MALIPIR #16: Tafsir Ciung Wanara
C.M. Pleyte menarasikan tradisi lisan Sunda riwayat Ciung Wanara dari seorang anak yang terbuang di hutan belantara hingga jadi raja di Tatar Sunda.

Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
19 Mei 2025
BandungBergerak.id – Kisah Ciung Wanara yang saya baca terlampir dalam telaah C.M. Pleyte, De Lotgevallen van Tjioeng Wanara, naderhand Vorst van Pakoean Padjadjaran “Petualangan Ciung Wanara, yang kemudian jadi Raja Pakuan Pajajaran” (1910). Teman-teman dapat mengunduh teks ini dari laman Delpher.
Kisah ini tertuang dalam carita pantun, warisan tradisi lisan Sunda. Inti cerita menuturkan riwayat Ciung Wanara dari seorang anak yang terbuang di hutan belantara hingga jadi raja di Tatar Sunda. Sayang, penutur dan daerahnya, juga pencatatnya, tidak diinformasikan.
Tokoh cerita ini, terutama Ciung Wanara dan Aria Banga, tersebut-sebut pula dalam tradisi tulis. Dalam hal ini, Pleyte membuka manuskrip dari abad ke-16, Carita Parahyangan. Di situ ada tokoh Sang Manarah yang dalam carita pantun disebut Ciung Wanara.
Saya membaca kisah ini sepulang dari Ciamis, wilayah yang dulu disebut Galuh. Seperti biasa, kesan dari luar kota terbawa ke rumah. Bahan bacaan yang berkaitan teringat waktu melepas lelah. Walhasil, saya ingat Ciung Wanara.
Baca Juga: MALIPIR #13: Seperti Kisah Cinta di dalam Komik
MALIPIR #14: Buku Pengantar Tidur
MALIPIR #15: Preman Insaf dari Banten
Lanskap dan Toponimi
Latar cerita ini membentangkan Galuh Pakuan –yang di dalam transkripsi ditulis "Galih Pakuan", kerajaan di Tatar Sunda. Bentang alamnya terlukiskan terutama dalam larik-larik formulaik. Wilayah pegunungan Priangan disebut satu demi satu dalam deskripsi perjalanan.
Inilah contoh latar dataran tinggi:
cat nanjak ka hiji gunung,
ngaran gunung Tampak Ruyung,
mapay deui ka lebakna,
muruna ka Gunung Halu,
meuntas di lebah Cisokan,
nangtung di lebah Cianjur
[(dia) mendaki sebuah gunung,
namanya gunung Tampak Ruyung,
kembali menyusuri lembah,
menuju Gunung Halu,
menyeberang di wilayah Cisokan,
berdiri di wilayah Cianjur]
Jalan cerita mengandung narasi toponimi. Kandangwesi, misalnya, dikasih narasi mengenai pembuatan penjara buat menghukum raja durjana. Namun, menyangkut toponimi Kopo, saya kurang begitu tertarik, sebab narasinya dikaitkan degan pengalaman kapohoan, bukan dengan tumbuhan.
Saya menduga, barangkali pada mulanya adalah nama tempat. Para pujangga dan pencerita lalu menciptakan cerita yang sejalan dengan arti yang terkandung dalam nama tempat itu. Kiranya dengan cara itu khalayak yang menyimak cerita dapat menjalin kedekatan dengan tempat yang dibicarakan. Cerita turut memungkinkan dunia di sekeliling diri kita punya makna.
Suksesi Kekuasaan
Cerita ini, sudah pasti, berkisar di lingkungan istana, di sekitar raja, permaisuri, dan para pangeran. Alkisah, raja yang bertahta di Galih Pakuan adalah Sang Permana di Kusuma. Istrinya dua, yakni permaisuri Pohaci Naganingrum dan madunya, Dewi Pangrenyep, tapi baginda tidak berputra.
Dalam kesan saya, salah satu insiden amat penting dalam kisah ini adalah suksesi kekuasaan. Tahta beralih dari Sang Permana di Kusuma kepada Raden Galuh Barma Wijaya Kusuma. Tokoh yang disebut belakangan sebelumnya dikenal sebagai Mantri Anom, yang oleh pejabat istana disebut “santana kapercaya”, orang kepercayaan. Dia ingin jadi raja karena tergiur oleh kesenangan yang dilihatnya.
Sang Permana digambarkan sebagai sosok yang weruh sadurung winarah: bisa mengetahui sesuatu sebelum terjadi, bahkan selagi tertidur pun ia bisa menangkap perbincangan orang-orang di sekelilingnya. Baginda menyerahkan kedudukan politiknya kepada orang baru, kemudian menempuh jalan asketik. Di Gunung Padang, dekat Gunung Sawal, baginda menjadi Pandita Ajar Suka Resi.
Ada dua hal yang menarik saya dalam urusan suksesi. Pertama, raja baru seperti kekurangan legitimasi. Kepada kedua permaisuri yang "dititipkan" padanya, juga kepada semua warga kerajaan, dia menyiarkan kabar palsu bahwa dirinya adalah raja sepuh yang, berkat keistimewaan dalam dirinya, telah menjadi muda kembali.
Kedua, raja yang telah berhenti rupanya tidak benar-benar menjauh dari politik. Dari tempat pertapaannya dia tetap mengikuti dinamika politik istana, bahkan dengan caranya sendiri tetap terlibat di dalamnya.
Intrik Keraton
Permaisuri dan madunya niscaya merupakan potensi konflik internal. Kedua istri raja tadi, karena sang raja baru rupanya tidak menghiraukan lagi "titipan", akhirnya mengandung dan melahirkan anak. Yang satu mau dominan, yang lain mesti tersingkir. Dewi Pangrenyep, tinggal di istana membesarkan anaknya Aria Banga. Adapun Pohaci Naganingrum menyelamatkan diri ke hutan, setelah anaknya dibuang ke sungai.
Di sini pun kita menemukan motif hanyut yang lazim muncul di berbagai kisah epik, mulai dari riwayat Musa hingga kisah para putra Rama dan Rawana. Hanyut di sini bukan kecelakaan, melainkan penyelamatan. Inilah awal petualangan tokoh kita Ciung Wanara, jauh-jauh hari sebelum dia menemukan jati dirinya dan melaksanakan misinya.
Sungguh menarik, sebagai anak sebatang kara, yang terlempar dari lingkungan asalnya bahkan terpisah dari ibunya, tokoh utama kisah ini menemukan nama dirinya berkat upayanya sendiri. Ciung adalah nama burung, sejenis beo, sedangkan wanara adalah primata, sejenis kera. Sang anak terpikat oleh kedua satwa tersebut. Sejak itu, ia menyebut dirinya Ciung Wanara.
Setelah menemukan jati dirinya, Ciung Wanara menjalankan misinya: kembali ke lingkungan istana, menjajal laga politik, menuntut balas, dan merebut kekuasaan. Mediumnya: sabung ayam.
Inilah gambaran pertarungannya:
itu teungteung, ieu ludeung,
wani sarua daékna,
hayam téh prak baé abar,
silihpacok ku pamatuk,
silihgitik ku jangjangna,
silihpeupeuh ku sukuna,
hayam sarua bedasna.
(satu berani, yang lain gagah
keduanya sama-sama petarung,
di gelanggang ayam berlaga,
salik tusuk dengan pelatuk,
saling tampar dengan sayap,
saling hunjam dengan taji,
bertanding sama sebanding)
Laga Politik dan Pembagian Wilayah
Sabung ayam kiranya merupakan alegori bagi laga politik. Melalui medan laga itu tadi Ciung Wanara mendapat akses ke istana, dan keunggulannya di situ memberinya kekuasaan yang dia harapkan. Setelah ayam milik raja dikalahkan, sang raja memberinya wilayah kekuasaan. Pangeran yang tadinya terasing, kini mendapatkan kedudukan.
Di bagian itu kita dapat menangkap aspek lain yang tak kalah pentingnya –kalau bukan yang terpenting– dari cerita ini, yakni narasi mengenai pembagian daerah kekuasaan di antara para pangeran yang bersaudara, juga pembelahan wilayah kultural antara Sunda di sebelah barat dan Jawa di sebelah timur dengan sungai Cipamali sebagai garis batasnya. Sunda merupakan wilayah Ciung Wanara, sementara Jawa merupakan wilayah sang adik, Aria Banga.
Setelah adegan perang saudara di antara kedua belah pihak, menyusul pemenjaraaan atas raja Galih Pakuan -- yang sebelumnya disebut sebagai "raja panyelang" (penguasa sementara) -- bersama Dewi Pangrenyep, sang pencerita menggambarkan pembelahan tersebut seperti ini:
… Noe ka wetan baladna Aria Banga balik ka tegal tamtama Madjapait, ari anoe ka koelon baladna Tjioeng Wanara boedalna ka Padjadjaran. (Ke arah timur pasukan Aria Banga kembali ke tegal tamtama Majapahit, sedangkan ke arah barat pasukan Ciung Wanara menuju Pajajaran).
Setelah wilayah kekuasaan terbagi, dan para pangeran kembali ke tempatnya masing-masing, kisah ini pun berakhir.
*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau tentang Buku