• Kolom
  • MALIPIR #15: Preman Insaf dari Banten

MALIPIR #15: Preman Insaf dari Banten

S.A. Himat mengangkat sosok preman dalam dua cerita pendeknya di buku “Aing Djago”. Mendeskripsikan premanisme yang berlawanan dengan kebajikan religius.

Hawe Setiawan

Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.

Sampul buku Aing Djago karya S.A. Hikmat. (Foto: Hawe Setiawan)

10 Mei 2025


BandungBergerak.id – Dari pengarang S.A. Hikmat, terhimpun empat cerita pendek, Aing Djago. Buku 59 halaman berilustrasi ini dipublikasikan oleh penerbit Mandalawangi di Bandung pada 1967.

Judulnya tak tertirukan, seperti menggedor-gedor ingatan. Itulah yang teringat oleh saya sejak masa kanak, tak terkecuali kulit mukanya yang kuning, dengan gambar jagoan sedang mendabik dada dengan tangan bergelang akar bahar. Ingatan pulih berkat pedagang loak.

Ceritanya, sudah pasti, tak terlupakan. Di antara empat cerpen dalam buku ini, ada dua yang mengangkat sosok preman, dan turut memperlihatkan karakteristik karangan almarhum Pak Sobur, yakni "Aing Jago" –yang dijadikan judul buku– dan "Jawara".

Bagi saya, kedua cerpen yang berlatar Banten itu merupakan cerita silat yang dibumbui dakwah Islam –kalau tidak bisa disebut sebaliknya. Adegan pertarungan antarjago jadi salah satu daya tariknya, yang ditopang oleh pengetahuan pengarang mengenai aliran penca di Tatar Sunda seperti Cimande, Cikalong, Timbangan, Sabandar, Kari, Madi, dan Sera. Sayang, aliran Haji Salam, yang tumbuh di wilayah Banten, tak sempat disinggung-singgung. Pesan islami terselip dalam dialog dan pikiran tokoh-tokohnya.

"Jawara" lebih berhasil daripada "Aing Jago". Cerpen yang disebutkan lebih dulu tidak sekadar menonjolkan adegan silat dan siraman rohani, melainkan juga menggali pergulatan batin tokohnya, meski tema ceritanya sesungguhnya lebih cocok dijadikan anekdot tentang si hidung belang yang salah sangka. Adapun cerpen yang disebutkan belakangan agak tergesa-gesa dalam plotnya: tahu-tahu muncul jawara muda yang menantang jagoan tua sambil berceramah. 

Baca Juga: MALIPIR #12: Teman Duduk Zaman Kertas
MALIPIR #13: Seperti Kisah Cinta di dalam Komik
MALIPIR #14: Buku Pengantar Tidur

Jawara dan Jago

Istilah yang dipakai oleh pengarang buat tokoh ceritanya adalah "jago" dan "jawara". Dalam jagat imajiner Pak Sobur, jago atau jawara yang ditonjolkan, apa daya, adalah mereka yang tidak tergolong ke dalam jenis yang baik.  Dengan menguasai teknik bertarung, mereka menundukkan lawan, merekrut pengikut atau kaki tangan, membangun kekuatan, dan menggasak sumber pendapatan.

Dengan jalan kekerasan, mereka mendulang keuntungan material (loba pakayana) melalui penguasaan wilayah dan penarikan pungutan liar. Kekuasaan mereka sewenang-wenang: menindas rakyat (ngagalaksak ka rayat) dan merendahkan kaum perempuan (sakumna awéwé nu aya rupaan mah moal kari). Mereka bahkan bisa menyingkirkan dan memasang pemimpin desa (jaro). Gaya hidup mereka hedonistis: menenggak arak, bermain judi, dan keluar-masuk pelacuran. Dalam istilah pengarang, itulah "P 3: Palacur, Pamabok, Pamaén".

Mungkin karena pengarang buku ini cenderung berdakwah, mau tidak mau saya bertanya-tanya, bagaimana cara pandang keagamaan melihat cara hidup gerombolan preman?

Pertama-tama, sudah pasti, tergambar antipode. Deskripsi premanisme dalam buku ini berlawanan dengan kebajikan religius. Kalaupun sang preman mengaku beragama, jalurnya sebatas yang selaras dengan gaya hidupnya. "Kepada semua orang dia mengaku Islam. Tapi Islamnya hanya dalam urusan poligami (Ari ka saha-saha ngakuna Islam. Tapi Islamna ngan lebah nyandung wungkul)," begitu penilaian sang pencerita tentang sang preman dalam "Aing Jago" –sebuah penilaian yang pada dasarnya satiris.

Dalam "Aing Jago" muncul jawara atau jago lain dari jenis yang baik, dengan peran menyuarakan kebajikan religius. Jalan cerita dapat ditebak: jawara jahat, sang preman, akhirnya bertekuk lutut di kaki jawara baik yang didukung oleh orang banyak. Preman yang pada awal cerita tinggi hati dan besar omong pada akhirnya jadi ciut dan meratap-ratap minta dikasihani.

Cerpen "Jawara" menampilkan tokoh cerita yang tabiatnya lebih menarik. Dalam cerita ini inisiatif untuk beralih dari premanisme ke dalam kesalehan islami terbersit di dalam diri tokoh itu sendiri ketika dia sudah tua dan hidup sendiri, meski niat baiknya tidak sampai terlaksana, dan sang tokoh malah kembali ke dalam premanisme.

Akhir cerita ini, yang memperlihatkan suasana tatkala sang tokoh tampaknya sudah sampai di ujung renungan, di tepi sebuah sungai yang deras mengalir di kegelapan malam, pasti mengingatkan pembaca kepada ujung cerita satiris tentang Karnadi karya Sukria dan Yuhana yang terkenal, Rasiah Nu Goréng Patut. Itulah akhir cerita nan fatal.

Bandit Sosial

Dalam gambaran mengenai kedua sosok preman dalam kedua cerpen tadi, kita melihat bahwa premanisme bertolak belakang dengan kebajikan agama. Dengan kata lain, cerita tentang jawara dan jago dalam karya Pak Sobur merupakan proyeksi dari pesan-pesan keagaamaan yang hendak disiarkan oleh pengarang.

Sosok preman dalam kedua cerita itu tidak lebih dari golongan oportunis yang kerjanya cuma main pukul dan menghunus golok. Mereka maunya hidup bersenang-senang di atas kesusahan banyak orang. Tentu saja, itulah golongan yang patut jadi sasaran dakwah. 

Namun, saya kira, ada peluang tersendiri buat melihat hubungan yang tidak hitam putih antara premanisme dan agama. Dari sejarah, tak terkecuali dari wilayah Banten, kita dapat melihat gambaran terpautnya kesanggupan untuk mengandalkan kekerasan dengan nilai-nilai keagamaan dalam bentuk gerakan ratu adil yang menantang kemapanan dan mendapat simpati orang banyak, khususnya kaum tani. 

Sepak terjang preman yang terpaut pada gerakan sosial serupa itulah kiranya yang disebut sebagai "kebanditan sosial" (social banditry) dalam telaah mendiang Eric Hobsbawm. Patut kita catat bahwa studi rintisan yang bercakupan global dari sejarawan Hobsbawm juga memetik temuan hasil riset mendiang Sartono Kartodirdjo yang disebutnya sebagai "sejarawan mumpuni tentang kerusuhan petani Indonesia (an able historian of Indonesian peasant unrest)". Kita pun ingat, Pak Sartono menelaah sejarah pemberontakan petani Banten pada abad ke-19.

Realisme sastra Sunda mengenai preman insaf, seperti yang ditulis oleh Pak Sobur, rupanya baru sampai kepada ilustrasi atau alegori bagi penyampaian pesan moral. Peluang masih sangat terbuka untuk mengolah kisah para jago atau jawara yang bahan-bahannya digali dari pengalaman sejarah.

 

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain tentang Literasi atau tentang Buku

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//