Kali pertama membacanya, saya pusing: Apa sih yang sedang mereka bicarakan? Orang-orang seperti apa tokoh-tokoh lakon ini? Namun, saya juga takjub, seakan dibawa melayang-layang oleh bahasa tinggi. Kali kedua dan seterusnya saya jadi mafhum: bukankah justru di situ salah satu daya tariknya? Membaca drama Shakespeare tak ubahnya dengan menyimak pertukaran puisi. 

Sekadar contoh, kita kembali ke King Lear. Dalam babak pertama, adegan pertama, sang raja menyatakan "darker purpose"-nya dengan membagi kerajaan jadi tiga. Paduka meminta ketiga putrinya menyatakan cinta kasihnya. Inilah kata-kata Goneril, sang putri sulung: 

Sir, I love you than word can wield the matter.

Dearer than eyesight, space and liberty;

beyond what can be valued rich or rare;

No less than life with grace, health, beauty, honour;

As much as child e'ver loved, or father found:

A love that make breath poor, and speech unable.

Beyond all manner of 'so much' I love you.

Ujaran demikian, di telinga saya, terdengar seperti deklamasi. Pantaslah jika sebagian orang suka menghafal baris-baris dari dialog dalam drama Shakespeare. 

Buku drama, tentu saja, merupakan bagian dari khazanah kesastraan. Buat pembaca awam seperti saya, membaca karya sastra yang satu ini bisa jadi persiapan sebelum pergi ke gedung pertunjukan. Kalaupun produksi teater di kota saya masih mahal dan langka, membaca drama saya butuhkan buat melihat dua jurang dalam hidup manusia: tragedi dan komedi.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//