MALIPIR #19: Uang Aing
Kata ganti aing untuk orang pertama tunggal lazim dipakai dalam budaya tulis Sunda kuna. Kini kata aing cenderung dianggap kasar dalam tingkatan kesopanan berbahasa.

Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
7 Juni 2025
BandungBergerak.id – Kata aing bergerak bebas, mulai dari relung hati hingga ruang publik, mulai dari gelanggang olah raga sampai ke panggung politik. Kata ganti ini bahkan meloncati pagar bahasa Sunda, masuk ke dalam wicara penutur bahasa Indonesia.
Di lingkungan asalnya, terutama di kalangan bobotoh Persib, pronomina orang pertama tunggal ini dipakai untuk mengungkapkan rasa memiliki terhadap klub sepak bola. Kata Mang Heru Joko dari Bandung, ungkapan "Persib Aing" mulai terlontar di sekitar tahun 1992. Pada zaman Prabowo kini, kata aing ikut pula meramaikan bahasa politik. Dedi Mulyadi banyak aksi, dan para pendukungnya berseru "Bapa Aing". Sang "gubernur konten" juga memasang nama "Kang Dedi Mulyadi", disingkat "KDM". Akang dan kontraksinya, kang, lazim dipakai buat memanggil abang.
Baca Juga: MALIPIR #16: Tafsir Ciung Wanara
MALIPIR #17: Bahasa Sunda Sepak Bola
MALIPIR #18: Jenama, Sastra, dan Saya
Aing dan Ambuing
Waktu saya mengindonesiakan telaah J.J. Noorduyn dan A. Teeuw atas manuskrip "Bujangga Manik" (BM) dan dua manuskrip Sunda kuna lainnya, yang kemudian diterbitkan dengan judul Tiga Pesona Sunda Kuna (2009), saya mendapat kesan bahwa kata ganti aing untuk orang pertama tunggal lazim dipakai dalam budaya tulis Sunda kuna. "Aing dék leumpang ka wétan (aku hendak berjalan ke timur)," ujar Bujangga Manik alias Ameng Layaran, rahib kelana dari keraton Pakuan.
Dalam BM sesungguhnya selain ada kata aing, juga ada kata ngaing yang oleh para filolog diartikan sama, yakni "aku" atau "saya". Contohnya: "Nepi ka Pakeun Caringin/ku ngaing teka kaliwat (Tiba di Pakeun Caringin/hingga akhirnya kulewati)." Dalam kesan saya, kata aing kiranya merupakan kontraksi dari kata ngaing.
Itu satu hal. Ada pula hal lain yang menarik bagi saya dari manuskrip abad ke-17 itu: dalam dialog kata aing juga dipakai oleh tokoh Bujangga Manik ketika berbicara kepada ibunya. Rupanya, pada zaman penulisan naskah itu pemakaian aing tidak dirintangi oleh kedudukan penutur, juga tidak terpaut pada tingkatan kesopanan.
Kata aing yang dipakai dalam "Persib aing" dan "Bapa aing", tentu saja, berfungsi sebagai kata ganti kepunyaan. Kata ganti kepunyaan yang lazim dan unik dalam bahasa Sunda adalah "ambu aing" yang berarti "ibuku". Pada gilirannya ungkapan ini diringkas jadi ambuing.
Dalam manuskrip BM kata ambuing masih berarti "ibuku", sedangkan dewasa ini kata tersebut lebih lazim dipakai sebagai kata seru untuk mengungkapkan keheranan atau ketakjuban, kurang lebih seperti kata amboi dalam bahasa Indonesia zaman dulu.
Ayah dan Abang
Silang susup ayah dan abang mengingatkan saya kepada kamus Jonathan Rigg. Harap dicatat, A Dictionary of the Sunda Language of Java (1862) sesungguhnya bukan kamus biasa. Kamus ini tidak hanya mewadahi arti kata, melainkan juga menguraikan segi-seginya. Saya cenderung menganggapnya ensiklopedi kata. Tentang kata aing, di halaman 6, penyusun kamus 537 halaman itu menerangkan:
"Aing: kata ganti saya, digunakan oleh atasan kepada bawahan. Kata ini mungkin bagian pertama dari kata aya, ungkapan halus untuk ayah, dengan akhiran umum Polinesia ng yang menyertainya –atau mungkin ayiya dalam bahasa Sinhala C. 45 Kakak laki-laki, dengan ng dalam bahasa Polinesia menggantikan akhiran ya dalam kata aslinya. Penghormatan terhadap usia sangat patut bagi masyarakat pribumi, sehingga sedikit modifikasi dari Ayah atau Kakak laki-laki menjadi lazim untuk kata ganti orang yang digunakan untuk menunjuk individu yang lebih tinggi."
(The pronoun I, used by a superior to an inferior. This word may be the first part of the word aya, a refined expression for father, with a common Polynesian terminal ng attached to it –or it may be the Singhalese ayiya C. 45 Elder brother, with the Polynesian ng substituted for the final ya in the original word. Deference to age being so much deserve by the natives, that a slight modification of Father or Elder brother has become current for the personal pronoun used to designate a superior individual.)
Dengan kata lain, Rigg menelusuri asal-usul kata aing. Ia berspekulasi bahwa kata itu mungkin berasal dari kata aya dalam bahasa Polinesia yang berarti "ayah", atau mungkin juga dari kata ayiya dalam bahasa Sinhala yang berarti "kakak laki-laki". Sayang sekali, jalur-jalur rembesan istilah di antara bahasa Sunda, Polinesia, dan Sinhala berada di luar jangkauan pengetahuan saya.
Rigg, pengusaha Inggris yang mengelola perkebunan di Jasinga, dekat Bogor, menyusun kamusnya dengan bantuan Demang Jasinga Raden Nata Wireja selama sekian bulan, beberapa jam per hari, pada 1854. Dalam risetnya sang pengusaha kecewa dengan kamus bahasa Sunda susunan Andries de Wilde, orang Belanda yang juga pengusaha perkebunan. Kata Rigg, kamus De Wilde yang terbit pada 1841 "lebih cenderung menyesatkan saya ketimbang memberi saya informasi (would rather lead me astray than afford information)".
Dalam hal itu saya sependapat. Saya ikut kecewa ketika mendapati bahwa De Wilde tidak bisa membedakan arti kata burung dalam bahasa Sunda dari arti kata yang sama dalam bahasa Melayu. Akibatnya, ada satu dua penulis Belanda dari generasi kemudian yang ikut tersesat dalam urusan jalma burung alias "orang gila". Ringkasnya, dengan kamus Rigg, saya merasa lebih aman meski dalam urusan asal-usul kata aing saya belum merasa yakin sebagaimana saya sangsi terhadap populisme politik yang mengedepankan kata aing.
Kasar dan Halus
Terpaut pada sohornya kata aing akhir-akhir ini, sejumlah kanal digital mengingatkan netizen agar berhati-hati memakai pronomina tersebut di lingkungan masyarakat penutur bahasa Sunda. Alasannya, kata tersebut dianggap kasar.
Memang sudah lama masyarakat penutur bahasa Sunda mengenal undak-usuk basa, tingkatan kesopanan berbahasa. Hal ini pernah jadi tema polemik di antara beberapa penulis Sunda pada paruh kedua dasawarsa 1980-an. Jika teman-teman tertarik untuk mencermatinya, penyair Dodong Djiwapradja menghimpun dan menimbang tulisan mereka dalam Polemik Undak-usuk Basa Sunda (1987).
Buat saya, sedikitnya ada satu tulisan lagi yang patut dibaca dalam urusan ini, yakni telaah R.A. Kern, "Bahasa Sunda Halus" ('t Lemes in 't Soendaasch), yang ditulis pada 1906. Pada zaman Kern istilahnya bukan undak-usuk basa melainkan umpak basa, tapi kandungan maksudnya kurang-lebih sama. Tulisan tersebut terpilah dua. Pertama, uraian mengenai spketrum kata –kalau boleh saya pakai istilah itu– di antara ekstrem "kasar sekali (kasar pisan)" dan ekstrem "halus sekali (lemes pisan). Kedua, tabel kata sesuai dengan spektrum tersebut berikut artinya, seperti kamus kecil.
"Apa yang halus dan apa pula yang kasar, sungguh relatif dan pada umumnya tidak ada batasan yang tegas di antara keduanya (Wat fijn en wat grof is, is zeer betrekkelijk en tusschen die beide is in 't algemeen geen scherpe grens te trekken)," begitu antara lain temuan Kern.
Untuk kata ganti orang pertama tunggal, sesuai dengan spektrum tadi, Kern menginventarisasi tujuh kata yang berarti "saya" atau "aku", yaitu aing, kami, déwék, urang, kula (juga kaula dan jasad kaula), kuring (juga jisim kuring), abdi (juga jisim abdi).
Saya selalu takjub, bagaimana bisa untuk satu arti timbul banyak kata? Saya tidak tahu apa sebabnya. Yang pasti, di antara banyak kata yang dipakai dalam berekspresi, sebagaimana di antara banyak orang yang berinteraksi, selalu ada yang cenderung dominan. Dalam hal ini, ada satu ungkapan dari penulis tersebut yang buat saya layak dipetik yakni "tirani bahasa halus (de tyrannie van 't lemes)".
Kalau kita kembali berpaling ke dalam sohornya sebutan aing, kiranya ada dua kemungkinan: orang ingin menantang bahasa halus atau mungkin juga orang tidak kenal bahasa kasar. Yang pasti, kalau sebuah tirani menghilang, biasanya muncul tirani lain.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau Buku