MALIPIR #22: Bercerita dari Majalengka
Ada mesin, ada buku. Ada pabrik, ada Padepokan Kirik Nguyuh yang digagas dan dikelola oleh Baron Famousa dan kawan-kawan di Girimukti, Majalengka.

Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
28 Juni 2025
BandungBergerak.id – Buruh pabrik di Majalengka, yang menulis esai dan puisi di Padepokan Kirik Nguyuh, memakai dua idiom: mesin dan buku. Istilah pertama mengacu ke dalam pabrik tempat mereka bekerja saban hari. Istilah kedua mengacu ke luar pabrik tempat mereka menggali potensi diri dan berekspresi.
Karya mereka terhimpun dalam buku Antara Mesin dan Buku: Transformasi Hidup seorang Buruh Pabrik untuk Masa Depan yang lebih Baik (Ceria Space Projek, 2025). Buku 148 halaman yang juga memuat drawing ini merupakan hasil kegiatan dalam kelas menulis yang dikasih nama Buruh Majalengka Menulis (BUMM).
Di padepokan yang digagas dan dikelola oleh Baron Famousa dan kawan-kawan di Girimukti, Majalengka, sejak 2010 itu, buku tersebut didiskusikan. Saya turut omong-omong tentang buku itu bersama Wa Kijoen (Dedi Junaedi), seniman dan budayawan yang sudah lama saya kenal baik dan rumahnya tidak begitu jauh dari padepokan itu. Ia datang menggenjot sepeda lipat, sedangkan saya menumpang mobil Kang Nundang Rundagi, pegiat budaya dari Cicalengka.
Acara itu merupakan bagian dari Pameran Karya Buruh Majalengka. Kegiatan berlangsung sepekan, dan di dalamnya terpajang drawing, lukisan, dan lain-lain. Dalam pembukaan kegiatan, Minggu (22/06/25), ada pula pentas musik bambu dan tari ketuk tilu. Acara dihadiri para buruh dan pegiat seni setempat, rekan-rekan mereka dari Indramayu, juga pejabat dinas pendidikan beserta stafnya.
Baca Juga: MALIPIR #19: Uang Aing
MALIPIR #20: Metafora Perahu buat Sejarah Indonesia
MALIPIR #21: Tambang Sunda
Esai: Abstrak dan Konkret
Sebutan buruh dalam buku ini tidak melulu mencakup buruh pabrik, melainkan juga meliputi buruh tani, dan guru honorer swasta. Itu tercermin baik dari jati diri penulis esai maupun dari tema yang mereka angkat.
Secara umum tema esai berkaitan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan buruh. Apa yang mereka peroleh tidak sebanding dengan beban kerja yang mesti mereka pikul. Alih-alih menjauh dari kemiskinan, tidak sedikit buruh yang malah terjerat pinjol. Kesempatan buat menggali dan mengembangkan potensi diri kurang lapang. Masih banyak hak buruh, khususnya hak buruh dari kalangan perempuan, yang belum terpenuhi, terlepas dari besarnya dedikasi perempuan buruh dalam hidup sehari-hari. Di sektor pertanian dunia perburuhan bahkan dipersuram dengan gejala tiadanya regenerasi petani atau jaminan kelangsungan pertanian.
Dalam jagat perburuhan demikian, ada esai yang menyerukan pola hidup sederhana seraya mendorong ikhtiar buruh untuk potensi diri mereka, khususnya di bidang seni. Esai lainnya menekankan bahwa penggalian potensi diri kaum buruh amat penting bagi peningkatan kualitas hidup mereka sekaligus pengembangan peran sosial mereka.
Terlihat dua kecenderungan dalam esai. Pertama, sebagian esai mengangkat tema makro –katakanlah begitu– semisal menyangkut kebijakan pemerintah di bidang perburuhan dan aturan perundang-undangan mengenai upah minimum. Dengan sendirinya, uraian dalam esai dari kelompok ini cenderung abstrak. Kedua, sebagian esai lainnya mengangkat tema mikro, seperti kegelisahan seorang perempuan buruh yang di lingkungan keluarga asalnya jadi anak pertama dan jerih-payah seorang buruh untuk mewujudkan mimpinya bisa belajar di universitas. Esai dari kelompok ini cenderung menyajikan deskripsi konkret.
Saya tertarik oleh esai-esai konkret. Kalau boleh saya sebut contohnya, itulah esai yang ditulis oleh Candra Sapta Ramadan yang judulnya dijadikan judul buku, “Antara Mesin dan Buku”; Yani Julita Sari, “Anak Perempuan Pertama”; Wandi Suhendi, “Orang Kecil yang bermimpi Besar”; Giari Rahman Hanafi, “Mimpiku adalah Memiliki Usaha Sendiri yang Sukses”; Annisa Nurul Fahomi, “Buruh”; Euis Yuningsih, “Buruh yang ingin Belajar Menulis”; dan Eti Suhaeti, “Buruh Tulang Punggung”.
Puisi: Manusia dan Suaranya
"Karena menjadi buruh tani aku menulis puisi ini". Itu kata-kata Titi Sulastri dari Bumdes Mukti Jaya. Di situ puisi jadi konsekuensi dari perburuhan. Dengan kata lain, dari situasi tersendiri, tegasnya situasi diri sang buruh tani, lahirlah larik-larik demikian.
Jika Titi menggubah puisi tentang puisi, rekannya dari tempat kerja yang sama, Nani, mengarahkan puisinya pada tanggapan sang buruh tani atas keadaan alam yang melingkupi pekerjaannya sehari-hari. Ia mensyukuri mensyukuri turunnya hujan setelah “kemarau beruntun” –pasangan kata nan segar, ketimbang "kemarau panjang"– seraya mendoakan pertumbuhan tanaman di tanah yang dia olah.
Dari lingkungan pabrik, suara yang terlontar lain lagi. Ketika industri menceraikan manusia dari hasil kerjanya, sehingga antara buruh dan produk buatannya tidak lagi ada hubungan intim, Mimin Harmini dari PT Leetex Garment Indonesia seperti hendak memulihkan hubungan manusiawi itu. Katanya:
Dalam setiap lipatan dan jahitan yang rapi
Ada mimpi yang terpendam rapi dalam raga
Oh, lihatlah pakaian ini ada mimpi dan harapan mereka yang ikut
terjahit indah di antara kain dan benang
Dalam bahasa figuratif Chlara Dwi Anggini dari PT Diamond International Indonesia, kaum buruh adalah manusia yang “terkurung dalam kotak besi”. Kedengarannya, itulah manusia yang tidak dimanusiakan. Untuk memulihkan kemanusiaanya, sang buruh niscaya berjuang sekuat tenaga.
Seruannya disampaikan oleh Herlin dari PT Darma Alam Pratama. Kepada kaum buruh, ia berseru:
Bangun! Bangun! wahai jasad bernyawa
Kamu harus berusaha untuk menjadi nyata
Bangun! Bangun! wahai jasad bernyawa
Kamu harus bekerja untuk menjadi ada
Sudah pasti, saya termasuk orang yang merasa dibangunkan, apalagi setelah menyimak cerita Mang Baron seusai acara seputar ikhtiarnya membuka padepokan setahap demi setahap. Sambil sesekali melirik air mata pengantin (Antigonon leptosus) yang merambat jadi naungan jalan tanah di samping aula, saya mencatat beberapa kesan seputar kegiatan komunal di ruang terbuka yang teduh seluas lebih kurang satu hektare itu. Nama padepokan menimbulkan kesan yang kuat: kirik nguyuh (anak anjing kencing) terasa sebagai ungkapan kedaulatan budaya. Sebuah tempat ditandai, serangkaian kegiatan bersama diselenggarakan. Saya merasa sedang berada di tempat belajar yang terbuka.
Ada mesin, ada buku. Ada pabrik, ada padepokan. Dan kata Mang Baron, ada sejumlah agenda yang bakal terus diselenggarakan, tak terkecuali kegiatan menulis esai dan puisi. Sambil berpamitan, saya bilang mau dong datang lagi ke situ kapan-kapan.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau Buku