MALIPIR #17: Bahasa Sunda Sepak Bola
Béntang Lapang karya RAF boleh disebut barang langka sebagai novel tentang sepak bola. Novel yang mengangkat pengalaman manusia di lingkungan komunitas bola.

Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
25 Mei 2025
BandungBergerak.id – Harapan Aang Witarsa belum terlaksana. Pada 1977, dalam kata pengantar untuk buku Béntang Lapang (Bintang Lapangan) karya RAF (1929-2008), legenda Persib itu berharap, "Muga-muga deuih, sabada medalna ieu buku, sing réa deui buku basa Sunda nu nyaritakeun olah raga (Mudah-mudahan pula, setelah terbitnya buku ini, bakal lebih banyak buku berbahasa Sunda yang menceritakan olah raga)." Sayang, tidak banyak pengarang Sunda yang mengikuti jejak penulis buku ini.
RAF –saya suka memanggilnya, Pak Ading– bukan nama asing buat saya. Pada masa kanak saya membaca karyanya, Dongéng Énténg ti Pasantrén (Cerita Ringan dari Pesantren). Dalam koleksi itu ada cerita tentang sejumlah santri yang mengadakan yasinan menjelang pertandingan sepak bola. Pada masa dewasa saya ikut membaca novelnya, Pipisahan (Perceraian) tentang istri yang diceraikan dan Nu Kaul Lagu Kaléon (Yang Bernazar dengan Lagu Kaléon) tentang cinta lama yang mekar lagi. Mustahil pula saya lupa pada Inohong ti Bojongrangkong (Tokoh dari Bojongrangkong), serial televisi yang skenarionya dari sastrawan yang satu ini. Adapun Béntang Lapang, itu dia, boleh disebut barang langka: novel tentang sepak bola.
Baca Juga: MALIPIR #14: Buku Pengantar Tidur
MALIPIR #15: Preman Insaf dari Banten
MALIPIR #16: Tafsir Ciung Wanara
Manajer dan Pemain
Pak Ading adalah orang yang tepat untuk bercerita tentang bola. Ia pernah ikut mengurus Persib dengan mengetuai Komisi Teknik dan Kesebelasan. Ia juga dikenal sebagai wartawan olah raga. Dengan kata lain, ia adalah manajer klub bola yang diberkati keterampilan menulis tentang bidang kerjanya dengan mengandalkan bahasa ibunya.
Perlu cepat-cepat dikatakan bahwa buku ini kiranya tidak dimaksudkan untuk menguraikan rincian permainan sepak bola. Sebagai novel, buku ini mengangkat pengalaman manusia di lingkungan komunitas bola. Pokok cerita berkisar di sekitar konflik batin seorang "bintang lapangan" ketika anak didiknya yang sarat bakat dan getol berlatih pada gilirannya memikat hati publik sebagai "bintang lapangan" pula. Sang senior jadi cemburu, bahkan merasa tergeser oleh sang junior, sampai-sampai sempat timbul niat jahat dalam dirinya. Apa yang terjadi selanjutnya, silakan teman-teman baca sendiri novel ini.
Hingga batas tertentu, membaca novel ini seperti membaca cerita berbingkai. Di dalamnya ada dua narator alias pencerita. Pertama, tokoh "kuring" (saya), manajer klub bola. Kedua, Basri, pemain bola yang terpandang sebagai bintang lapangan. Pengarang mempersilakan keduanya bercerita dari sudut pandang orang pertama. Pencerita pertama mengemukakan visi manajer klub mengenai sepak bola, sedangkan pencerita kedua mengemukakan kepribadian pemain bola.
Timbul bahan renungan. Sang manajer menolak favoritisme di dalam klub. Jangan ada pemain yang diistimewakan. Dengan kata lain, bola adalah urusan kolektivitas.
"Sabab dina maén bal mah, lain regu wungkul nu butuh ku pamaén, tapi ogé pamaén butuh ku regu. Regu maén bal téh diwangun ku sawelas urang. Sawelas urang nu sarua kawajibanana. Kudu usaha sangkan gulna ulah kabobolan, sarta kudu usaha sangkan bisa nyitak gul saloba-lobana (Sebab dalam sepak bola bukan hanya tim yang butuh pemain, melainkan juga pemain butuh tim. Tim sepak bola terdiri atas sebelas orang. Sebelas orang yang kewajibannya sama. Mereka harus berupaya agar gawangnya tidak kebobolan, serta harus berupaya agar bisa mencetak gol sebanyak-banyaknya)," begitu pandangan sang manajer.
Di lain pihak, di kalangan pemain, rupanya timbul persaingan. Satu jadi bintang, yang lain tidak mustahil meradang. Godaanya terbilang lazim di panggung pertunjukan: sorotan media, tempik sorak khalayak, decak kagum para pegandrung. Belum lagi godaan yang juga sering timbul di belakang panggung: sogok alias suap dari mereka yang menjadikan sepak bola sebagai ajang perjudian.
Kompleksitas di sekitar dua hal itulah, dalam kesan saya, Pak Ading mengolah kisah ini. Tentu, karena manusia yang punya lakon di dalamnya berasal dari lingkungan komunitas bola, hal-ihwal yang berkaitan dengan sepak bola, tak terkecuali menyangkut pola permainan dan jalannya pertandingan, jadi bagian penting dari caranya bercerita.

Istilah Teknis dan Lingkungan Dalam
Sepak bola dalam novel ini disebut maén bal, sebutan lazim dalam bahasa Sunda. Dalam wicara sehari-sehari lazim pula sebutan tersebut diringkas jadi méngbal. Adapun pesepak bola pada umumnya cukup disebut pamaén (pemain), dengan sebutan khas sesuai dengan tugas masing-masing di lapangan, seperti yang dapat dilihat dalam petikan cerita di bawah.
Sekadar contoh pemakaian bahasa Sunda dalam deskripsi sepak bola, baik kita petik bagian kecil dari sebuah paragraf dalam novel ini:
"Ayeuna kuring bébas sorangan. Geus deukeut kana daérah pinalti musuh. Nu ngajaga ngan tinggal tiluan. Bék kénca, bék katuhu (Si Hasan) jeung galandang. Sedeng anu nyerang, kénca jero (Kadir) jeung kénca luar. Sénterpur (penyerang tengah) keur aya di tukang, tas nyokot bal. Ceuk itungan mah, opat nu nyerang ngalawan tilu nu nahan téh, kudu bisa jadi gul. Pertahanan musuh geus ngariut ka daérah pinalti. Spil aya di lebah titik pinalti. Ku sakitu gé heurin gul musuh téh. Tapi muka kénéh saenyana jalan mah..."
[Kini aku bebas sendirian. Sudah dekat ke daerah penalti musuh. Yang menjaganya tinggal tiga orang. Bek kiri, bek kanan (Si Hasan) dan gelandang. Adapun yang menyerang, kiri dalam (Kadir) dan kiri luar. Senterpur (Penyerang tengah) ada di belakang, baru saja mengambil bola. Menurut perhitunganku, empat penyerang melawan tiga penahan, mestinya bisa jadi gol. Pertahanan musuh telah menciut ke daerah penalti. Spil berada tepat di titik penalti. Memang, gawang musuh jadi sesak. Namun, sebetulnya jalan masih terbuka...]
Di samping diksi khas seperti yang terdapat dalam petikan di atas, ada pula istilah teknis lainnya seperti halep, kornél, bal hirup, bal paéh, opsét, pola permaénan, formasi pamaén. Tentu, di antara istilah-istilah itu, ada yang diserap dari bahasa asing dan bahasa Indonesia. Keterampilan pengarang telah menjadikan pemakaian istilah-istilah itu terasa genah dalam bahasa Sunda. Dengan kata lain, Pa Ading telah membuktikan bahwa bahasa Sunda jelas dapat diandalkan buat menguraikan sepak bola.
Entah karena mata saya kurang awas ataukah sebab lain, dalam novel ini saya tidak menemukan istilah bobotoh, yakni padanan supporter. Hanya ada istilah umum nu lalajo alias penonton. Yang pasti, nama klub bola dalam novel yang pertama kali terbit pada 1981 ini tidak disebutkan secara khusus. Lagi pula, ceritanya berkisar di lingkungan internal klub, yakni di sekitar para pengurus klub berserta para pemain.
Terkait pada penonton, ada yang kiranya patut dipetik dari wejangan sang manajer klub kepada sang bintang lapangan: "Ari nu lalajo mah 'raja'. Rasana, mayar! Maranéhna hayang suka. Suka nénjo, suka muji jeung suka nyarékan. Sedeng ari nu maén bal mah da kitu kuduna. Dipuji lamus alus, dicarékan lamun goréng. Tong héran (Penonton itu 'raja'. Sebabnya, membayar! Mereka ingin senang. Senang melihat, senang memuji dan senang menghardik. Sedangkan pemain bola memang harus begitu. Dipuji kalau mainnya bagus, dihardik kalau mainnya jelek. Jangan heran)."
Kalau boleh saya usul, sambil mengingat harapan mantan penyerang Persib Aang Witarsa, barangkali ada di antara teman-teman yang berminat meneruskan literasi bola dalam bahasa Sunda, khususnya dari perspektif bobotoh.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau tentang Buku