MALIPIR #24: Tambah Jauh dari Tanah Rendah dan Awan
"Angkatan yang akan datang tidak lagi akan membicarakan penyair-penyair Belanda. Puisi negeri ini mungkin tidak akan dipedulikan”. (Asrul Sani, 1956)

Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
14 Juli 2025
BandungBergerak.id – Sastrawan Asrul Sani (1927-2004) menghimpun sajak Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Antologi sajaknya diterbitkan dalam dua bahasa dengan judul, Tanah Rendah dan Awan, dan terbit pertama kali pada 1956.
Sajak-sajak dipetik dari karya Adriaan Roland Holst (1888-1976), M. Nijhoff (1894-1953), Paul van Ostayen (1896-1928), J.J. Slauerhoff (1898-1936), H. Marsman (1899-1940), E. Du Perron (1899-1940), Gerrit Achterberg (1905-1962), M. Vasalis (1909-1998), Bertus Aafjes (1914-1993), Hans Andreus (1926-1977), dan Remco Campert (1929-2022). Para penerjemahnya, selain Asrul sendiri, adalah Bachrum Rangkuti (1919-1977), Chairil Anwar (1922-1949), Siti Nuraini (1930-), dan Toto Sudarto Bachtiar (1929-2007).
Dalam pengantarnya, Asrul mengatakan bahwa puisi tidak termasuk acara penting dalam pergaulan Indonesia-Belanda selama ratusan tahun. Apa daya, orang Indonesia dulu belajar bahasa Belanda karena memang tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh buat mendapatkan pekerjaan kantoran. Puisi Belanda hanya dikenal di sekolah secara samar-samar sebelum terlupakan.
"Angkatan yang akan datang tidak lagi akan membicarakan penyair-penyair Belanda. Puisi negeri ini mungkin tidak akan dipedulikan. Mereka barangkali akan mengenal penyair-penyair Eropa lain, barangkali juga tidak. Barangkali mereka cuma bisa bicara tentang diri mereka sendiri. Ini bukan pikiran. Tapi kenyataan dan kecondongan yang diberikan oleh sejarah," tandas Asrul.
Kalau dibaca lagi sekarang, pernyataan Asrul seperti bunyi genta yang menandai berakhirnya sebuah era. Tahun 1956 hanya berselang tujuh tahun dari 1949, yakni tahun penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia dan sebelas tahun dari 1945, yakni tahun sakral bagi kemerdekaan Indonesia. Segala yang berbau Belanda, tak terkecuali puisi, niscaya lambat-laun beringsut ke masa silam.
Ada yang terasa ironis. Ikhtiar menyerap puisi Belanda ke dalam budaya Indonesia terjadi ketika fungsi sosial bahasa itu di Indonesia mulai surut. Jangankan sebagai bahasa puisi, malahan sebagai bahasa administrasi pun, bahasa itu kian hari kian tidak berlaku di sini. Atau mungkin justru karena itu, di balik pernyataan Asrul tadi, sepertinya ada harapan agar buah-buah yang baik dari pohon bahasa Belanda tetap bisa dinikmati oleh lidah Indonesia.
Musafir dan Oleh-olehnya
Diakui bahwa ikhtiar menjalin titian kultural di antara dua negeri bukan merupakan "program" yang direncanakan sedemikian rupa. Antologi ini, kata Asrul, tidak ubahnya dengan cendera mata dari "seorang musafir yang berjalan ke negeri jauh dan pulang membawa benda-benda yang bagus kelihatan olehnya menurut selera dan pencerdasannya pada saat itu".
"Musafir" yang satu ini pada 1953 tinggal di Belanda lebih dari setahun lamanya, dan berkunjung ke beberapa kota di Eropa, tak terkecuali ke tempat diselenggarakannya kongres ke-25 organisasi pengarang internasional PEN. (Poets, Playwrights, Editors, Essayists, and Novelists) di Dublin.
Bersama rekan-rekannya dari Indonesia seperti Amal Hamzah, Pramoedya Ananta Toer, Siti Nuraini, Sutan Takdir Alisjahbana, Suwarsih Djojopuspito, dll., Asrul juga mengikuti Simposium Sastra Indonesia di Amsterdam pada Juni 1953. Mereka berdiskusi bersama rekan-rekan mereka dari Belanda seperti pengamat A. Teeuw, penulis Ed Hoornik, dll.
Acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Kerja sama Kebudayaan (Stichting voor de Culturele Samenwerking alias Sticusa) itu dimaksudkan buat mendiskusikan masalah-masalah yang waktu itu sedang dihadapi oleh para penulis Indonesia. Ada persepsi umum tentang "jalan buntu" setelah masyarakat Indonesia yang tadinya bergejolak di sekitar perjuangan kemerdekaan dan dinamika penyerahan kedaulatan kembali tenang, dan para pencipta seni tampaknya kembali merasa terasing. Dalam acara itu Asrul bicara soal "Kota, Desa, dan Sastra". Ia melihat adanya peluang buat menggali sumber inspirasi dalam kehidupan desa yang cenderung diabaikan oleh generasi pascaperang. (Lihat De Tijd, 19-06-1953; Java Bode, 01-07-1953; Trouw, 29-06-1953)
Baca Juga: MALIPIR #21: Tambang Sunda
MALIPIR #22: Bercerita dari Majalengka
MALIPIR #23: Sukarno dan Aidit dalam Novel
Tidak Sia-sia
Sambutan pembaca atas publikasi Tanah Rendah dan Awan kedengarannya menggembirakan. Setidaknya, dalam Medan Bahasa, majalah terbitan kementerian pendidikan buat murid sekolah lanjutan, No. 11 Tahun VI, November 1956, halaman 42-43, ada resensi Anisah Hamid yang memuji buku tersebut. Dikatakan bahwa "Asrul Sani tiada sia-sia menghimpun sajak yang diterjemahkan oleh orang-orang yang memiliki rasa kehalusan dan keindahan".
Tentu, bukannya tanpa kritik. Terjemahan Toto Sudarto Bachtiar atas larik "de wind en het grauwer weer gaan over mijn hart", menjadi "angin dan cuaca yang rawan mengelana di atas hatiku", rupanya dirasakan kurang pas. Alih-alih memilih ungkapan "di atas hati", sang pembaca merasa lebih genah dengan ungkapan "di hati". Adapun terjemahan Asrul Sani atas sajak "La Voyageuse" dinilai "terlampau terikat pada sajak asli". Di situ ungkapan "vlak voor't vertrek" diterjemahkan jadi "dekat sebelum bertolak", sedangkan sang pembaca rupanya merasa lebih pas dengan ungkapan "hampir akan bertolak".
Biar teman-teman yang belum sempat membaca buku 51 halaman ini, boleh dong di sini saya petik terjemahan Chairil Anwar atas puisi "Mirliton" karya E. Du Perron:
Kawan, jika usia kelak.
meloncar kita sampai habis-habisan
jika seluruh tubuh, pehong lagi bengkok,
hanya encok tinggal menentu kemudi,
menyerah: “Sampai sini sajalah”,
akan menyingkirkah kita bertambur bisu
mencari jalan belakang
kawan?
Ini tersurat juga bagi pengantin pilihan:
sekeras batu laun akan terkikis,
dan ini karkas, barang sewaan,
meninggalkan kita dan tidak lagi berpaling.
Cukup! Berkeras sampai gerum penghabisan
kawan.
Juga ada kabar baik. Beberapa waktu lalu saya diberi tahu oleh seorang teman dari redaksi penerbit Pustaka Jaya bahwa mereka berniat menerbitkan kembali buku ini. Kabar buruknya: saya begitu lamban menyiapkan pengantar buat buku tersebut. Apa daya, perlu banyak upaya buat mengatasi perasaan bahwa kian hari zaman saya kian jauh dari puisi-puisi Tanah Rendah.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB